Mengulas Opini WDP pada Laporan Keuangan Pemkot Palembang 2022, Bendahara Pindahkan Kas ke Rekening Pribadi Tanpa Diawasi Inspektorat [Bagian Keempat]

Kantor Walikota Palembang. (ist/rmolsumsel.id)
Kantor Walikota Palembang. (ist/rmolsumsel.id)

Selain pengelolaan pelaksanaan penerimaan daerah melalui transaksi nontunai yang belum memadai, BPK juga menemukan pengelolaan transaksi nontunai pada bendahara pengeluaran di beberapa SKPD di Pemkot Palembang yang tidak memadai. Bahkan cenderung melanggar aturan dan koruptif.  


Hasil telaah atas Perwako Nomor 63 Tahun 2019 menunjukkan bahwa Perwako tersebut lebih mengatur mengenai asas dan tujuan, jenis pembayaran dan pengecualian, pembinaan, pengawasan, dan sanksi administrasi dalam pelaksanaan transaksi nontunai. Perwako tersebut juga mengatur tentang pengecualian penggunaan transaksi nontunai pada Pasal 6 ayat (2) yaitu pembayaran uang saku, uang transportasi, dan/atau uang makan, yang diterima oleh masyarakat dengan nilai paling banyak Rp100.000,00 per orang per kegiatan. Selain dari pengecualian tersebut, seluruh transaksi pembayaran wajib dilakukan secara nontunai ke penyedia. 

Hasil pemeriksaan pengelolaan transaksi nontunai pada 50 SKPD menunjukkan bahwa tidak seluruh transaksi belanja dilakukan secara nontunai ke penyedia atau pelaksana kegiatan. Dalam pelaksanaan belanja, Bendahara Pengeluaran/Bendahara Pengeluaran Pembantu melakukan pemindahbukuan ke rekening pribadi PPTK, Bendahara Pengeluaran, dan pegawai SKPD senilai belanja yang dilakukan yang selanjutnya melakukan pembayaran belanja secara tunai. 

Hasil pemeriksaan terhadap rincian transaksi pembayaran pada 50 SKPD menunjukkan pemindahbukuan/transfer kepada PPTK, Bendahara Pengeluaran/Bendahara Pengeluaran Pembantu, dan pegawai tersebut terjadi di setiap SKPD dengan total nilai yang dipindahbukukan selama TA 2022 sebesar Rp25.523.123.683,00. 

Hasil wawancara dengan Bendahara Pengeluaran/Bendahara Pengeluaran Pembantu secara uji petik menyatakan bahwa pemindahbukuan tersebut dilakukan antara lain karena:

1) Penyedia jasa tidak menerima transfer dan transaksi belanja harus dilakukan secara tunai seperti pembayaran Belanja Makan Minum pada restoran tertentu, pembayaran bahan bakar kendaraan, pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor, pembelian materai dan benda pos, pembayaran jasa laundry, dan lain lain. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa transaksi pada penyedia jasa yang tidak menerima pembayaran nontunai adalah sebesar 4,15% dari total nilai belanja Uang Persediaan (UP)/Ganti Uang (GU) yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran. Sedangkan sisanya sebesar 95,85% merupakan transaksi yang seharusnya dapat ditransaksikan nontunai ke penyedia.

2) Diminta oleh PPTK agar dana belanja di transfer ke rekening pribadi PPTK, selanjutnya PPTK yang melakukan belanja dan nota belanja diserahkan ke Bendahara Pengeluaran/Bendahara Pengeluaran Pembantu Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa hal ini rentan akan penyalahgunaan dana belanja oleh PPTK, seperti belanja tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Selain itu, hal ini juga berdampak atas pengelolaan uang kas oleh PPTK tanpa adanya pembukuan.

 3) Pengelolaan belanja yang dilakukan langsung oleh Bendahara Pengeluaran seperti pembelian jamuan makan dan minum dalam nilai kecil. Sehingga, Bendahara Pengeluaran memindahkan uang kas ke rekening pribadi dan melakukan belanja. Hal tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan karena berdampak atas tidak adanya pemisahan fungsi antara fungsi belanja yang dilakukan oleh PPTK dan fungsi pembayaran yang dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran. 

