Giliran Kebun dan Sumber Air Warga Desa Keluang yang Tercemar Limbah Odira Energy Karang Agung

Kondisi kebun karet warga yang kini tercemar akibat aktivitas PT Odyra Energy Karang Agung (OEKA). (rmolsumsel.id)
Kondisi kebun karet warga yang kini tercemar akibat aktivitas PT Odyra Energy Karang Agung (OEKA). (rmolsumsel.id)

Lingkungan di pemukiman masyarakat yang tercemar limbah perusahaan di wilayah Sumatera Selatan (Sumsel) kembali terjadi. Kali ini pencemaran itu terjadi di menimpa warga Dusun 6, Desa Keluang, Kecamatan Tungkal Ilir, Kabupaten Banyuasin.


Diduga, pencemaran itu muncul dari perusahaan pengeboran, PT Odira Energy Karang Agung (OEKA) yang berada di wilayah Desa Keluang. Sumber pencemaran itu berasal dari kolam penampungan limbah milik perusahaan. Air dari kolam tersebut dialirkan ke drainase atau kanal yang mengarah ke kebun warga. 

Lantaran kanal tersebut buntu, akhirnya air limbah meluap ke areal perkebunan warga serta kanal lain yang mengarah ke areal pemukiman warga. 

Sugiyanto (50), warga setempat mengatakan, kejadian pencemaran ini sudah berlangsung sejak tiga bulan terakhir. Produksi air limbah lebih banyak. Hingga akhirnya meluap ke kanal yang melintas di pemukiman. 

“Air limbahnya mengalir dari kebun saya lalu diarahkan ke kanal lain. Kemudian mengalir hingga ke sungai (kanal) yang ada di dekat dusun,” ujarnya kepada Kantor Berita RMOLSumsel, beberapa waktu lalu. 

Aliran air limbah yang meluap di kebun karet Sugiyanto, membuatnya tidak bisa melakukan penyadapan (memanen karet). Sebab, aliran air sudah menggenangi kebun karetnya. 

“Dulu pernah dipaksakan. Tapi, air limbah ini membuat badan saya gatal-gatal. Bahkan, badan yang terkena air timbul bintik-bintik merah kehitaman seperti bekas luka. Makanya, saat ini saya setop dulu. Cuma mantang (sadap) pohon yang tidak terkena genangan air saja,” terang dia.

Sugiyanto mengatakan, produksi kebun karetnya juga turun drastis. Biasanya, mangkok getah karet bisa terisi penuh tiga hari. Tetapi, setelah tergenang air limbah, mangkok getah baru terisi penuh 6-7 hari.

“Biasanya saya panen itu tiga hari sekali. Dapatnya, satu pikul (100 kilogram). Sekarang ini hasilnya cuma 60-70 kilogram saja,” katanya. 

Upaya meminta pertanggung jawaban perusahaan sebenarnya telah dilakukan. Namun, hingga saat ini tidak ada satu pun upaya dari perusahaan untuk  memperbaiki luapan air limbah ini. 

“Sampai sekarang tidak ada. Apa ganti rugi atau perbaikan dulu saja. Tidak ada sama sekali,” ucapnya. 

Menurut warga, pencemaran ini sudah berlangsung beberapa bulan terakhir. (rmolsumsel)

Begitu upaya mengadu ke pemerintahan setempat juga menjadi usaha yang sia-sia. Perangkat desa mulai dari kades, BPD dan lainnya, sambung Sugiyanto, tidak ada yang mau menyelesaikan permasalahan ini.

Senada diungkapkan Bayu Saputra (29), petani lain yang lahannya ikut tercemar. Senasib dengan Sugiyanto, lahan karet milik Bayu juga mengalami penurunan produksi. Sehingga, ia harus mencari pendapatan lain dengan membuka warung dan kesenian jaranan. 

“Tadinya untuk jaranan sempat berhenti. Tapi ini saya aktifkan kembali. Karena hasil dari karet kurang cukup,” tuturnya. 

