Marak Tawuran Kelompok Anak, Ini Tanggapan Komisi I DPRD Sumsel  

Diskusi dengan tema” Mencegah Kenakalan dan Kriminalitas Anak dengan  Memahami Nilai –Nilai  Pancasila dalam Kehidupan Sehari Hari, Sabtu (8/4). (Dudy Oskandar/rmolsumsel.id)
Diskusi dengan tema” Mencegah Kenakalan dan Kriminalitas Anak dengan Memahami Nilai –Nilai Pancasila dalam Kehidupan Sehari Hari, Sabtu (8/4). (Dudy Oskandar/rmolsumsel.id)

Pusat Bantuan Hukum (PBH) DPC  Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Cabang Palembang menggelar diskusi dengan tema” Mencegah Kenakalan dan Kriminalitas Anak dengan  Memahami Nilai –Nilai  Pancasila dalam Kehidupan Sehari Hari, Sabtu (8/4) di The Sultan Convention  Center di Jalan Sultan Muhammad Mansyur, Kelurahan Bukit Lama Palembang.  


Ketua Komisi V DPRD Sumatera Selatan (Sumsel) Antoni Yuzar menilai kenakalan anak-anak saat terutama di Sumsel dan kota Palembang  seperti tawuran  saat ini sudah sangat meresahkan masyarakat.

“Dan ini merupakan tanggungjawab kita bersama , tidak hanya tanggung jawab guru , tidak hanya tanggung jawab orang tua, ini bukan masalah sepele, ini adalah masalah yang krusial malah anak laki-laki lebih parah , kami sependapat itu , kami memantau itu , hati-hati juga dengan anak laki-laki , jangan anak laki-laki dilepas seenaknya karena sangat menghantui seperti LGBT, hati-hati,” katanya.

Namun semua itu menurut politisi PKB ini peran orangtua sangat dominan, apalagi dirinya juga memiliki anak laki-laki yang sudah kerja dan mandiri saat ini.

“Yang pasti  kita setiap saat peduli dan komunikasi dengan anak , dan bapak guru juga jangan segan-segan untuk jika ada permasalah anak didiknya di sekolah untuk disampaikan  kepada orangtuanya, kadang orang tua memang tidak tahu , tidak mengetahui kalau anaknya melakukan kesalahan-kesalahan , dirumah dia baik-baik  menjadi anak soleh tapi diluar dia bebas, itu yang sering terjadi,” katanya.

Komisi I DPRD Sumsel menurut Antoni, aspirasi ini pihaknya catat dan akan ditindaklanjuti kedepannya.

“Ini acara yang baik, acara yang positif  dalam rangka penanganan masalah kenakalan anak yang sangat meresahkan,” katanya.

Sedangkan praktisi hukum Sumsel, Dr. Lur Bahrul Ilmi Yakup, SH.,M.H menilai pendidikan anak sekarang harus terintegrasi antara orangtua dan guru.

“Point kedua perlindungan terhadap guru , yang ketiga bagaimana mendisiplinkan anak  karena guru sekarang sudah takut melakukan  penindakan, “ katanya.

Selain itu dia juga melihat perlu ada kebijakan secara global , kebijakan pembatasan penggunaan IT (Gadget) di sekolah.

“Ini bisa di cari solusi  pertama untuk disiplin tadi saya sudah dengar beberapa sekolah melihatkan tentara dan polisi , mungkin itu nanti , guru sekarang ditangani provinsi, bisa di bicara oleh dinasnya , bagaimana  melibatkan tentara atau  polisi sebagai metode pendisiplinan anak , itu satu hal yang bisa dikaji lebih lanjut,” katanya.

Lalu perlindungan terhadap guru  menurutnya dulu dirinya sudah melakukan pengkajian awal dengan PGRI bisa dilakukan dengan cara asosiasi guru atau Diknas melakukan semacam MoU terhadap guru, jika  guru mau dipanggil atau diperiksa penegak hukum itu ada kisi-kisinya antara Diknas dan aparat penegak hukum dan itu bisa didorong.

Sedangkan Wakil Sekretaris Jenderal  Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan  Advokat Indonesia (IAI), HM Antoni Toha SH, MH AIIarb menilai permasalahan yang sering terjadi pada remaja berkaitan dengan masa pertumbuhan  dan perkembangan remaja  yang berubah dari masa anak-anak.

Pada masa remaja adalah masa penuh warna dan dinamika disertai rangkaian gejolak emosi yang menghiasi perjalanan seorang manusia yang hendak bertumbuh dewasa.Pada masa remaja lah seorang manusia mulai membangun jati diri, memiliki kehendak bebas (Free Will untuk memiliki), memegang teguh prinsip dan mengembangkan kapasitasnya.

“Kenakalan remaja saat ini baik pelajar ataupun bukan sudah sangat dibatas yang memprihatinkan karena bukan hanya kenakalan biasa  yang dilakukan akan tetapi kenakalan sudah mengarah pada kriminalitas dan membahayakan dirinya sendiri, sesama dan masyarakat,”katanya.

Untuk tindakan pencegahan menurutnya bisa melakukan didikan orangtua  atau keluarga, pengamalan pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Dan untuk tindakan represif dengan melaksanakan UU No 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak (SPPA)  dimana Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan batas minimal usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun.

Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Cabang Palembang, Aina Rumiyati Aziz mengaku selama 11 sekolah yang pihaknya kunjungi dari SD sampai SMA dan masih beberapa sekolah lain yang masuk daftar tunggu sampai tanggal 14 April pihaknya akan melakukan penyuluhan hukum.

“Dari berbagai kondisi sekolah baik kenakalan dan sebagainya, ada banyak hal yang kami temui dan pada akhirnya kami merasakan perlunya namanya Komisi Perlindungan Guru, ini perlu karena selama ini kita mengenal Komisi Perlindungan Anak, bagaimana dengan guru?, “katanya.

Pihaknya sengaja dalam penyuluhan hukum untuk anak SD dengan menggunakan boneka , untuk SMP menggunakan bintang film terkenal di Indonesia dan sebagainya agar menarik anak-anak bisa mendengar apa yang kita ucapkan.

“ Usulan untuk melibatkan orangtua murid dalam penyuluhan hukum, Kami PBH Peradi Palembang siap membantu , kalau memang pengacara top di butuhkan , kami upayakan hadir ,”katanya.