Fenomena Mutasi ASN Sumsel: Nasib Pegawai yang Berseberangan dengan Kepala Daerah Baru

ilustrasi/RMOL
ilustrasi/RMOL

Fenomena perpindahan Aparatur Sipil Negara (ASN) ke luar daerah kerap terjadi pasca Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Tak terkecuali di Sumsel, saat sejumlah daerah melaporkan lonjakan mutasi ASN dalam dua bulan terakhir. 


Berbagai alasan muncul di balik pengajuan mutasi ini, mulai dari faktor keluarga hingga pengembangan karir. Namun, menurut beberapa pengamat, fenomena ini juga tidak terlepas dari dinamika politik yang terjadi sejak akhir tahun lalu.

Umumnya, ASN yang mengajukan mutasi diduga terlibat dalam politik praktis dan mendukung pasangan calon (paslon) yang kalah dalam Pilkada. Mereka yang memiliki jabatan strategis merasa terancam akan dinonjobkan jika tetap bertahan di bawah kepemimpinan kepala daerah baru.

"Hal ini sebetulnya sudah menjadi rahasia umum, karena berkaitan dengan kenyamanan kerja dan ancaman terhadap karir," kata Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan dan Politik, Ade Indra Chaniago.

Ade mengungkapkan, fenomena perpindahan ASN usai Pilkada sering terjadi akibat kedekatan ASN dengan calon yang maju dalam kontestasi politik. "Banyak ASN terlibat dalam kontestasi politik dengan harapan mendapatkan jabatan strategis jika calon yang mereka dukung menang. Ini menunjukkan buruknya implementasi meritokrasi dalam birokrasi," tegas Ade.

Menurutnya, fenomena ini tidak hanya merugikan ASN, tetapi juga berdampak pada kualitas pelayanan publik. "ASN seharusnya fokus pada profesionalisme, bukan dinamika politik," ujarnya.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan dan Politik (PSKP) Ade Indra Chaniago

Puluhan ASN Muba Ajukan Mutasi, Pemkot Palembang dan Pemprov Sumsel Jadi Favorit

Berdasarkan penelusuran redaksi, puluhan ASN dan pejabat di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) disebut telah mengajukan mutasi ke berbagai daerah. Pemkot Palembang dan Pemprov Sumsel menjadi tujuan favorit. Meski demikian, narasumber yang enggan disebutkan namanya menolak memberikan keterangan lebih rinci.

Bahkan, disebutkan bahwa beberapa ASN rela memberikan sejumlah uang sebagai syarat mutasi. Meski hal ini belum terkonfirmasi secara resmi, fenomena pengajuan mutasi juga terjadi di daerah lain.

Di Kota Lubuklinggau, dua ASN tercatat mengajukan perpindahan tugas. Plt Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM), Dian Candra, menjelaskan bahwa alasan perpindahan tersebut murni keinginan pribadi. "Datanya baru dua yang keluar. Alasannya pribadi," ujar Dian pada Rabu (5/2/2025).

Sementara itu, proses penerimaan ASN baru di Lubuklinggau masih berlangsung. Hingga kini, hanya satu ASN dari Muratara yang telah resmi masuk ke Pemkot Lubuklinggau. "Yang baru masuk itu satu orang dari Muratara, atas nama Indra. Proses tes masih berjalan," tambah Dian.

Fenomena serupa terjadi di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara). Menurut Sekretaris BKPSDM Muratara, Deni, hanya satu ASN yang mengajukan pindah ke Lubuklinggau. "Pengajuan ini sudah berlangsung lama dan harus melalui prosedur yang jelas, termasuk persetujuan dari Badan Kepegawaian Negara (BKN)," jelas Deni.

Di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), tercatat 17 ASN memilih mutasi ke luar daerah pada 2024. Kepala Bidang Mutasi dan Promosi BKPSDM OKI, Boy Darmawan, menyebut alasan utama perpindahan adalah faktor keluarga, seperti merawat orang tua atau mengikuti suami. "Ada juga yang merasa potensi karir mereka lebih berkembang di daerah baru," ujar Boy.

Sementara itu, di Kota Pagar Alam, 16 PNS mengajukan pindah tugas sepanjang 2024, dengan tiga orang lagi dalam proses pengajuan hingga Februari 2025. Kepala Bidang Mutasi BKPSDM Pagar Alam, Evi Yuningsih Gumay, mengungkapkan bahwa alasan utama perpindahan adalah kedekatan dengan keluarga. "Paling sering, mereka ingin dekat dengan keluarga," kata Evi.

Namun, tidak semua pengajuan diterima. ASN yang diangkat pada tahun 2019 terikat aturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB) yang melarang mutasi sebelum mengabdi minimal 10 tahun di daerah asal.

Direktur Eksekutif Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA), Rahmat Sandi/ist

Fenomena Mutasi ASN dan Praktik Pungli

Di sisi lain, fenomena mutasi ASN usai Pilkada memunculkan dugaan praktik pungutan liar (pungli). Direktur Eksekutif Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA), Rahmat Sandi, menyebutkan bahwa momen pergantian kepala daerah sering dimanfaatkan oknum untuk memperlancar proses mutasi dengan imbalan tertentu, terutama uang.

Menurut Rahmat, proses mutasi antar daerah atau antar provinsi bisa memakan biaya mulai dari Rp30 juta hingga Rp100 juta, tergantung pada posisi dan daerah tujuan. Oknum-oknum ini berasal dari berbagai kalangan, mulai dari mereka yang dekat dengan kepala daerah terpilih hingga tokoh politik.

"Fenomena ini tidak hanya soal politik praktis. Mereka menggunakan prinsip ekonomi, ada permintaan dan penawaran, yang notabene masuk dalam kategori pungli. Oleh sebab itu, harus diawasi ketat, oleh masyarakat, oleh inspektorat, bahkan oleh Aparat Penegak Hukum (APH)," jelasnya.

Rahmat menegaskan, pengawasan ketat dan transparansi dalam proses mutasi ASN wajib dilakukan untuk memastikan tidak ada praktik yang merugikan, baik bagi ASN maupun masyarakat. (tim)