Lahannya Tercemar Limbah Batu Bara, Warga Prabumulih-Muara Enim Ngadu ke Pj Gubernur Agus Fatoni

Pertemuan Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni dengan Lembaga Swadaya Masyarakat Muara Enim Lubai Rambang Bersatu (LSM MRLB). (ist/rmolsumsel.id)
Pertemuan Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni dengan Lembaga Swadaya Masyarakat Muara Enim Lubai Rambang Bersatu (LSM MRLB). (ist/rmolsumsel.id)

Konflik lahan serta dugaan pencemaran lingkungan antara warga Prabumulih-Muara Enim dengan perusahaan tambang batu bara sepertinya belum menemui titik terang.


Konflik tersebut melibatkan warga Desa Gunung Raja, Kecamatan Empat Petulai Dangku, Muara Enim dan Kelurahan Payu Putat, Kecamatan Prabumulih Barat, Kota Prabumulih dengan perusahaan PLTU PT Gua Huo Energy Musi Makmur Indonesia (GHEMMI) dan perusahan tambang batu bara PT Musi Prima Coal (MPC) dan Lematang Coal Lestari (LCL). 

Proses ganti rugi lahan warga yang tercemar limbah yang tak kunjung diselesaikan perusahaan menjadi penyebab gelombang protes terus dilakukan warga kedua wilayah tersebut.

Setelah beberapa kali melakukan aksi protes, warga yang diwakili Lembaga Swadaya Masyarakat Muara Enim Lubai Rambang Bersatu (LSM MRLB), Selasa (8/5), melakukan audiensi dengan Pj Gubernur Sumsel, Agus Fatoni untuk menengahi konflik tersebut.

Ketua LSM MRLB, Sastra Amiadi mengatakan,konflik warga dengan perusahaan sudah terjadi sejak 2016 lalu. Saat itu, sejumlah lahan warga tercemar limbah dari perusahaan pemilik IUP batu bara, PT MPC dengan penambang PT LCL. 

Pencemaran itu bahkan telah ditindaklanjuti oleh Gubernur Sumsel era Alex Noerdin dengan memberikan sanksi administratif yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Sumsel  bernomor 493/KPTS/Ban.LH/2016. 

Dalam sanksi, perusahaan diminta untuk menyelesaikan ganti rugi, tanam tumbuh warga akibat tercemarnya Sungai Penimur. Namun, saat itu, perusahaan hanya melakukan proses ganti rugi di sebagian warga saja. 

"Tidak semua warga yang lahannya terdampak diganti rugi. Hanya sebagian saja, sehingga protes ini terus bergulir," kata Sastra. 

Dia menjelaskan, saat ini warga meminta perusahaan membebaskan lahan yang sudah tercemar oleh limbah perusahaan. "Warga meminta lahannya dibebaskan saja. Sebab, lahan itu saat ini tidak bisa ditanami karena sudah tercemar. Ini yang kami tuntut," ungkap Sastra. 

Untuk itu, pihaknya meminta Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni bisa memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan tersebut. "Kami minta mereka ini juga disanksi karena jelas sudah melakukan pencemaran," ucapnya. 

Sementara itu, perwakilan warga Kelurahan Payu Putat, Zulkarnain mengatakan, lahan warga yang terdampak pencemaran sudah dihitung luasannya sekitar 130 hektar. Lahan-lahan tersebut rata-rata merupakan kebun karet yang kurang produktif akibat setiap tahun tercemar limbah perusahaan.

"Lahan ini berada di sekitar Sungai Penimur yang sudah tercemar kondisinya oleh limbah perusahaan," bebernya. 

Selain itu, warga juga menuntut perusahaan untuk melakukan normalisasi Sungai Penimur yang sudah dirusak oleh perusahaan. Hal itu sudah tertuang dalam sanksi administratif paksaan yang dikeluarkan Pemprov Sumsel. 

Sanksi itu juga dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Muara Enim atas nomor perkara 31/Pid.B/LH/2023/PN Mre. Dalam putusan yang dikeluarkan pada 11 April 2023 itu, PT LCL sudah divonis bersalah lantaran dengan sengaja memindahkan alur Sungai Penimur. 

"Artinya perusahaan wajib membenahi lingkungan yang sudah terbukti dirusaknya lantaran pemindahan alur sungai tanpa izin," terangnya.

Dia berharap, Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni bisa memberikan jalan keluar atas masalah yang dialami warga selama bertahun-tahun ini. "Dampak dari aktivitas perusahaan ini sangat besar bagi kehidupan kami. Jumlah lebung yang bisa dilelang saat ini sudah berkurang. Kemudian, sungai yang tadinya bisa mencari ikan, kini tidak bisa lagi dilakukan. Kami ingin semua Kembali normal," tandasnya.