Hendri Zainuddin Sebut Peran Herman Deru, Mengaku Sudah Serahkan Uang dan Rumah Sebagai Pengganti 

Pembagian Bonus Atlet peraih medali PON Papua/ist
Pembagian Bonus Atlet peraih medali PON Papua/ist

Mantan Ketua Umum (Ketum) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sumatera Selatan (Sumsel) Hendri Zainuddin alias HZ hadir sebagai saksi pada sidang lanjutan dugaan korupsi dana hibah KONI Sumsel.


Sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Tipikor Klas IA Palembang, Selasa (6/2) siang, HZ dimintai keterangan sebagai saksi terhadap terdakwa kasus dugaan korupsi dana hibah KONI Sumsel yakni Suparman Rohman dan Ahmad Taher.

HZ sempat ditanya oleh kuasa hukum terdakwa, terkait dengan pemeriksaan oleh Inspektorat Sumsel. Dia membenarkan adanya pemeriksaan itu, sesuai dengan perintah Gubernur Sumsel yang saat itu dijabat oleh Herman Deru.

“Ya ada permintaan dari Gubernur (untuk diperiksa). Semuanya (diperiksa) termasuk investigasi ke semua, ke Jakarta yang saya tau, ke OKU Selatan sampai kemana-mana. Saya tidak tahu (alasan diperiksa). Pak Gubernur (yang perintahkan) Herman Deru,” ungkap dia.

Namun, HZ mengatakan kalau hasil pemeriksaan ataupun konfirmasi terkait hasil pemeriksaan itu tidak pernah dilakukan. “(Tapi) Kami tidak pernah dikonfirmasi, bahkan kami yang datang untuk konfirmasi (menanyakan),” terang HZ. 

Dihadapan Majelis Hakim yang diketuai oleh Kristanto Sahat, HZ menyebut bahwa pemeriksaan lebih dulu dilakukan oleh BPK sebelum Inspektorat Sumsel. 

“BPK (terlebih dahulu memeriksa). Semestinya menurut pemahaman kami tidak bisa lagi diperiksa (oleh inspektorat). Karena yang menentukan kerugian negara BPK, tahu-tahu inspetorat periksa lagi. Ada (konfirmasi BPK), cuma waktu itu fakta argumen karena Rp 1,6 miliar tidak ada di NPHD, itu temuan dia, tapi kegiatan itu ada,” ungkapnya.

Apa yang diungkapkan oleh HZ ini menimbulkan anggapan sekaligus dugaan bahwa ada campur tangan orang nomor satu di Sumsel itu dalam pemeriksaan oleh inspektorat yang kemudian menjadikan dirinya tersangka, bersama dua terdakwa yang kini menjalani sidang. 

“Cuma kegiatan dispora yang diselipkan di kita, (tetapi) tidak disuruh kembalikan. Ada (jumlahnya) Rp 960 juta, (sebagai) bonus Porwil. Kita mengajukan tanpa RKH ada tiga, pertama bantuan cabor, kedua (untuk) raker dan (ketiga) Porwil. Dari tiga temuan itu cuma dua yang kena LHP, satunya lewat padahal sama-sama tidak dalam NPHD,” ungkap HZ.

Lalu, ketika ditanyakan terkait kerugian negara sebesar Rp3,4 miliar, HZ membenarkan hal tersebut.

“Jadi, Rp 3,4 miliar itu (terdiri dari) pertama kerugian APBD Rp1,2 miliar, kedua dana deposito Rp 590 juta, ketiga dana kembalian BPK Rp 1,6 miliar. Jadi total Rp 3,4 miliar,” ujarnya.

HZ juga mengungkapkan kronologis pengembalian uang tersebut. “Sepengetahuan saya sudah kembalikan yang Rp 598 juta itu dan Rp400 juta. Kwitansinya sudah saya kasihkan ke Jaksaan Rp 400 juta. Artinya dari Rp 500 juta itu, kurang Rp 190 juta. Nah, kalau kita kurang lagi 1,6, tinggal satu koma berapa lagi (kerugian negara),” tambahnya.

Bahkan diungkapkannya kalau dirinya telah menitipkan uang dan rumah satu unit rumah sebagai pengganti kerugian negara. 

“Sementara saya waktu itu Pak hakim, nitip uang di kejaksaan Rp 500 juta plus rumah. Belum tahu bagaimana cara hitungnya,” pungkasnya.

Dalam sidang itu, selain HZ, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sumsel juga menghadirkan tiga saksi lainnya yakni Triana pengurus KONI Sumsel, Zaki selaku Panitia Pemeriksaan Barang Pengadaan, dan Maulana Ilham selaku pihak hotel.

Secara singkat dalam dakwaan penuntut umum menerangkan bahwa terdakwa Suparman Roman, terdakwa Akhmad Thahir serta tersangka Hendri Zainuddin didakwa memperkaya diri sendiri atau orang lain. Atas perbuatan para terdakwa, sebagaimana audit kerugian negara Rp3,4 miliar dari total dana hibah KONI Sumsel tahun 2021 Rp37 miliar.

Oleh sebab itu, para terdakwa sebagaimana dakwaan melanggar Primair Pasal 2 Ayat 1 atau Subsider Pasal 3 Jo Pasal 18 UU No.20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Atau Kedua Pasal 9 Jo Pasal 18 UU No.20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.