Terkait fatality di areal tambang PT Trimata Benua, apabila merujuk kepada Surat Edaran Kewajiban Perusahaan terkait Tindak Lanjut Kecelakaan Tambang Berakibat Mati yang dikeluarkan oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM bernomor 06.E/37.04/DJB/2019, maka operasional perusahaan wajib dihentikan.
- Trimata Benua Raih Proper Merah Kementerian LHK, Bukti Buruknya Pengelolaan Lingkungan
- Soal Fatality Trimata Benua, Dewan Pertanyakan Ketegasan dan Kompetensi Inspektur Tambang
- Bukan Sanksi, Kepala Inspektur Tambang Hanya Berikan Rekomendasi pada Trimata Benua
Baca Juga
Ada tiga poin penting dalam surat edaran tersebut, yang harus dilakukan oleh perusahaan pertambangan apabila terjadi kecelakaan tambang berakibat mati (fatality), yaitu : (1) Menghentikan seluruh kegiatan operasional lapangan sampai hasil investigasi kecelakaan tambang berakibat mati telah seluruhnya ditindaklanjuti; (2) Melakukan evaluasi terhadap kinerja Kepala Teknik Tambang (KTT) atau Penanggungjawab Teknik Lingkungan (PTL); dan (3) Melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja pengelolaan Keselamatan Pertambangan.
Penghentian operasional perusahaan untuk dievaluasi ini sudah dilakukan oleh Kepala Inspektur Tambang (KAIT) Dirjen Minerba Kementerian ESDM penugasan Sumsel, Oktarina pascakejadian. Hanya saja, menurut Komisi IV DPRD Sumsel dalam rapat Jumat (4/3) lalu pihak perusahaan seharusnya mendapatkan sanksi, bukan sekadar rekomendasi untuk perbaikan.
Kepala Inspektur Tambang yang seharusnya punya kompetensi dan pengalaman terkait Kaidah Pertambangan yang baik, tentunya punya kewenangan sebagai perpanjangan tangan Kementerian. Sehingga apabila kejadian di areal tambang PT Trimata Benua ini ditemukan unsur kelalaian atau kesengajaan dari pihak-pihak yang terkait maka bisa pula dijerat dengan pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman lima tahun penjara.
Lebih jauh, anggota DPRD Sumsel dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) itu kemudian mempertanyakan kondisi dan kronologis kejadian yang sebenarnya tanpa ditutup-tutupi. Apalagi berkaca pada kejadian sebelumnya yang melibatkan PT Lematang Coal Lestari pada 12 Agustus 2021 lalu, yang dapat disimpulkan akibat kelalaian dan mismanajemen.
Saat itu, seorang mandor bernama Nurul Hidayat yang tengah bertugas pada malam kejadian, terlindas dumptruk karena disinyalir pengemudi tidak memiliki kecakapan dalam mengendarai dumptruk. (baca: https://www.rmolsumsel.id/mandor-tewas-terlindas-truk-di-areal-tambang-muara-enim)
Padahal, mengacu kepada Kepdirjen Minerba No.185.K/37.04/DJB/2019 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Keselamatan Pertambangan dan Pelaksanaan, Penilaian dan Pelaporan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara menjelaskan tentang persyaratan menjadi driver di areal tambang.
Dimana disebutkan jika kendaraan tambang hanya dapat dioperasikan oleh pekerja yang : (a) Berusia minimum 18 (delapan belas) tahun; (b) Ditunjuk oleh Kepala Teknik Tambang (KTT) untuk mengemudikan kendaraan tertentu; dan (c) Telah lolos uji dan dinyatakan mampu mengemudi di area tambang oleh KTT dengan bukti Surat Izin Mengemudi yang dikeluarkan oleh Perusahaan sesuai dengan jenis kendaraanyang diizinkan. (*/bersambung)
- Aktivitas Tambang Bijih Nikel di Morowali Sebabkan Bencana Alam dan Hilangnya Nyawa
- KAWALI Sumsel Desak APH Usut Kasus RKAB Palsu Putra Hulu Lematang
- Dana Besar Diduga Mengalir dalam Kongkalikong Perizinan RMK Energy, Siapa Menikmati?