Mantan Pasien ODGJ Dedikasikan Diri Jadi Perawat : Bangkit dari Stigma Negatif dan Temukan Keluarga Baru

Rumah Sakit Jiwa Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan. (alwi/rmolsumsel.id)
Rumah Sakit Jiwa Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan. (alwi/rmolsumsel.id)

Zakaria (56), terlihat sibuk menyiapkan makanan pasien Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Rumah Sakit Ernaldi Bahar, Palembang saat wartawan Kantor Berita RMOLSumsel berkunjung beberapa waktu lalu.


Tubuh pria paruh baya itu gemuk berisi, namun cukup cekatan. Ia begitu bersemangat membantu merawat melayani pasien di bangsal perawatan Rumah Sakit itu. Sesekali bahkan iapun menyuapi makanan kepada pasien yang masuk kategori berat. 

Dokter dan perawat di Rumah Sakit itu biasa memanggilnya Jek. Agar lebih mudah, juga agar lebih terdengar karib. Jek tinggal di Rumah Sakit itu sudah lebih dari 10 tahun. 

"Dari (lokasi) Rumah Sakit lama, sampai pindah disini,"ujarnya membuka percakapan. Jek memiliki waktu luang siang hari, saat jam istirahat pasien. Itupun setelah ia menyelesaikan tugas membantu membelikan makanan bagi dokter dan perawat.

Pagi hari Jek kerap membantu menyapu dan membersihkan beberapa ruangan. Akhir pekan, ia membantu merapikan tanaman di kawasan Rumah Sakit, yang telah dianggapnya sebagai rumah.

Rumah Sakit Jiwa Bersejarah di Palembang

Rumah Sakit Ernaldi Bahar, atau yang biasa disebut Rumah Sakit Erba, merupakan salah satu unit kerja yang berada dalam cakupan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Rumah Sakit ini berada di Jl. Tembus Terminal Alang-alang Lebar, KM12 Kota Palembang.

Sebelum ini, Rumah Sakit yang khusus menangani pasien dengan gangguan dan atau penyakit kejiwaan di Sumsel itu berada di Jalan Kol H Barlian, KM6 Kota Palembang.

Dilansir dari laman rs-erba.go.id, Rumah Sakit Ernaldi Bahar pada mulanya bernama Rumah Sakit Jiwa yang didirikan pada tahun 1920 seperti tertuang dalam besluit tgl 21 Mei 1992 No. 21 dari Burgelijke Geneeskunding Dienst, kemudian Besluit No 41 tanggal 25 Pebruari 1922 tentang personalia yang betugas ditempat itu.

Pada tahun 1923 dibangun “Verpleechtehuiz“  (rumah perawatan) pertama di Indonesia yaitu di Ujung Pandang dan Palembang; untuk di Palembang terletak di Jln. Wirangga Wiro Sentiko yang sekarang ditempati oleh Polisi Militer Kodam II Sriwijaya.

Pada tahun 1942 dipindahkan ke Baturaja kemudian dipindahkan lagi ke Kurungan Nyawa Ogan Komering Ulu (OKU) yang dipimpin oleh R.R. Setiardjo.

Rumah Sakit Jiwa Palembang mulai dibangun tahun 1954-1955 dengan nama Rumah Sakit Suka Bangun. Karena situasi keamanan saat itu maka sebagian bangunan ditempati oleh Batalion Basis TNI AD.

Setelah keadaan aman pada tahun 1957 mulai dirintis berdirinya Unit pelayanan Kesehatan jiwa berupa : Poliklinik Penyakit Jiwa dan Syaraf yang dipimpin oleh Dr. Chasanah Goepito, dan secara resmi dibuka pada tanggal 13 Juli 1958.

Berdasarkan surat Pimpinan Rumah Perawatan sakit Jiwa Kurungan Nyawa tgl 4 Januari 1957 No. 10/20/A/ Rpsd dan tgl 3 Juli 1958 No 365/20/B/Rpsd/V/58 dan tanggal 24 Juli 1958 No 258/Peg/V/58 pegawai Rumah Sakit Jiwa Suka Bangun dan Kurungan Nyawa dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa Suka Bangun berdasarkan SK Menkes No.4287/PAL/ 1958 disertai mutasi 21 orang pegawai Rumah Sakit kurungan nyawa.

