Menilai Nasib Proyek Gasifikasi Batubara dan Peningkatan Produksi PTBA 2022-2027, Untuk Siapa?

Presiden Joko Widodo, Gubernur Sumsel Herman Deru dan Menteri BUMN Erick Thohir saat groundbreaking coal to DME beberapa waktu lalu. (rmolsumsel)
Presiden Joko Widodo, Gubernur Sumsel Herman Deru dan Menteri BUMN Erick Thohir saat groundbreaking coal to DME beberapa waktu lalu. (rmolsumsel)

Awal tahun ini, tepatnya pada 24 Januari 2022, PTBA melakukan groundbreaking proyek hilirisasi batubara menjadi dymethil ether (DME), yang merupakan proyek strategis nasional Pemerintahan Joko Widodo. 


PTBA melalui Dirut Arsal Ismail saat itu mengatakan bahwa pelaksanaan proyek ini merupakan komitmen hilirisasi yang dilakukan oleh perusahaan, bekerja sama dengan Pertamnina dan Air Products & Chemicals Inc.

Proyek ini akan berlangsung di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim Sumsel selama 20 tahun dengan total investasi sebesar USD2,1 juta atau setara Rp30 triliun.

Dalam keterangan yang disampaikan PTBA, proyek ini akan mengutilisasikan 6 juta ton batubara per tahun yang kemudian dikonversi untuk menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun, atau dengan perbandingan 1:5.

Hadirnya DME sebagai bahan bakar alternatif (pengganti LPG), diklaim bisa membantu menekan impor LPG dan menghemat devisa negara. 

Dalam keterangan resmi PTBA pada 2020 lalu, yang didasarkan pada hitungan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, potensi penghematan negara bisa mencapai Rp 8,7 triliun. 

Bahkan yang terbaru, Kementerian ESDM melalui Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Lana Saria, pada awal April ini merilis ada 11 perusahaan yang akan menyusul PTBA dalam proyek hilirasasi batubara melalui proyek gasifikasi ini. 

Namun klaim penghematan dalam proyek ini mendapat sanggahan dari the Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) melalui analis energi IEEFA Ghee Peh, dalam keterangannya awal Januari 2022 lalu.

Dia menegaskan, proyek DME dalam bentuknya saat ini tidak akan dapat menjustifikasi penghematan apapun, termasuk tidak akan pula memuaskan stakeholders yang terlibat. 

Apa yang disampaikannya ini, mengacu pada resiko harga komoditas yang terus meningkat dan konflik kepentingan yang muncul. 

Ilustrasi: DME calon pengganti LPG. (ist/rmolsumsel)

DME Belum Pasti Untung ?

Diskusi publik bertajuk Keekonomian Gasifikasi Batubara digelar pada 7 April 2022 lalu. Sejumlah narasumber hadir dalam diskusi ini, salah satunya Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, harga keekonomian dari DME ini akan sangat fluktuatif tergantung dari harga batu bara.

Fahmy menjelaskan, saat harga batu bara sangat tinggi, proyek gasifikasi menjadi tidak ekonomis. Sementara, jika pemerintah memberikan subsidi, maka akan membuat jebol APBN.

Hal senada juga disampaikan oleh Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Yudha, dimana menurutnya untuk memaksimalkan proyek DME diperlukan formulasi harga. 

Prediksinya dalam diskusi itu menjadi nyata, sebab pada awal April ini pemerintah telah menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) sebesar US$288,4 per ton atau sekitar Rp4,1 juta per ton. 

Sementara harga jual DME yang telah disepakati, mengutip yang disampaikan oleh Dirjen Minerba Ridwan Jamaluddin pada Januari 2022 lalu, sebesar USD 378 per ton atau sebesar Rp5,4 juta.

Maka apabila diasumsikan dalam hitungan per ton dengan perbandingan 1:5, untuk mendapatkan Rp5,4 juta (1 ton DME) maka PTBA telah membuang potensi sebesar Rp20,5 juta (5 ton batubara), dengan harga jual langsung hari ini.

Kalaupun pemerintah ikut serta dalam proyek ini, maka harus ada subsidi besar yang diberikan untuk memperoleh keuntungan, seperti dilansir dari Akurat.co (Baca: https://akurat.co/proyek-gasifikasi-batu-bara-air-products-picu-perdebatan-dalam-pembuatan-kebijakan-di-indonesia).

Hal inilah yang kemudian mungkin dimaksudkan oleh IEEFA sebelumnya sebagai sebuah konflik kepentingan, yang kemudian dijawab oleh pengamat kebijakan publik Sumsel, Bagindo Togar. 

Sebagai sebuah perusahaan yang bertujuan memperoleh keuntungan, maka hal yang paling tepat yang bisa dilakukan oleh PTBA menurut Bagindo adalah menjual batubara tersebut.

Apalagi saat ini permintaan di pasar global terus meningkat sehingga mendongkrak harga, yang salah satunya disebabkan oleh perang Rusia-Ukraina. 