Apalagi, sambung Bayu, sertifikat kebun karetnya sedang digadaikan untuk beberapa keperluan membangun rumah. Sehingga, mau tidak mau ia harus mengejar penghasilan. 

“Angsuran hutang masih banyak. Kalau saya tidak cari pendapatan lain, kebun karet saya jadi hak milik orang lain,” ungkapnya. 

Limbah Juga Cemari Sumber Air Warga

Limbah tidak hanya mencemari perkebunan warga di Dusun 6, Desa Keluang, Kecamatan Tungkal Ilir. Tapi juga sumber air warga yang selama ini digunakan untuk minum, mandi, maupun mencuci. 

Sebab, aliran air mengalir hingga ke kanal atau warga sekitar menyebutnya sungai kecil yang ada di tengah dusun. Aliran sungai inilah yang selama ini menjadi sumber bagi warga mendapatkan air.

Pemandian umum yang ada di pinggiran sungai tidak bisa dimanfaatkan lagi. Untuk mandi warga terpaksa menumpang mandi ke dusun tetangga yang jaraknya cukup jauh. Atau yang lainnya membeli air galon isi ulang yang harganya di desa tersebut mencapi Rp8 ribu per galon. 

Seperti yang dialami Darmiyanti (22). Ia bersama keluarganya harus menempuh perjalanan ke rumah kerabat lain di Dusun Berkat yang berjarak sekitar 5-6 kilometer hanya untuk mandi dan mengambil air untuk minum di rumah. Kondisi itu sudah berlangsung sejak tiga bulan terakhir.

Sebab, pemandian umum yang biasa menjadi tempatnya mandi sudah tercemar air limbah. “Mau bagaimana lagi. Sudah pernah mandi pakai air itu. Tapi badan anak saya gatal-gatal semua,” ujar Darmayanti saat dibincangi. 

Darmiyanti menjelaskan, mandi menggunakan air sungai tersebut bukannya membuat badan menjadi bersih. “Badan seperti masih lengket. Kemudian rambut saya ini kayak berlumpur. Saya kira tadinya pengaruh sabun atau sampo. Tapi, sudah ganti produk juga masih saja,” ucapnya. 

Ibu satu orang anak ini menuturkan, kondisi tersebut membuat pengeluaran keluarganya membengkak. Lantaran, harus mengeluarkan biaya ekstra untuk mengisi bahan bakar. Belum lagi, suaminya saat ini tidak bisa mendapatkan penghasilan dari kebun karet akibat digenangi air limbah. 

Pengaduan ke pihak perusahaan maupun aparat pemerintahan setempat juga sia-sia. Hingga kini, belum ada satupun bantuan yang disalurkan perusahaan kepada keluarganya. “Kalau ngadu ini sudah mas. Tapi sampai sekarang tidak ada tindak lanjut,” ucapnya. 

Tidak hanya mencemari air sungai, sumur warga yang dekat dengan aliran sungai juga tercemar. Seperti yang dialami, Mega (53). Sumur yang ada di belakang rumahnya dalam tiga bulan terakhir juga ikut tercemar. Sumur tersebut menjadi sumber air untuk beraktivitas sehari-hari selama 23 tahun tinggal di desa tersebut. 

Air sumur tersebut tadinya sangat jernih. Airnya juga cukup melimpah. Baik saat hujan maupun kemarau. Bahkan, warga Dusun 6 maupun dusun tetangga lainnya kerap mengambil air dari sumurnya ketika masuk musim kemarau. 

“Sungainya biasanya kering kalau masuk kemarau. Makanya sering ambil air disini,” ucapnya. 

Tapi air sumurnya saat ini sudah tercemar. Ketika dimasak, airnya menimbulkan busa. Lalu, rasa airnya juga asin. Kondisi itu sudah terjadi sejak air limbah mencemari sungai. 

“Tadinya saya tidak terlalu peduli dengan tercemarnya sungai. Sebab, sumur saya airnya masih bagus. Tapi sudah dua bulan ini airnya menjadi asin,” ucapnya. 

