Soal Fatality Trimata Benua, Dewan Pertanyakan Ketegasan dan Kompetensi Inspektur Tambang 

Anggota Komisi IV DPRD Sumsel, Nasrul Halim dalam rapat terkait fatality Trimata Benua. (rmolsumsel)
Anggota Komisi IV DPRD Sumsel, Nasrul Halim dalam rapat terkait fatality Trimata Benua. (rmolsumsel)

Pemberian rekomendasi tanpa sanksi oleh Kepala Inspektur Tambang (KAIT) Dirjen Minerba Kementerian ESDM penugasan Sumsel, Oktarina atas fatality yang terjadi di areal PT Trimata Benua mendapat sorotan. 


Anggota Komisi IV DPRD Sumsel yang berasal dari dapil Banyuasin, yang juga merupakan lokasi tambang perusahaan tersebut, Nasrul Halim cukup keras menyikapi kejadian ini. 

Hilangnya nyawa korban Beni, dumpman yang terlindas buldozer saat bertugas malam hari dan minim penerangan pada 20 Februari lalu bisa saja terulang kembali apabila tidak ada sanksi tegas yang diberikan kepada perusahaan. 

Politisi PKB ini juga  menyayangkan minimnya ketegasan Kepala Inspektur Tambang (KaIT) Perwakilan Sumsel, Oktarina dalam menindaklanjuti fatality yang terjadi di areal tambang PT Trimata Benua, 20 Februari lalu. 

Hal ini didasarkan atas sejumlah fakta yang muncul atas tewasnya Dumpman bernama Beni pada malam kejadian tersebut. Diantaranya, korban tewas karena menggunakan headset saat tengah bekerja di areal tambang yang penuh resiko juga penerangan yang minim di tempat kejadian perkara. 

Belum lagi apabila didasarkan kepada 13 poin rekomendasi Kepala Inspektur Tambang (KaIT) yang semakin menegaskan jika perusahaan abai terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja Pertambangan, atau tidak sesuai dengan kaidah pertambangan yang baik. 

"Kalau Standard Operational Procedure (SOP)-nya seperti ini, akan banyak lagi korban kalau tidak diberi ketegasan. Kalau (penyelidikan) pidana itu APH. Tapi terkait (kelalaian) perusahaan, kalau tidak sesuai standar harus disetop. Bila perlu ditutup," ujarnya.

Membaca pendapat yang disampaikan oleh DPRD Sumsel ini, mereka memandang manusia (nyawa) sebagai faktor penting yang harus diperhitungkan dalam setiap insiden yang terjadi di dalam aktivitas pertambangan di Sumsel. 

Sehingga sistem kesehatan dan keselamatan kerja yang dilakukan oleh perusahaan, haruslah terencana dengan baik agar tidak hanya bekerja berdasarkan kejadian. Lebih-lebih, tidak ada sanksi yang diberikan akibat tidak adanya rencana tersebut.  

Apalagi, kejadian ini bukan yang pertama, mengingat sebelumnya sudah terjadi banyak insiden tanpa tindak lanjut yang jelas oleh Kementerian ESDM. Sedangkan di sisi lain,Pemprov Sumsel melalui Dinas ESDM dipangkas kewenangannya untuk melakukan pengawasan dan pembinaan. 

Mengutip paparan yang disampaikan oleh praktisi keselamatan kerja di bidang pertambangan Ade Kurdiman, bahwa saat ini yang dibutuhkan adalah ketahanan (resilience) dalam setiap aktivitas kesehatan dan keselamatan pertambangan. 

Hal ini mengacu pada empat prinsip utama ketahanan tersebut, yakni kemampuan untuk merespon, kemampuan untuk monitoring, kemampuan untuk belajar dan kemampuan untuk mengantisipasi sebelum terjadinya sebuah insiden dalam tiga aspek utama, yakni aspek manusia, aspek tempat kerja dan aspek organisasi (sistem) perusahaan.

Paradigma kesehatan dan keselamatan kerja, khususnya di bidang pertambangan saat ini telah berubah sedemikian rupa mengikuti perkembangan zaman, sehingga mitigasi resiko harus dilakukan sejak dini. 

Seperti yang disampaikan oleh Erik Hollnagel (2011), dimana organisasi (perusahaan tambang) yang memiliki ketahanan dalam lingkup kesehatan dan keselamatan kerja ini haruslah belajar dari kejadian (insiden) sebelumnya, merespon kondisi dan kebiasaan secara efektif, memonitor (mitigasi) resiko dan ancaman, serta melakukan antisipasi terhadap resiko tersebut untuk jangka panjang. Atau secara singkat, sebuah perusahaan tambang harus bisa memetakan kesehatan dan keselamatan kerja sebelum beraktivitas, saat beraktivitas dan setelah beraktivitas.

Jika melihat 13 poin rekomendasi yang diberikan oleh Kepala Inspektur Tambang (KaIT) Perwakilan Sumsel, Oktarina dalam menindaklanjuti fatality yang terjadi di areal tambang PT Trimata Benua, maka terlihat sistem kesehatan dan keselamatan kerja di perusahaan tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. 

"Faktanya perusahaan belum memenuhi SOP, dan ini terjadi kecelakaan baru ditemukan. Kesannya ada pembiaran. Kalau melihat tupoksinya semua perusahaan yang melakukan aksi penambangan, harusnya ibu (KAIT) bisa menginventarisir. Bukan bila terjadi baru inspektur tambang turun," timpal Ketua Komisi IV DPRD Sumsel, MF Ridho. 

Sementara itu, penelusuran yang dilakukan tim RMOLSumsel, Kepala Inspektur Tambang (KaIT) Perwakilan Sumsel, Oktarina Anggreyni merupakan lulusan Teknik Pertambangan Unsri pada 2009. Untuk urusan keselamatan pertambangan, Oktarina memiliki kompetensi dan telah mengikuti berbagai pelatihan, termasuk 'Mine Rescue Menjaga Nyawa Tambang' yang salah satunya diisi oleh praktisi keselamatan pertambangan, Ade Kurdiman. (*/bersambung).