"Tapi resikonya proyek DME berpotensi terhambat bahkan mangkrak. Namun, di sisi lain perusahaan akan untung, setoran kepada negara akan meningkat," ujarnya. 

Lalu, akankah gasifikasi batubara Tanjung Enim yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) sesuai dengan Perpres No.109 tahun 2020 ini ditinggalkan?

"Kalau begitu (PSN) 'kan proyek ini artinya harus tetap berjalan, sementara harga batubara sedang bagus. Bagaimana bisa berjalan keduanya, atau pilih yang lebih menguntungkan," sambung Bagindo.

Sebab kemungkinan yang muncul, tidak hanya harga batubara, tetapi harga komoditas lain diprediksi akan terus meningkat dalam beberapa waktu kedepan. 

Bagindo menyebut politik kebijakan ekonomi pemerintah diuji saat ini. Sebelumnya sudah ada isu minyak goreng yang sedemikian masifnya, sehingga dalam proses ini pemerintah juga harus turun langsung melakukan pengawasan. 

"Ini kan bicara komitmen PTBA untuk menjalankan proyek strategis nasional demi pemenuhan kebutuhan masyarakat, sekaligus meningkatkan keuntungan perusahaan. Dari sisi regulator (pemerintah) apakah kita akan menekan masyarakat dan lebih memilih meningkatkan keuntungan yang imbasnya kepada pemasukan (kas) negara,"jelasnya.

Kembali kepada political will, yang apabila dikaitkan dengan kebutuhan jangka panjang, antara pemenuhan DME dan penjualan batubara untuk memperoleh keuntungan, opsi yang muncul adalah meningkatkan produksi batubara. Sebab, pada November 2021 lalu, PTBA menegaskan bahwa distribusi produksi akan lebih difokuskan kepada pasar ekspor.

Ilustrasi: Aktifitas pertambangan di Sumsel. (ist/rmolsumsel)

Peningkatan Produksi Sebagai Opsi untuk DME ?

Dalam proses meningkatkan produksi ini, PTBA telah melalui Direktur Arsal Ismail telah mengungkapkan pada Maret lalu kalau pihaknya menargetkan produksi batu bara tahun ini sebesar 36,41 juta ton atau naik 21 persen dari realisasi produksi di 2021 sebesar 30,04 juta ton. 

Begitu juga dengan target produksi angkutan sebesar 31,50 juta ton atau naik 24 persen dari periode tahun lalu sebesar 25,42 juta ton. Sementara untuk volume penjualan batu bara pada 2022, perseroan menargetkan peningkatan menjadi 37,10 juta ton atau naik 31 persen dari realisasi penjualan 2021 yang hanya tercatat di angka 28,37 juta ton.

Peningkatan juga terus dilakukan oleh PTBA dalam rencana produksi 2022-2027, dimana telah disiapkan dua titik eksplorasi yakni pada site Bangko Tengah B dan Suban Jeriji Selatan. Disini akan ada pemindahan tanah (overburden) sebanyak 244,08 juta BCM dan penggalian batubara sebanyak 45,2 juta ton. Dalam informasi yang berkembang, proyek ini akan dikerjakan oleh kontraktor yang sudah lama bekerja di site PTBA. (Baca: https://sumselupdate.com/walhi-soroti-kasus-swabakar-batubara-di-stokepile-ptba/)

Tabel rencana peningkatan produksi PTBA 2022-2027. (ist/rmolsumsel)

Namun demikian, isu mengenai pihak yang mengerjakan proyek pada site Bangko Tengah B dan Suban Jeriji Selatan ini masih belum mendapatkan jawaban pasti. "Untuk konfirmasi ini (Pengerjaan proyek Peningkatan produksi Bangko Tengah B dan Suban Jeriji dan DME), silahkan ke Sekper (Sekretaris Perusahaan)," ujar Direktur Operasi dan Produksi PTBA, Suhedi.

Terkait upaya meningkatkan produksi ini pula, pada awal Januari lalu PTBA  telah menjalin kerjasama dengan PT Putra Perkasa Abadi (PT PPA). Saat itu, Sujoko Martin selaku perwakilan PPA mengatakan pihaknya berupaya memberikan servis terbaik kepada klien dalam lingkup keselamatan dalam kerja pertambangan dan penyediaan unit bagi PTBA. (baca: https://www.tambang.co.id/putra-perkasa-abadi-teken-kontrak-dengan-bukit-asam-27462/)

Di sisi lain, menyoal peningkatan produksi dalam aktivitas pertambangan di Sumsel, Ketua Komisi IV DPRD Sumsel MF Ridho pernah berujar, bahwa upaya peningkatan produksi yang dilakukan oleh perusahaan tambang yang beroperasi di Sumsel ini harus juga diimbangi dengan upaya meningkatkan keselamatan kerja pertambangan dan pada puncaknya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sumsel. 

Apa yang disampaikan Ridho ini, seiring dengan maraknya fatality dalam aktivitas pertambangan di Sumsel beberapa waktu terakhir.