Modus Dugaan Penyelewengan Dana Hibah PMI Palembang: Lazim Untuk Biaya Kampanye, Perlu Audit Investigatif

Momen Ketua PMI Kota Palembang Fitrianti Agustinda dalam kegiatan donor darah/ist
Momen Ketua PMI Kota Palembang Fitrianti Agustinda dalam kegiatan donor darah/ist

Penggunaan dana hibah Pemerintah Kota Palembang untuk Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Palembang 2020-2022 semakin menimbulkan polemik. Pasalnya penggunaan anggaran tersebut dinilai tidak transparan sehingga tidak terpublis ke masyarakat.


Lantaran itu, banyak pihak yang menduga telah terjadi penyelewengan terkait dana hibah tersebut. Seperti yang disuarakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Corporation Anti Corruption (CACA) yang menuntut penyidik Kejati Sumsel untuk mendalami potensi penyelewengan anggaran tersebut. (Baca: https://www.rmolsumsel.id/berpotensi-korupsi-kejati-sumsel-diminta-periksa-dugaan-penyelewengan-anggaran-pmi-kota-palembang)

Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumsel, Nunik Handayani mengungkapkan penggunaan dana hibah sangat rawan dikorupsi. Potensi itu semakin kuat jika dalam penggunaanya tidak transparan.

"Sebenarnya ini masalah lama dan memang harus transparan kalau menyangkut anggaran. Apalagi dana hibah memang sangat rawan dikorupsi," kata Nunik dihubungi RMOLSumsel, Rabu (10/5).

Lebih lanjut dia mengatakan yang membuat dana hibah rawan dikorupsi lantaran kewenangan anggaran tersebut berada di kepala daerah. Dalam pelaksanaanya, dana hibah Pemkot Palembang selama ini diberikan kepada instansi vertikal, kelompok masyarakat, dan lembaga lainnya.

Kata dia, dalam item atau program pemberian hibah, sejatinya sudah diuraikan dalam proposal, sehingga diharapkan tidak keluar dari rencana tersebut.

"Kewenangan dana hibah ini sebenarnya ada di kepala daerah. Hal itulah yang menimbulkan kerawanan dikorupsi oleh oknum tertentu, sudah transparan saja masih bisa dikorupsi apalagi tidak," jelasnya.

Dari temuan FITRA, tren lonjakan anggaran hibah pemerintah daerah terjadi pada tahun-tahun menjelang pemilihan umum (pemilu). Hal ini terjadi pada banyak kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan maupun kepolisian. Selain itu, saat ditelisik, organisasi atau lembaga penerima dana hibah juga berhubungan dengan kepala daerah tersebut.

"Biasanya tindakan semacam ini lazim dilakukan kepala daerah untuk biaya kampanye atau membayar pendukung mereka melalui skema dana hibah tersebut," katanya.

Menyikapi hal tersebut, Nunik mendorong perlu adanya tindakan nyata dari aparat penegak hukum. Disamping itu dukungan dari masyarakat dalam mengawasi penggunaan dana hibah tersebut. Peran pengawasan dari masyarakat akan menjadi triger dalam upayah penanganan masalah korupsi seperti yang terjadi di Lampung.

"Masyarakat, ormas dan media juga harus mengawasi hal ini. Jika tidak bisa menguap, karena aparat penegak hukum itu akan bertindak apabila sudah mendapat desakan dari masyarakat. Seperti yang terjadi Lampung saat ini, untuk itu kita harus mendorong hal ini agar aparat bertindak kalau diam saja, pasti menguap," pungkasnya.

Sementara itu Deputi Komunitas Masyarakat Anti Korupsi (K-Maki) Feri Kurniawan mengatakan penggunaan dana hibah PMI Kota Palembang tidak akan bermasalah jika ada laporan pertanggungjawaban setiap tahunnya.

"Kalau ada laporan dan bisa dipertanggung jawabkan tak masalah. Sekarang ini bagaimana kita tahu, mereka saja tidak transparan. Besaran dana hibah saja kita tidak tahu," katanya.

Untuk itu Feri menilai perlu dilakukan audit investigatif dari lembaga yang kredibel sehingga aparat hukum bisa bertindak. "Aparat hukum jangan diam saja menyikapi ini, istilahnya jemput bola kalau memang ada potensi korupsi di PMI Palembang. Bila perlu segera lakukan audit investigatif agar semuanya terbuka," tegasnya.