Berdasarkan wawancara kepada Bendahara Umum Daerah diketahui bahwa mekanisme transaksi nontunaiseharusnya merupakan transaksi nontunai dari Bendahara ke penyedia jasa ataupun pelaksana di lingkungan SKPD. Bendahara seharusnya mengetahui bahwa tidak boleh melakukan pemindahbukuan ke PPTK maupun pegawai lain untuk menggantikan mekanisme transaksi nontunai. Bendahara Umum Daerah mengakui bahwa masih kurangnya pengawasan atas pelaksanaan transaksi nontunai dan pemahaman Bendahara Pengeluaran mengenai transaksi nontunai. Selain memang diperlukannya pemutakhiran pedoman yang digunakan mengenai pelaksanaan transaksi nontunai termasuk apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan. 

Hasil pemeriksaan lebih lanjut terhadap pengelolaan transaksi nontunai pada Bendahara Pengeluaran, konfirmasi kepada Bank Sumsel Babel, dan permintaan keterangan kepada PA/KPA, Bendahara Pengeluaran, dan admin Corporate Internet Banking (CIB) menunjukkan permasalahan sebagai berikut.

1) Tidak Terdapat Perjanjian Kerja Sama antara Pemerintah Kota Palembang dengan Bank Sumsel Babel Terkait Sistem Pembayaran Nontunai. Hasil pemeriksaan atas perjanjian kerja sama antara Pemerintah Kota Palembang dan Bank Sumsel Babel menunjukkan bahwa terdapat perjanjian kerja sama Nomor 032/BPKAD/2020 dan 025/PLG/4/PKS/2020 Tanggal 3 Juli 2020, yang merupakan perjanjian kerja sama atas Pengelolaan Kas Umum Daerah Kota Palembang.

Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan bahwa terdapat kerja sama antara Bank Sumsel Babel dan Pemerintah Kota Palembang terkait pengelolaan sistem pembayaran nontunai. Namun kerja sama tersebut tidak dituangkan dalam suatu perjanjian yang mengikat batas tanggung jawab, hak, dan kewajiban masing-masing pihak. Tidak adanya perjanjian tertulis yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak serta hasil observasi atas pengelolaan transaksi nontunai mengakibatkan permasalahan-permasalahan berikut.

a) Kewenangan Mutlak Admin CIB Dalam Pengelolaan Transaksi Nontunai Transaksi nontunai dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran/Bendahara Pengeluaran Pembantu dengan menggunakan aplikasi internet banking berbasis web pada portal Bank Sumsel Babel dengan alamat https://ibank.bankSumselBabel.com/. Dalam sistem transaksi nontunai Bank Sumsel Babel terdapat tiga pihak yang terlibat yaitu:

(1) Admin transaksi nontunai atau admin CIB yang merupakan pegawai yang dapat mendaftarkan nama, alamat email, dan nomor handphone (HP) otorisator pada aplikasi, serta menambahkan nomor rekening bank lain pada aplikasi jika pembayaran dilakukan ke bank selain Bank Sumsel Babel;

(2) Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Pengeluaran Pembantu yang merupakan pegawai yang dapat mengajukan pembayaran tagihan kegiatan yang telah dilaksanakan. Penambahan ataupun penggantian nama akun dan nomor HP otorisator Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Pengeluaran Pembantu dilakukan oleh admin CIB; dan

(3) PA atau KPA yang merupakan pihak yang menyetujui pembayaran yang diajukan oleh Bendahara Pengeluaran. Penambahan nama akun dan nomor HP otorisator PA ataupun KPA juga dilakukan oleh admin CIB. Dalam pelaksanaan pengelolaan transaksi nontunai, Admin CIB dapat melakukan penambahan ataupun pergantian nama, akun, ataupun nomor HP otorisasi belanja untuk Bendahara dan PA tanpa perlu persetujuan Bank Sumsel Babel. 

Hasil konfirmasi kepada Bank Sumsel Babel menunjukkan bahwa penambahan atau perubahan akun Bendahara/PA tersebut merupakan tanggung jawab dari admin CIB. Bank Sumsel Babel hanya bertugas mendaftarkan admin CIB pada sistem Bank Sumsel Babel. Sehingga Bank Sumsel Babel tidak mengetahui siapa pihak yang menjadi otorisator belanja dan tidak pernah melakukan verifikasi atas hal tersebut. Pemberian kewenangan mutlak ini menyebabkan admin CIB dapat mengganti dan mengubah nama dan nomor HP otorisator belanja setiap saat.