Pada tanggal 18 Agustus 1958 dilakukan peresmian Oleh Kepala Bagian Penyakit Jiwa KemKES RI menjadi Rumah Sakit Jiwa Suka Bangun yang dipimpin oleh Dr. Chasanah Goepito.

Selanjutnya sesuai perkembangannya, Rumah Sakit Jiwa Ernaldi Bahar yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Provinsi Sumatera Selatan dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2001 sebagai mana telah diubah dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2006.

Berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor: 841/KPTS/BPKAD/2013 Tentang Penetapan Rumah Sakit Ernaldi Bahar sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) bertahap. 

Bertemu Keluarga Baru 

Seiring hal tersebut, maka sejak tanggal 2 januari 2014 Rumah Sakit Jiwa Ernaldi Bahar sudah resmi menempati gedung barunya. Jek, kala itu ikut membantu proses kepindahan barang yang terkait operasional Rumah Sakit.

Jek bercerita, ia tidak serta-merta tinggal di Rumah Sakit itu sampai sekarang. Ia dulunya adalah pasien yang sempat menjalani rawat inap, rawat jalan, sampai akhirnya dinyatakan sembuh.

Ia didiagnosa menderita Skizofrenia yang merupakan gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Jek kerap mengalami halusinasi tak jelas yang diperparah dengan Anxiety Disorder yaitu gangguan kecemasan yang juga dialaminya. 

Sayangnya, pergaulan Jek waktu muda yang sering mengonsumsi minuman keras dan membuatnya kecanduan, justru memperparah penyakit tersebut. Jek sering mengamuk tidak jelas. Dirumah dan di sekitar lingkungannya. 

Oleh sebab itulah, keluarganya membawa Jek ke Rumah Sakit Jiwa di Palembang. Dokter memintanya untuk dirawat dan mengonsumsi sejumlah obat-obatan.

Keluarga Jek, bukanlah keluarga yang mampu. Sehingga kesulitan untuk membiayai pengobatan yang diprediksi panjang, kala itu. Salah satu caranya, kata Jek, adalah dengan menjual kebun milik keluarganya. 

Tapi ia sama sekali lupa dimana rumah keluarganya. Yang diingatnya adalah Musi Banyuasin, salah satu Kabupaten di Sumsel yang beribukota di Sekayu. 

Ia samar-samar mengingat kondisi setelah sekitar dua bulan menjalani perawatan dan diperbolehkan pulang. Setelah beberapa hari dirumah, Jek kembali mengamuk di rumah dan membuat tetangganya takut. 

Perasaan kecewa membuat penyakitnya kembali kambuh. Ia mengalami depresi, cemas, campur aduk dengan emosinya yang juga semakin meningkat. Menurut Jek saat itu, tidak ada orang yang mau menerima kondisinya. Alhasil, Jek kembali diantar ke Rumah Sakit Jiwa. 

"Nah, yang kedua ini lebih lama lagi. Sampai banyak makan obat, sudah dak tahu (sudah tidak tahu) lagi berapa banyak,"kata Jek. Saat menjalani perawatan kali kedua inilah, keluarganya mulai jarang datang membesuk. 

Kepala Instalasi Humas dan Pelayanan Pengaduan Rumah Sakit Ernaldi Bahar, Iwan Adyantoro mengungkapkan jika Jek pertama kali dirawat sekitar tahun 1987. Sejak saat itu, Jek yang kemudian kembali di rawat tak lama setelahnya, sudah menjadi bagian dari Rumah Sakit.  

"Untuk pasien (gangguan jiwa) ini, tidak bisa dibilang sembuh. Ia harus tetap menjalani pengobatan (rawat jalan), dan mengonsumsi obat. Istilahnya adalah untuk menjaga kondisinya dalam keadaan stabil,"kata Iwan. 

