Atasi Konflik Pencemaran Warga vs Musi Prima Coal Cs, Gubernur Sumsel Bakal Surati Bupati Muara Enim dan Wali Kota Prabumulih 

Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni. (ist/rmolsumsel.id)
Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni. (ist/rmolsumsel.id)

Konflik pencemaran lingkungan antara warga Muara Enim dan Kota Prabumulih dengan PLTU PT Gua Huo Energy Musi Makmur Indonesia (GHEMMI), perusahaan tambang PT Musi Prima Coal dan PT Lematang Coal Lestari (LCL) mendapat atensi Pemprov Sumsel. 


Dalam waktu dekat, Pemprov Sumsel bakal bersurat ke Bupati Muara Enim dan Wali Kota Prabumulih untuk menengahi persoalan warga tersebut. Hal itu diungkapkan langsung Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan, Herdi Apriansyah saat dibincangi Kantor Berita RMOL Sumsel, Rabu (8/5). 

Herdi mengatakan, penyelesaian konflik oleh Pemkab Muara Enim dan Pemkot Prabumulih tersebut sudah sesuai dengan surat kesepakatan yang pernah dibuat serta disaksikan pemerintah daerah tersebut.

"DLHP/Pemprov akan segera berkirim surat ke Bupati Muara Enim dan Walikota Prabumulih, untuk mendapatkan tindak lanjut kesepakatan yang pernah dibuat antar pihak-pihak yang telah disaksikan pemerintah daerah tersebut," kata Herdi. 

Herdi mengatakan, konflik antara warga dengan perusahaan tambang tersebut sudah berlangsung cukup lama. Sejumlah warga sudah ada yang diberikan kompensasi atas pencemaran yang dilakukan sesuai sanksi yang dikeluarkan DLHP Provinsi Sumsel pada saat itu. 

"Hanya saja rupanya, belum seluruhnya mendapat ganti rugi. Karena itulah warga protes," ucapnya. 

Selanjutnya, kata Herdi, pihaknya akan segera melakukan telaah atas laporan yang telah diajukan warga. "Selanjutnya akan kami telaah dan memanggil para pihak untuk ditindaklanjut realisasinya," tegas Herdi. 

Diberitakan sebelumnya, konflik lahan serta dugaan pencemaran lingkungan antara warga Prabumulih-Muara Enim dengan perusahaan tambang batu bara sepertinya belum menemui titik terang.

Konflik tersebut melibatkan warga Desa Gunung Raja, Kecamatan Empat Petulai Dangku, Muara Enim dan Kelurahan Payu Putat, Kecamatan Prabumulih Barat, Kota Prabumulih dengan perusahaan PLTU PT Gua Huo Energy Musi Makmur Indonesia (GHEMMI) dan perusahan tambang batu bara PT Musi Prima Coal (MPC) dan Lematang Coal Lestari (LCL). 

Proses ganti rugi lahan warga yang tercemar limbah yang tak kunjung diselesaikan perusahaan menjadi penyebab gelombang protes terus dilakukan warga kedua wilayah tersebut.

Setelah beberapa kali melakukan aksi protes, warga yang diwakili Lembaga Swadaya Masyarakat Muara Enim Lubai Rambang Bersatu (LSM MRLB), Selasa (8/5), melakukan audiensi dengan Pj Gubernur Sumsel, Agus Fatoni untuk menengahi konflik tersebut.

Ketua LSM MRLB, Sastra Amiadi mengatakan,konflik warga dengan perusahaan sudah terjadi sejak 2016 lalu. Saat itu, sejumlah lahan warga tercemar limbah dari perusahaan pemilik IUP batu bara, PT MPC dengan penambang PT LCL. 

Pencemaran itu bahkan telah ditindaklanjuti oleh Gubernur Sumsel era Alex Noerdin dengan memberikan sanksi administratif yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Sumsel  bernomor 493/KPTS/Ban.LH/2016. 

Dalam sanksi, perusahaan diminta untuk menyelesaikan ganti rugi, tanam tumbuh warga akibat tercemarnya Sungai Penimur. Namun, saat itu, perusahaan hanya melakukan proses ganti rugi di sebagian warga saja. 

"Tidak semua warga yang lahannya terdampak diganti rugi. Hanya sebagian saja, sehingga protes ini terus bergulir," kata Sastra. 

Dia menjelaskan, saat ini warga meminta perusahaan membebaskan lahan yang sudah tercemar oleh limbah perusahaan. "Warga meminta lahannya dibebaskan saja. Sebab, lahan itu saat ini tidak bisa ditanami karena sudah tercemar. Ini yang kami tuntut," ungkap Sastra. 

Untuk itu, pihaknya meminta Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni bisa memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan tersebut. "Kami minta mereka ini juga disanksi karena jelas sudah melakukan pencemaran," ucapnya. 

Sementara itu, perwakilan warga Kelurahan Payu Putat, Zulkarnain mengatakan, lahan warga yang terdampak pencemaran sudah dihitung luasannya sekitar 130 hektar. Lahan-lahan tersebut rata-rata merupakan kebun karet yang kurang produktif akibat setiap tahun tercemar limbah perusahaan.

"Lahan ini berada di sekitar Sungai Penimur yang sudah tercemar kondisinya oleh limbah perusahaan," bebernya. 

Selain itu, warga juga menuntut perusahaan untuk melakukan normalisasi Sungai Penimur yang sudah dirusak oleh perusahaan. Hal itu sudah tertuang dalam sanksi administratif paksaan yang dikeluarkan Pemprov Sumsel. 

Sanksi itu juga dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Muara Enim atas nomor perkara 31/Pid.B/LH/2023/PN Mre. Dalam putusan yang dikeluarkan pada 11 April 2023 itu, PT LCL sudah divonis bersalah lantaran dengan sengaja memindahkan alur Sungai Penimur. 

"Artinya perusahaan wajib membenahi lingkungan yang sudah terbukti dirusaknya lantaran pemindahan alur sungai tanpa izin," terangnya.

Dia berharap, Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni bisa memberikan jalan keluar atas masalah yang dialami warga selama bertahun-tahun ini. "Dampak dari aktivitas perusahaan ini sangat besar bagi kehidupan kami. Jumlah lebung yang bisa dilelang saat ini sudah berkurang. Kemudian, sungai yang tadinya bisa mencari ikan, kini tidak bisa lagi dilakukan. Kami ingin semua Kembali normal," tandasnya.