Kewenangan mutlak admin CIB ini (super admin) diakui oleh pihak Bank Sumsel Babel sebagai salah satu kelemahan sistem CIB Bank Sumsel Babel, namun sampai dengan akhir pemeriksaan belum terdapat perubahan mekanisme pembatasan kewenangan admin CIB ataupun penambahan fitur persetujuan/approval pihak bank atas perubahan data yang dilakukan oleh admin CIB. Pembatasan kewenangan ini merupakan bagian kewajiban Bank Sumsel Babel untuk menyediakan sarana transaksi nontunai yang aman serta menghindari penyalahgunaan kewenangan. 

Hal ini dapat diakomodasi dalam perjanjian kerja sama antara Pemerintah Kota Palembang dan Bank Sumsel Babel apabila pihak Pemerintah Kota Palembang dan Bank Sumsel Babel melakukan perikatan perjanjian kerja sama mengenai mekanisme transaksi nontunai. Kewenangan mutlak admin CIB ini berisiko atas perubahan nama dan nomor HP yang digunakan untuk otorisasi belanja pada SKPD yang bukan merupakan pihak berwenang. 

b) Admin CIB pada 25 SKPD dan 11 Bagian pada Sekretariat Daerah merupakan Pegawai Honorer Non-PNS

Hasil pemeriksaan atas pengelolaan CIB yang dilakukan oleh 63 admin CIB menunjukkan bahwa sebanyak 36 admin CIB merupakan pegawai honorer nonPNS, dengan rincian 25 admin pada SKPD dan 11 admin pada bagian di Sekretariat Daerah. Jumlah admin CIB yang berstatus honorer non-PNS ini 57,14% dari total jumlah admin CIB.

Hasil konfirmasi kepada Bank Sumsel Babel menunjukkan bahwa Bank Sumsel Babel dalam mendaftarkan admin CIB hanya berpedoman kepada surat pengantar dari Kepala SKPD/PA/KPA. Bank Sumsel Babel tidak pernah mensyaratkan pegawai/jabatan tertentu untuk menjadi admin CIB karena tidak ada perikatan khusus antara Pemerintah Kota Palembang dan Bank Sumsel Babel yang mengatur siapa yang seharusnya dapat menjadi admin CIB. Mengingat tanggung jawab dan kewenangan admin CIB yang begitu besar dan tanpa ada kontrol silang dari pihak lain, seharusnya terdapat aturan khusus yang mengatur syarat untuk menjadi admin CIB. 

Berdasarkan permintaan keterangan kepada Bendahara Umum Daerah diketahui bahwa keterbatasan pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi di bidang sistem informatika menyebabkan ditunjuknya pegawai honorer sebagai admin CIB. Namun, Bendahara Umum Daerah mengakui bahwa seharusnya pegawai negeri sipil yang ada dapat dilatih untuk menguasai sistem CIB tersebut mengingat penggunaan aplikasi CIB yang tergolong sederhana dan penggunaan tenaga honorer dapat diantisipasi melalui pengaturan dalam perjanjian kerja sama. 

c) Pendelegasian Kewenangan Otorisasi Belanja pada 22 SKPD dan Lima Bagian pada Sekretariat Daerah

Hasil pemeriksaan atas pengelolaan CIB menunjukkan bahwa admin CIB memiliki kewenangan mutlak dalam menambahkan atau mengubah akun, nama, dan nomor HP milik Bendahara Pengeluaran/Bendahara Pengeluaran Pembantu, KPA, dan PA. Kewenangan mutlak tersebut berisiko kepada perubahan nama, akun, dan nomor HP Bendahara Pengeluaran/Bendahara Pengeluaran Pembantu, KPA, dan PA yang digunakan untuk otorisasi belanja. Atas dasar pertimbangan risiko tersebut, maka dilakukan pemeriksaan akun, nama, dan nomor HP yang terdaftar dalam aplikasi CIB Bank Sumsel Babel pada 51 SKPD dan 12 bagian pada Sekretariat Daerah. Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa terdapat 22 SKPD dan lima Bagian pada Sekretariat Daerah yang mendelegasikan kewenangannya dengan rincian sebagai berikut. 

1) Pendelegasian Kewenangan Bendahara Pengeluaran

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa terdapat Bendahara Pengeluaran pada tiga SKPD yang mendelegasikan kewenangan kepada pihak lain dengan rincian sebagai berikut.