Meski tidak mengetahui detail penyebabnya, Mega menduga air sumurnya ikut tercemar akibat limbah yang dihasilkan perusahaan. Sebab, bukan hanya sumurnya saja yang tercemar. Tapi juga beberapa sumur warga lainnya yang dekat dengan aliran sungai juga ikut tercemar. 

“Saya sudah 23 tahun tinggal disini. Sumur juga dibangun saat saya bangun rumah. Tidak pernah ada kejadian seperti ini. Tapi sejak perusahaan (PT Odira Energy Karang Agung) beroperasi, kehidupan kami terus terganggu,” tuturnya. 

Salah satu sumber air warga yang tercemar diduga atas aktivitas PT OEKA. (rmolsumsel.id) 

Pihak perusahaan bersama aparat pemerintah, sambungnya, beberapa waktu lalu pernah mendatangi rumahnya untuk mengecek kondisi air sumur. Ia pun lalu menjelaskan kejadian yang dialaminya. Bahkan, ia menyuruh perwakilan perusahaan untuk mencicipi sendiri air sumurnya. 

“Saya luapkan seluruh keluhan saya selama ini. Saya minta mereka bertanggung jawab. Terus pihak perusahaan meminta nomor telepon saya. Tapi sampai sekarang tidak pernah ada langkah untuk perbaikan atau penggantian sumur saya,” bebernya.

Bahkan dirinya sempat dibuat emosi oleh perwakilan perusahaan karena menganggap sepele kondisinya. “Masa dia (perwakilan perusahaan) bilang saya tidak perlu repot kasih garam kalau masak karena airnya sudah asin. Dianggapnya ini main-main,” tuturnya. 

Mega menceritakan, untuk minum dirinya harus meminta bantuan tetangga ataupun anaknya yang tinggal tak jauh dari desanya untuk membeli air galon. Sebab, setelah suaminya wafat, ia tinggal sendirian di rumah. 

“Sejak air sumur tercemar, saya harus minta tolong orang beli air galon,” ungkapnya. Ia meminta pemerintah untuk mendesak perusahaan bertanggung jawab atas pencemaran air sumurnya. “Terserah solusinya bagaimana. Saya mau air sumur saya kembali seperti dulu,” pintanya. 

Selain Limbah, Warga Juga Keluhkan Aktivitas Perusahaan

Kehadiran PT Odira Energy Karang Agung (OEKA) di Dusun 6 Desa Keluang Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Banyuasin sekitar 7 tahun silam seperti menambah penderitaan masyarakat sekitar. Tidak hanya pencemaran air limbah yang didapat masyarakat. Namun, setiap harinya masyarakat harus mendengar suara aktivitas mesin yang cukup kuat dan bau gas menyengat. 

“Setiap malam kami harus dengar suara mesin yang sangat kencang. Kalau dibilang terganggu, jelas terganggu. Padahal lokasi sudah cukup jauh. Mungkin sekitar satu kilometer dari rumah,” ujar Sugiyanto (50), warga sekitar kepada wartawan. 

Suara bising tersebut, sudah berkali-kali dikeluhkan kepada perusahaan. Tetapi protes dari warga tidak pernah didengar. “Kami sudah pernah protes. Tapi ya mas dengar sendiri lah. Suaranya kalau malam bisa berkali-kali lipat dari ini,” kata Sugiyanto. 

Sugiyanto sebenarnya memaklumi dengan suara bising yang dihasilkan perusahaan. Hanya saja, ia mengharapkan perusahaan bisa lebih memperhatikan kondisi warga yang tinggal dekat areal kerja. “Hingga kini, kami tidak pernah mendapat bantuan dari perusahaan,” ucapnya.

Selain suara bising, aktivitas perusahaan juga memberikan dampak lainnya. Yakni bau gas menyengat. Hal ini diungkapkan Bayu Saputra (29). Pria yang berprofesi sebagai petani dan pekerja seni jaranan ini menjelaskan, setiap harinya warga harus mencium bau gas di waktu-waktu tertentu. 