Setelah ditinggalkan keluarganya, Jek tidak punya pilihan. Namun, Rumah Sakit nyatanya menjadi keluarga baru bagi Jek. Sebab menurut Iwan, ada perlakuan yang berbeda yang harus diterapkan bagi pasien yang sudah berangsur pulih. 

Hanya saja, stigma yang ada di masyarakat masih berlangsung hingga saat ini. Seperti itu juga yang dialami oleh Jek. Ia tidak diterima oleh keluarga dan dikucilkan lingkungannya. 

Padahal, tidak hanya bantuan obat-obatan, tetapi juga lingkungan sangat membantu kondisi pasien untuk tetap stabil.

Oleh sebab itulah menurut Iwan, dalam kondisi seperti itu, salah satu dokter di Rumah Sakit tersebut yang ikut merawat Jek, kemudian berbaik hati. Jek dimasukkan ke dalam Kartu Keluarga dokter tersebut dan didaftarkan sebagai peserta Askes (sekarang BPJS Kesehatan).

Dijelaskan Iwan, Rumah Sakit Ernaldi Bahar sebagai pelayanan kesehatan jiwa type A, saat ini bertugas melayani pasien peserta BPJS sesuai dengan peraturan yang berlaku. 

Yakni menerima pasien yang dirujuk dari faskes yang mempunyai kualifikasi pelayanan jiwa di bawah Rumah Sakit Erba yang bertipe B,C, dan D serta Faskes tingkat I. "Jadi kami mewajibkan para pasien yang merupakan peserta BPJS untuk membawa surat rujukan dari faskes tersebut," katanya.

Sehingga, apabila rujukan tersebut sudah dibawa maka pasien tentunya dapat mendapatkan pelayanan BPJS di Erba. Dimana, pelayanannya tidak berbeda dengan pasien yang berbayar mandiri, termasuk fasilitasnya. 

"Fasilitas yang diberikan mulai dari rawat inap, psikologi, dan obat-obatan. Semua nanti akan ditanggung oleh BPJS," ujarnya.

Iwan menambahkan, tidak semua pasien Rumah Sakit Ernaldi Bahar disebut orang gila seperti stigma yang ada. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, banyak penyakit kejiwaan yang dialami oleh masyarakat.

Gejala-gejala gangguan jiwa yang muncul ini, ada yang terlihat ada pula yang tidak terlihat namun tidak bisa dibiarkan. "Karena gangguan jiwa itu bisa berupa insomnia, phobia dan lain sebagainya. Jika ini dibiarkan tentu akan berdampak pada penderitanya," terangnya.

Seperti dialami oleh Jek yang kini tidak hanya memiliki keluarga baru, tetapi juga masih bisa mengonsumsi obat dan menjaga kondisinya tetap stabil berkat BPJS Kesehatan.

Bangkit dan Percaya Diri Untuk Sembuh

Berbagai jenis obat, telah dikonsumsi oleh Jek yang memberinya efek jangka panjang. Salah satunya Jek masih suka melamun, meski secara komunikasi sudah seperti orang normal kebanyakan. 

Lamanya waktu perawatan membuat Jek kehilangan jejak keluarganya. Tidak ada satupun, sampai saat ini yang membesuknya mengaku dari keluarga. Jek hanya tahu jika ia tinggal dan bekerja di Rumah Sakit itu, bertugas membantu sesama pasien untuk sembuh. 

Hal yang manusiawi jika Jek merasa putus asa. Ia juga sempat merasa jadi orang yang tidak berguna sampai keluarganya tega 'membuangnya'.

Tapi keluarga baru Jeklah yang menguatkannya. "Saya putuskan untuk tinggal disini. Saya percaya saya bisa sembuh. Saya minum obat dan berdoa. Itu saya lakukan selama ini,"kata Jek. 

Itu pula yang diajarkannya kepada pasien lain. Agar bangkit untuk sama-sama sembuh dan bisa kembali lagi normal. Sebab, memang tidak semua diagnosa pasien sama, tapi menurut Jek semua punya kesempatan sembuh yang sama.