Pendelegasian Kewenangan Bendahara Pengeluaran

No Otorisasi Didelegasikan Kepada  Jumlah
1 Bendahara Pengeluaran Kasubbag Keuangan 1
2 Bendahara Pengeluaran Kepala Seksi 1
3 Bendahara Pengeluaran Pegawai Non-PNSD 1

Hasil permintaan keterangan kepada Bendahara Pengeluaran menyatakan bahwa hal ini dilakukan karena Bendahara Pengeluaran memegang otorisasi sebagai PA. Pemindahan pendelegasian ini dilakukan secara lisan dan pengubahan nama serta nomor HP otorisator dapat dilakukan oleh admin CIB tanpa persetujuan dari PA ataupun Bank Sumsel Babel.

2) Pendelegasian Kewenangan PA/KPA

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa terdapat PA pada 22 SKPD dan KPA pada lima bagian Sekretariat Daerah yang mendelegasikan kewenangan otorisasi belanja kepada pihak lain dengan rincian sebagai berikut.

Pendelegasian Kewenangan PA/KPA

No Otorisasi Didelegasikan Kepada Jumlah
1 PA Bendahara Pengeluaran Pembantu 1
2 PA Bendahara Pengeluaran 6
3 PA Kasubbag Keuangan  8
4 PA Pegawai Non-PNSD 1
5 PA Sekretaris Dinas 1
6 PA Staf Keuangan  4
7 KPA Kasubbag Keuangan  1
8 KPA Bendahara Pengeluaran 2
9 KPA Pegawai Non-PNSD 3

Hasil permintaan keterangan kepada seluruh PA dan KPA di atas menunjukkan bahwa hal ini dilakukan karena kesibukan PA/KPA dalam melakukan otorisasi sehingga dilakukan pendelegasian kewenangan otorisasi secara lisan ke pihak lain. PA/KPA mengetahui risiko penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan otorisasi karena pendelegasian tersebut menyebabkan tidak adanya pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan belanja daerah. Pendelegasian ke Bendahara Pengeluaran menyebabkan tidak adanya pemisahan fungsi antara pihak yang mengajukan pembayaran/transaksi dan pihak yang menyetujui transaksi. 

Daftar SKPD yang Melakukan Pendelegasian Kewenangan Pembayaran Non Tunai 

No Nama SKPD
1 Dinas Perhubungan
2 Satuan Polisi Pamong Praja
3 Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana
4 Dinas Perumahan Rakyat, kawasan Permukiman dan Pertanahan
5 Dinas Ketenagakerjaan
6 Kecamatan Sako
7 Dinas Kepemudaan dan Olahraga
8 Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
9 Kecamatan Ilir Barat Dua
10 Kecamatan Plaju
11 Kecamatan Seberang Ulu Satu
12 Dinas Kebudayaan 
13 Dinas Pertanian
14 Kecamatan Alang Alang Lebar
15 Dinas Pariwisata
16 Badan Pembangunan Daerah dan Penelitian Pengembangan
17 Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat
18 Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana
19 Sekretariat DPRD
20 Badan Pendapatan Daerah
21 Dinas Koperasi
22 Sekretariat Daerah
a. Bagian Keuangan 
b. Bagian Hukum
c. Bagian Perekonomian
d. Bagian Organisasi
e. Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan
f. Bagian Umum

Risiko penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan otorisasi tersebut terkonfirmasi dengan kasus kekurangan kas pada Sekretariat DPRD, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pemberdayaan Masyarakat, dan Kecamatan Ilir Barat Dua yang otorisasi PA didelegasikan kepada Bendahara Pengeluaran. 

Bendahara Pengeluaran pada tiga SKPD tersebut memegang dua jenis otorisasi yaitu otorisasi pengajuan pembayaran oleh Bendahara Pengeluaran dan otorisasi persetujuan pembayaran oleh PA.

2) Pemindahbukuan Uang Persediaan ke Rekening yang Belum Ditetapkan Dengan SK Wali Kota

Hasil pemeriksaan kas pada Kecamatan Ilir Timur Tiga menunjukkan bahwa PA dan Bendahara Pengeluaran Kecamatan Ilir Timur Tiga membuka rekening tabungan agar dapat melakukan transaksi belanja secara tunai. Selama TA 2022 Kecamatan Ilir Timur Tiga melakukan pemindahbukuan uang ke rekening tabungan sebesar Rp1.256.763.514,00.

