Segala pelanggaran terkait miras sama sekali tidak menjerakan karena sebagian besar hanya bersifat administratif. Penyebab utamanya karena produksi, distribusi, pengedaran, penjualan termasuk promosi, dan konsumsi minuman beralkohol atau minuman keras (miras) belum diatur dalam sebuah regulasi berbentuk UU.
- UU KIA: Ibu Melahirkan Cuti 6 Bulan dan Berhak atas Upah
- Fahira Idris: Paradigma Pendidikan Tinggi Perlu Ditata Kembali
- Satgas Judi Online Jangan Hanya Fokus Penegakkan Hukum
Baca Juga
Anggota DPD RI Fahira Idris menilai situasi seperti ini harus segera diakhiri agar terdapat ketertiban dan kepastian hukum terhadap berbagai pelanggaran terkait miras.
Menurutnya, di banyak negara dunia bahkan di negara yang paling bebas sekalipun dan mempunyai tradisi minum alkohol. Sejak berdekade lalu, miras sudah dipandang sebagai komoditas yang harus diatur secara ketat dan tegas lewat undang-undang karena mempunyai dampak sosial dan kesehatan yang buruk terhadap kehidupan warga baik secara personal maupun dalam tataran kehidupan masyarakat.
Kesadaran ini melahirkan konsensus bahwa semua pelanggaran terkait miras, sanksinya harus menjerakan agar pelanggaran tidak berulang dan bisa ditekan seminimal mungkin. Namun, situasi sebaliknya terjadi di Indonesia karena belum ada UU yang mengaturnya secara khusus.
“Pelanggaran terkait miras mulai dari produksi, distribusi, pengedaran, penjualan termasuk promosi, dan konsumsi masih dianggap bukan pelanggaran besar karena memang aturannya menyiratkan demikian. Sanksi hukumnya kebanyakan administrasi, jadi tidak ada efek jera,” tegasnya kepada wartawan, Minggu (3/7).
Menurut Ketua Gerakan Nasional Anti Miras ini, pemerintah pusat dan daerah di seluruh Indonesia perlu melakukan audit sejauh mana para pelaku usaha yang menjual miras, apakah sudah memenuhi syarat-syarat usaha perdagangan miras sesuai aturan yang berlaku saat ini.
Audit ini penting, bukan hanya agar hukum berjalan tegak, tetapi agar miras tidak seenaknya dijual kapan saja, dimana saja dan dikonsumsi siapa saja terutama yang masih berusia di bawah 21 tahun.
Bagi Fahira, selama tidak diatur dalam undang-undang, pelanggaran terkait miras akan leluasa terjadi. Undang-undang yang mengatur miras memungkinkan segala pelanggaran miras diberi sanksi tegas terutama sanksi pidana dan denda yang menjerakan. Aturan soal miras mulai Perpres dan Permendag tidak memungkinkan memberi sanksi pidana. Adapun daerah yang sudah mempunyai Perda Miras, maksimal sanksi pidana dan dendanya juga belum maksimal.
“Sebagai benda yang bernilai ekonomis, tetapi mempunyai dampak buruk bagi kehidupan sosial dan kesehatan sudah selayaknya miras diatur dalam aturan hukum yang tegas, komprehensif, jelas, dan berlaku secara nasional yaitu dalam sebuah undang-undang,” pungkas Senator DKI Jakarta ini.
- Bawaslu Usul Revisi UU Pemilu dan Pertegas Sanksi ke ASN
- PKS Klaim Kemenangan di 10 Pilkada Serentak Sumsel
- Sesalkan Sikap KPK di Kasus Sahbirin Noor, DPR: Katanya Berani Jujur Hebat?