“Kadang malam sampai pagi itu bau gasnya sangat menyengat. Baunya itu seperti gas 3 kilogram gitu mas. Ya sangat mengganggu,” ungkapnya. 

Bayu mengaku khawatir jika kondisi terus dibiarkan terus menerus akan berdampak terhadap kesehatan masyarakat yang menghirupnya. “Kami yang dewasa mungkin bisa saja tahan. Bagaimana dengan anak-anak kami. Ini yang kami khawatirkan,” bebernya. 

Dulunya, warga yang sudah tidak tahan pernah mendatangi perusahaan beramai-ramai agar menghentikan kegiatan pembuangan gas yang cukup menyengat tersebut. Janjinya dari perusahaan akan melakukan perbaikan. Nyatanya hingga kini, bau gas itu tetap saja tercium. 

“Kami para ibu-ibu ini ramai-ramai protes ke PT. Janjinya mau setop (bau gas). Tapi sampai sekarang tidak ada realisasinya,” timpal Mega (53). 

Mega termasuk warga yang paling lama tinggal di kawasan tersebut. Meski jauh dari akses jalan, namun dirinya termasuk betah tinggal di desa itu. Ia nyaman dengan kondisi alam desa yang sejuk dan asri. Namun, kondisi berubah ketika perusahaan masuk dan melakukan aktivitas pengeboran. 

“Terserah sebenarnya mau beraktivitas seperti apa. Tapi tolong jangan ganggu kehidupan kami,” ucapnya. Mega menjelaskan, dirinya tidak terlalu mempermasalahkan persoalan kebisingan yang dihasilkan mesin perusahaan. Tapi, untuk masalah bau gasa menyengat dan pencemaran sumber air, ia sangat tidak mentolerir. 

“Mungkin masalah bising masih bisa dimaklumi. Wajarlah kalau pabrik punya mesin bising. Tapi, kami sudah benar-benar terganggu dengan bau gas menyengat dan pencemaran air limbah ini,” pungkasnya. 

Warga kini kesulitan mendapatkan air bersih yang sebelumnya mereka gunakan untuk beraktivitas. (rmolsumsel)

Desak Pemerintah Beri Sanksi Perusahaan

Masalah lingkungan akibat aktivitas pengeboran PT Odira Energy Karang Agung (OEAK) yang dialami warga Dusun 6 Desa Keluang Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Banyuasin mengundang perhatian organisasi dan elemen masyarakat. 

Salah satunya organisasi Laskar Merah Putih (LMP). Ketua LMP Banyuasin, M Zaini Arifin mengaku prihatin dengan kondisi warga. Seharusnya, aktivitas perusahaan bisa memberikan dapat memberikan dampak baik bagi masyarakat. Apalagi kegiatan mengeruk hasil bumi memiliki keuntungan yang sangat besar. 

“Investasi itu harusnya memberikan dampak ekonomi bagi wilayah sekitar. Tapi warga malah ditrugikan dengan hadirnya perusahaan ini,"ujarnya. 

Di tempat terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kabupaten Banyuasin. Drs. Izromaita. M. Si. Melalui, Kabid Limbah DLH Kabupaten Banyuasin, Abas kurib mengaku akan melakukan kajian ulang terkait limbah minyak milik PT Odira Energy tersebut. Ditegaskannya, jika terbukti limbah cair tersebut berbahaya tentunya perusahaan perlu mendapat sanksi tegas. Karena, dinilai melanggar aturan pemerintah.

“Bagi perusahaan yang tidak peduli terhadap lingkungan bisa mendapat sanksi, yang terberat bisa penyetopan izin usaha," tegasnya. Sanksi yang dimaksud adalah sesuai dengan UU No.3 tahun 2009 yang mengatur mengenai pelanggaran, sanksi dan ganti rugi serta pemulihan lingkungan.