Hasil wawancara kepada Bendahara Pengeluaran menyatakan bahwa Bendahara Pengeluaran kesulitan melakukan pembayaran secara nontunai karena terdapat transaksi-transaksi belanja yang hanya bisa dilakukan secara tunai seperti pembelian ATK, Bahan Cetak, Belanja Makanan dan Minuman, Belanja Komponen Instalasi Listrik, Belanja Alat Listrik, Belanja Benda Pos, Belanja Tagihan Air, Belanja Tagihan Listrik, BPJS, Pajak, Honorarium, dan lain-lain.

Untuk mempermudah transaksi belanja maka atas persetujuan camat dibuat rekening tabungan yang berfungsi sebagai rekening penampungan Uang Persediaan Kecamatan Ilir Timur Tiga. Bendahara Pengeluaran kemudian melakukan penarikan Uang Persediaan dari rekening baru dan melakukan transaksi belanja secara tunai. 

Hasil konfirmasi kepada Bank Sumsel Babel menunjukkan bahwa hanya terdapat satu rekening yang dibuka atas nama Kecamatan Ilir Timur Tiga selain rekening jasa giro yang telah dimiliki sebelumnya. Rekening tersebut dibuka pada tanggal 24 Januari 2022. Hasil pemeriksaan atas mutasi rekening menunjukkan bahwa seluruh transaksi masuk berasal dari rekening giro nomor 150.301.0375 yang merupakan nomor rekening giro Kecamatan Ilir Timur Tiga. Seluruh mutasi keluar dilakukan pengambilan secara tunai. Sampai akhir pemeriksaan rekening tabungan belum ditutup namun transaksi terakhir pada rekening tersebut dilakukan pada tanggal 1 Maret 2023 dengan sisa saldo pada rekening koran sebesar Rp67.959,00.

Pemindahan Uang Persediaan ke rekening baru dan transaksi belanja secara tunai berisiko terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan. Hasil pemeriksaan terhadap pencatatan BKU, bukti pertanggungjawaban, serta mutasi rekening menunjukkan terdapat kekurangan kas pada Kecamatan Ilir Timur Tigasebesar Rp8.093.125,00. Berdasarkan permintaan keterangan kepada Inspektur Kota Palembang diketahui bahwa sejak diberlakukannya sistem transaksi nontunai dari tahun 2018, pihak Inspektorat belum pernah melakukan pemeriksaan atas pengelolaan transaksi nontunai tersebut. 

Inspektorat tidak memiliki mekanisme pengawasan atau merancang desain sistem pengendalian intern pengelolaan transaksi nontunai untuk memitigasi risiko kecurangan maupun penyimpangan. 

Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada: 1) Pasal 21 huruf c yaitu Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran dilarang menyimpan uang pada suatu bank atau lembaga keuangan lainnya atas nama pribadi baik secara langsung maupun tidak langsung; 2) Pasal 126 ayat (3) yang menyatakan bahwa penetapan bank umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimuat dalam perjanjian antara BUD dengan bank umum yang bersangkutan; 3) Pasal 127 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan operasional Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah, BUD dapat membuka rekening penerimaan dan rekening pengeluaran pada bank yang ditetapkan oleh Kepala Daerah; dan 4) Bagian penjelasan angka 1.b tentang pelaksanaan dan penatausahaan yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 mengembalikan tugas dan wewenang bendahara sebagai pemegang kas dan juru bayar yang sebagian fungsinya banyak beralih kepada Pejabat Pengelola Teknis Kegiatan (PPTK). 

Pemisahan tugas antara pihak yang melakukan otorisasi, pihak yang menyimpan uang, dan pihak yang melakukan pencatatan juga menjadi fokus Peraturan Pemerintah ini. Pemisahan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kecurangan selama Pengelolaan Keuangan Daerah serta meningkatkan kontrol internal Pemerintah Daerah.

b. Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, pada: 1) Bab I Pengelola Keuangan Daerah huruf J Bendahara Penerimaan pada huruf c. Selain tugas dan wewenang tersebut, Bendahara Penerimaan memiliki tugas dan wewenang lainnya paling sedikit yaitu melakukan verifikasi dan rekonsiliasi dengan bank yang ditetapkan oleh Kepala Daerah; dan 2) Bab IV tentang penetapan APBD huruf L tentang pelaksanaan dan penatausahaan belanja angka 2 pelaksanaan belanja tanpa uang panjar yang menyatakan bahwa berdasarkan NPD, Rekapitulasi Belanja, dan bukti-bukti yang sah, Bendahara Pengeluaran/Bendahara Pengeluaran Pembantu melakukan proses pembayaran langsung secara tunai/nontunai, Pembayaran secara nontunai dilakukan melalui pemindahbukuan dari rekening Bendahara Pengeluaran/Bendahara Pengeluaran Pembantu ke rekening pihak penyedia barang/jasa.

c. Perwako Palembang Nomor 63 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Perwako Nomor 7 Tahun 2017 tentang Sistem Pembayaran Nontunai Dalam Belanja APBD Kota Palembang pada pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pengawasan atas pelaksanaan Perwako ini dilakukan oleh Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah.

d. Surat Edaran Wali Kota Palembang Nomor 7.a/SE/BPKAD/2022 tanggal 25 Februari 2022 tentang Percepatan dan Perluasan Pelaksanaan ETPD kepada para Kepala SKPD dan Pimpinan BUMD di lingkungan Pemerintah Kota Palembang berisi arahan untuk:

1) Mengadakan perjanjian kerja sama dengan bank yang ditunjuk tentang pelaksanaan transaksi pendapatan pemerintah daerah secara nontunai (cashless) sesuai dengan peraturan; dan 2) Transaksi pemerintah daerah tersebut meliputi Pendapatan Asli Daerah yaitu Pajak Daerah, Retribusi Daerah, pengelolaan BLUD, dan transaksi di BMD.

Permasalahan tersebut mengakibatkan:

a. Hak dan kewajiban antara BLUD RSUD Bari dengan BSI, serta antara Dinas Perhubungan dengan Bank Sumsel Babel atas pengelolaan transaksi nontunai penerimaan tidak jelas; 

b. Hak dan kewajiban Pemerintah Kota Palembang dan Bank Sumsel Babel dalam pengelolaan sistem pembayaran dengan transaksi nontunai tidak jelas;

c. Risiko penyalahgunaan kewenangan jabatan PA/KPA oleh pegawai yang didelegasikan;

d. Rekening penampungan QRIS yang tidak tercantum dalam PKS dan tidak tercatat dalam daftar rekening milik Pemerintah Kota Palembang dapat meningkatkan risiko penyalahgunaan rekening tersebut;

e. Penerimaan daerah tidak dapat terpantau dan tidak dapat segera digunakan untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan;

f. Pemindahbukuan/transfer ke pihak lain non penyedia meningkatkan risiko penyalahgunaan uang Persediaan/tambah uang; dan

g. Risiko penyalahgunaan kewenangan mutlak admin CIB dan otorisasi belanja oleh pihak yang tidak berwenang.

Hal tersebut disebabkan oleh:

a. BUD tidak membuat:

1) Pemutakhiran/revisi atas Perwako Nomor 63 Tahun 2019 yang mengakomodasi pasal pengecualian penggunaan transaksi nontunai; dan

2) Perjanjian antara Pemerintah Kota Palembang dengan Bank Sumsel Babel terkait sistem pembayaran nontunai yang mengatur hak dan kewajiban pelaksanaan sistem pembayaran nontunai.

b. Inspektorat tidak melakukan pengawasan atas pelaksanaan sistem pembayaran secara nontunai;

c. Direktur RSUD dan Kepala Dinas Perhubungan belum membuat PKS dengan Bank BSI dan Bank Sumsel Babel; 

d. Para Kepala SKPD tidak melaporkan rekening penampungan QRIS kepada Kepala BPKAD selaku BUD;

e. PA, KPA, Bendahara Pengeluaran, dan PPTK tidak memedomani Perwako Nomor 63 Tahun 2019; 

f. Para Bendahara Penerimaan SKPD tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai penggunaan QRIS maupun mekanisme pencatatan dan pelimpahannya; dan

g. Para Bendahara Penerimaan SKPD tidak melakukan rekonsiliasi dengan pihak bank. Atas permasalahan tersebut, Pemerintah Kota Palembang dalam hal ini Kepala SKPD terkait menyatakan sependapat dengan temuan BPK dan akan menindaklanjuti sesuai rekomendasi (bersambung).