Politik Kekerabatan di Pilkada Serentak Sumsel, Urusan Rakyat Selesai di Meja Makan!

Infografis garis Kekeluargaan tokoh politik yang bertarung di Pilkada Serentak Sumsel. (tim grafis/rmolsumsel.id)
Infografis garis Kekeluargaan tokoh politik yang bertarung di Pilkada Serentak Sumsel. (tim grafis/rmolsumsel.id)

Politik kekerabatan terpampang nyata dalam pencalonan kepala daerah yang akan maju di pilkada serentak di Sumsel mendatang. 


Tidak hanya hubungan ayah-anak, tetapi ada pula hubungan kekerabatan suami-istri yang kemudian dinilai oleh pengamat secara satire bahwa untuk menyelesaikan urusan rakyat akan bisa dilakukan dengan sangat mudah, di meja makan.

Meskipun pemilihan diksi meja makan, termasuk cukup santun apabila dibandingkan dengan diksi ranjang, namun hubungan kekerabatan ini dinilai akan banyak memberikan dampak negatif.

Pengamat politik Sumsel, Ade Indra Chaniago, mengungkapkan kekhawatirannya. Praktik politik kekerabatan ataupun politik dinasti di Pilkada Sumsel ini tidak ubahnya seperti "tong sampah".

Istilah ini digunakan untuk menggambarkan situasi di mana orang-orang yang tidak layak atau tidak memiliki kapasitas memadai dapat menduduki posisi strategis hanya karena memiliki hubungan keluarga dengan tokoh politik berpengaruh.

"Politik dinasti ini menghadirkan orang-orang yang tidak layak menjadi kepala daerah, seperti orang buangan yang tetap bisa memimpin karena koneksi keluarga. Itulah kenapa saya memakai diksi tong sampah karena merujuk dari kapasitas pemimpin yang dihasilkan memang tidak layak," ungkap Ade Indra dihubungi RMOL Sumsel, Rabu (4/9).

Pengamat Politik Sumsel, Ade Indra Chaniago/ist

Lebih lanjut dia menjelaskan, praktik politik dinasti kerap kali hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu, sementara kepentingan masyarakat luas diabaikan. Menurutnya, praktik ini bisa menjadi lahan subur bagi korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of Power). 

"Di Sumsel, politik dinasti ini sangat kental dan mengkhawatirkan karena dampak negatifnya akan sangat merugikan masyarakat," jelasnya.

Kandidat Doktor Ilmu Politik dari Universitas Indonesia ini menilai bahwa politik seharusnya menjadi sesuatu yang mulia dan terhormat. Namun, ketika digunakan untuk melanggengkan kekuasaan dalam satu kelompok, politik justru menjadi terhina dan kehilangan integritasnya. Penghambat proses regenerasi politik dan memicu terbentuknya oligarki, di mana kekuasaan hanya berputar di lingkaran tertentu.

"Dampaknya keputusan-keputusan penting dikhawatirkan berisiko lebih mementingkan kepentingan keluarga atau kelompok tertentu daripada kepentingan publik. Bahkan, bisa saja masalah rakyat selesai di meja makan atau ranjang jika politik dinasti sudah mengakar," tegasnya.

Meski demikian, Ade menyadari bahwa upaya untuk menghentikan dominasi politik dinasti ini tidaklah mudah. Sistem yang ada saat ini dinilainya masih memungkinkan terjadinya praktik politik dinasti. Sehingga untuk mengatasi hal ini, dia menyerukan perlunya perubahan regulasi dan peningkatan pemahaman politik di kalangan masyarakat agar mereka lebih cerdas dalam memilih pemimpin.

"Merubah kondisi ini sangat sulit karena terkait dengan regulasi. Undang-undang yang mengatur harus diubah terlebih dahulu, dan pemahaman masyarakat tentang politik juga perlu ditingkatkan," ungkapnya.