Mendalami Fatality Trimata Benua, Menilai Fungsi Binwas Inspektur Tambang

Peta IUP PT Trimata Benua ditunjukkan pada areal berwarna kuning terang. (Kementerian ESDM)
Peta IUP PT Trimata Benua ditunjukkan pada areal berwarna kuning terang. (Kementerian ESDM)

Seperti yang disampaikan sebelumnya oleh Kepala Dinas ESDM Sumsel Hendriansyah, kecelakaan tambang di wilayah Sumsel cenderung terjadi karena kelalaian dari perusahaan. 


Sebelum yang terjadi pada kasus PT Trimata Benua, hal ini juga terlihat dalam kasus kecelakaan yang melibatkan perusahaan tambang lain di Sumsel, diantaranya PT Musi Prima Coal dan PT Era Energi Mandiri pada 2021 lalu. 

Selain kelalaian dari perusahaan, kejadian kecelakaan ini diperparah dengan lemahnya pengawasan pusat, yakni Kementerian ESDM melalui Dirjen Minerba. Hal ini sempat diulas oleh kantor berita RMOL Sumsel. (Baca: https://www.rmolsumsel.id/2021/10/21/sederet-kasus-fatality-di-wilayah-tambang-sumsel-cermin-lemahnya-pengawasan-dirjen-minerba)

Pada kasus-kasus kecelakaan tambang yang terjadi di tahun 2021 lalu itu, Kepala Inspektur Tambang (KaIT) Perwakilan Sumsel masih dijabat oleh Wendi Binur. Dia adalah perpanjangan tangan pusat, sesuai tugas dan fungsinya untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan dan atau aktivitas pertambangan di Sumsel. 

Saat ini, Wendi Binur digantikan oleh Oktarina Anggereyni, yang berdasarkan catatan Kantor Berita RMOLSumsel, kasus PT Trimata Benua ini menjadi kasus kecelakaan tambang pertama Oktarina dalam penugasannya yang menjadi sorotan. 

Apa yang dilakukan oleh Oktarina dalam menangani kasus pertamanya ini, sayangnya tidak begitu baik menurut anggota Komisi IV DPRD Sumsel, dalam rapat dengar pendapat Jumat (4/3) lalu. 

Sejumlah anggota dewan mempertanyakan ketegasan dan kompetensi Oktarina sebagai Kepala Inspektur Tambang (KaIT) Perwakilan Sumsel, yang hanya memberikan rekomendasi tanpa sanksi. Seolah tidak belajar dari kejadian-kejadian lampau. 

Belum lagi apabila didasarkan kepada 13 poin rekomendasi Kepala Inspektur Tambang (KaIT) yang semakin menegaskan jika perusahaan abai terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja Pertambangan, atau tidak sesuai dengan kaidah pertambangan yang baik (Good Mining Practise). 

"Kalau Standard Operational Procedure (SOP)-nya seperti ini, akan banyak lagi korban kalau tidak diberi ketegasan. Kalau (penyelidikan) pidana itu APH. Tapi terkait (kelalaian) perusahaan, kalau tidak sesuai standar harus disetop. Bila perlu ditutup," ujar Nasrul Halim, anggota Komisi IV DPRD Sumsel.

Struktur Organisasi Dirjen Minerba Kementerian ESDM 2022. (kementerian esdm)

Membaca pendapat yang disampaikan oleh Nasrul yang berasal dari Dapil Banyuasin, lokasi fatality Trimata Benua, dia memandang manusia (nyawa) sebagai faktor penting yang harus diperhitungkan dalam setiap insiden yang terjadi di dalam aktivitas pertambangan di Sumsel. 

Sehingga sistem kesehatan dan keselamatan kerja yang dilakukan oleh perusahaan, haruslah terencana dengan baik agar tidak hanya bekerja berdasarkan kejadian. Itu sebabnya anggota dewan ini menuntut tindakan lebih dari Oktarina, atau jika ditarik lebih jauh dari Dirjen Minerba Kementerian ESDM. 

Sebab di sisi lain, kompetensi dan ketegasan petugas di lapangan dalam konsep organisasi tak terlepas dari dari dukungan dan dorongan pimpinan. Dalam kasus ini, Kementerian ESDM melalui Dirjen Minerba yang menjadi tempat bernaung bagi seluruh inspektur tambang yang melakukan pengawasan dan pembinaan di seluruh Indonesia. 

Seperti diketahui, setelah melakukan rotasi pejabat eselon I pada Januari lalu, saat ini terjadi kekosongan poisisi Direktur Teknik dan Lingkungan Minerba/Kepala Inspektur Tambang pada Dirjen Minerba Kementerian ESDM sepeninggal Lana Saria. 

Meskipun saat ini kekosongan itu diisi oleh Muhammad Wafid sebagai pelaksana tugas, tetapi Wafid yang merupakan salah satu pejabat senior ini nyatanya memiliki tugas utama sebagai Direktur Penerimaan Mineral dan Batubara pada Dirjen Minerba Kementerian ESDM.

Tidak bisa dipungkiri, kekosongan ini, juga rangkap jabatan yang dilakukan Wafid saat ini, sedikit banyak disinyalir memberikan pengaruh yang minor dalam fungsi pengawasan, pengendalian dan pembinaan terhadap aktivitas pertambangan di Indonesia dan Sumsel khususnya.

Sesuai dengan teori dan kajian dalam Ilmu Sumber Daya Manusia, seperti yang dinyatakan oleh Harahap (2000), dimana rangkap jabatan akan menimbulkan konflik kepentingan. "Setiap tindakan yang mengandung benturan kepentingan dikategorikan sebagai tindakan iktikad buruk (bad faith)." 

Hal ini menurut harahap, adalah hal yang juga melanggar kewajiban, kepercayaan, dan kewajiban menaati peraturan perundang-undangan. Sebab, selain akan menimbulkan benturan kepentingan rangkap jabatan juga berkemungkinan menimbulkan hambatan kinerja, karena setiap divisi memiliki tugas yang berbeda dan dikerjakan oleh satu orang maka hal tersebut dapat mengganggu kerja pegawai yang merangkap jabatan tersebut. Sehingga organisasi tidak akan bisa disebut maksimal dalam upaya mencapai tujuannya. (*/bersambung)