Ini Alasan Jaksa Tuntut Hukuman Mati Otak Pelaku Pembunuhan dan Pemerkosaan Siswi SMP di Palembang

Sidang lanjutan kasus pembunuhan dan pemerkosaan digelar tertutup/Foto: Yosep Indra Praja
Sidang lanjutan kasus pembunuhan dan pemerkosaan digelar tertutup/Foto: Yosep Indra Praja

Seorang terdakwa berinisial IS (16) yang menjadi otak pelaku pembunuhan dan pemerkosaan AA (13) gadis SMP di Palembang harus mendapatkan kenytaan pahit setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) menutut dengan pidana maksimal yakni hukuman mati.


Tuntutan jaksa tersebut menuai sorotan tajam publik di Sumsel. Kasi Penkum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Selatan Vanny Yulia Eka mengatakan, dasar pertimbangan JPU menuntut IS dengan hukuman mati tersebut karena perbuatan yang dilakukannya tergolong sadis dan biadab. Sehingga, tidak ada satu hal pun yang dapat meringankannya.

“Hukuman ini juga untuk memberikan efek jera agar orang lain tidak melakukan tindak pidana yang serupa di kemudian hari,”kata Vanny melalui keterangan tertulis, Rabu (9/10/2024).

Vanny menerangkan, IS dituntut dengan pasal  76 D Jo Pasal 81 ayat (5) Undang-undang RI Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

Terdakwa IS adalah orang merencanakan dan mendesain untuk membunuh dan memperkosa AA karena sakit hati akibat cintanya ditolak.

Sakit hati itu membuatnya mengajak ketiga temannya yakni MZ (13), MS (12) dan AS (12) untuk memoerkosa korban. Saat kejadian berlangsung, IS pun  membekap hidung dan menyebabkan  AA tewas. 

Setelah itu, ia pun memperkosa korban sebanyak dua kali di tempat yang berbeda saat AA sudah tidak lagi bernyawa. Bahkan, hasil visum juga terungkap bahwa korban sempat disodomi oleh pelaku.

“Pertimbangan lainnya untuk mengkategorikan perbuatan yang dilakukan terdakwa IS sebagai kejahatan sadis dan biadab yang dilakukan orang dewasa, karena usia terdakwa  pada saat melakukan kejahatan itu telah memasuki orang dewasa, baik ditinjau dari usia psikologis maupun biologis. Oleh karenanya, terdakwa telah memiliki kematangan secara psikologis dan biologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,”ujarnya.

Dilanjutkan Vanny, kajian Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI menyatakan bahwa batasan usia di bawah 18 tahun yang masih mengkategorikan sebagai anak-anak dinilai terlalu tinggi dan sudah tidak lagi relevan.

Hal tersebut juga sangat terlihat dari perbuatan IS yang selayaknya dilakukan oleh orang dewasa dan bukan anak-anak.

“Sehingga sangat layak dijatuhkan pidana seberat-beratnya yang bukan hanya bertujuan untuk merestorasi keadilan bagi korban melainkan juga untuk memberikan efek jera agar orang lain tidak melakukan tindak pidana yang serupa dikemudian hari (deterrent effect),”tegas Vanny.

Bila pelaku kejahatan dihukum ringan atas kebijakan batasan usia, Vanny khawatir nantinya dapat membuka peluang bagi pihak lain untuk memanfaatkannya sebagai celah hukum.

“Karena diketahui bahwa hukuman pidana bagi anak akan lebih ringan dibandingkan hukuman bagi orang dewasa,”ungkapnya.