Menelusur Benih Laten Komunis di Bumi Sriwijaya [BAGIAN KETIGA]

Foto udara Pulau Kemaro. (net/rmolsumsel.id)
Foto udara Pulau Kemaro. (net/rmolsumsel.id)

Kesaksian lain muncul dari Murtini, Aktivis Gerwani Lampung, yang dikutip dari catatan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-66. Murtini sendiri telah meninggal dunia pada 2005 lalu dan dimakamkan di Lampung (https://ypkp1965.org/blog/2016/09/07/neraka-di-pulau-kemarau).


Menurut keterangan yang diperoleh kawan-kawan jaringan YPKP 65/66 Lampung, mendiang Murtini sempat diundang ke negeri Belanda atas undangan kawan-kawan korban 65 yang bermukim di negeri tersebut, untuk memberikan testimoni tentang kekejaman rezim Suharto. 

Ketika membuat kesaksian ini, Murtini kira-kira berusia 75 tahun dan dia merupakan anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Sebelum ditahan, Murtini bekerja sebagai guru di sekolah dasar dan tinggal di Lampung. Tidak jelas apakah ia punya anak atau tidak. 

Sebagai penghargaan perjuangannya yang survive dari maut di Pulau Kemarau, ia diundang untuk mengunjungi Negeri Belanda pada tahun 2001. Undangan ini dirancang oleh kawan-kawannya yang menetap di Negeri Kincir Angin itu.

Sejumlah kesaksian Murtini:

Pulau ini terletak di tengah sungai Musi, tepatnya di sebelah hulu Plaju, Sungai Gerong dan Plaju. Tepat di daerah yang namanya kampung Mariana, Sungai Musi terbelah menjadi dua, dan sungai mengalir mengelilingi Pulau Kemarau. Sungai bertemu kembali di ujung hilir, dan langsung mengalir ke muara ke laut.

Daerah yang namanya Mariana, di mana sungai terbelah menjadi dua itu, dinamakan Simpang Mariana. Sebelum peristiwa 1965/1966 pulau ini ditempati PT Waskita Karya, untuk menimbun besi tua. 

Di sana terdapat dua bedeng berukuran 7 X 20 meter, berbentuk huruf L berdinding papan jarang, berlantai semen kasar, pintunya satu, dan tidak berplafon. Di depan bedeng ada satu rumah kecil, rupanya untuk dapur dan kamar mandi.

Setelah peristiwa 1965/1966, bedeng yang tadinya dipakai sebagai tempat tinggal buruh itu dipakai menahan tapol (tahanan politik), yang dituduh menjadi anggota atau simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia). 

Kamp itu dijaga oleh Polisi Militer (PM) dan pasukan Angkatan Darat yang baru lulus dari pendidikan. Luas tempat yang digunakan  untuk kamp kira-kira dua atau tiga hektar.

Kamp itu dipagari kawat berduri dua lapis, jadi di tengah bisa dipakai jalan penjaga. Tingginya empat meter, dan di dua penjuru berdiri rumah monyet untuk pasukan jaga yang menyandang bedil.

Di tengah wilayah kamp berdiri pohon ambon tiga buah besar- besar sekali, jadi tempat  itu rindang. Untuk tempat rekreasi memang bagus sekali, apalagi pada malam hari, untuk melihat gemerlapnya lampu-lampu pabrik di seberang nan jauh di sana dan gemerlapnya lampu-lampu perahu dan kapal yang lalu lalang hilir mudik di sungai Musi.

Saya dikirim ke Palembang pada tanggal 1 Februari 1966 dari Lampung, berdua dengan Bung Darwis Bachtiar, anggota CDB PKI Lampung, dan pada 1 Maret 1966 saya dikirim ke Pulau Kemarau bersama-sama dengan  kawan-kawan tapol lainnya.

Pengiriman kami menurut keterangan kawan-kawan yang terdahulu adalah gelombang ke tiga. Perjalanannya, pertama, dari Detasemen (Palembang) naik mobil menuju pelabuhan yang namanya Sungai Lais.

Dari situ naik kapal sungai menuju pulau Kemarau. Jumlah kami semuanya sekitar 30 orang, wanitanya saya sendiri, dikawal CPM yang menyandang bedil (bren). 

Kira-kira jam tujuh malam, kami sampai di kamp Pulau Kemarau, langsung diapel. Sesudah itu kami dimasukkan ke dalam barak masing-masing.

“Saya masuk kamp wanita, dan bertemu dengan kawan-kawan wanita lainnya. Mereka semua berasal dari Palembang, jumlahnya kira-kira 20 orang,” kata Murtini.

Pagi hari kira-kira jam tujuh semua pintu kamp dibuka, dan di situ baru jelas betul yang namanya Pulau Kemarau dan kawan-kawan yang ditahan. Waktu itu kawan laki-laki yang berasal dari Lampung belum datang.

Penjaga kamp ini seorang komandan CPM, pangkatnya Letnan, namanya Muis, dan seorang lagi berpangkat Kopral, saya lupa namanya. Seminggu sekali mereka bergilir. Kecuali mereka, ada tiga orang lagi CPM yang biasa memimpin kami senam pagi dan menjaga waktu para tahanan dikeluarkan dari bangunan kamp.

Agar tidak kelihatan kejam, mereka menggunakan orang lain, seorang preman sinting yang sosoknya sadis dan kejam. Dalam kamp itu ada satu kran air, satu bak di kamar mandi, dan sebaris WC bertutup papan, tingginya kira-kira  satu setengah meter. Selesai senam, kawan-kawan tentu pergi ke air. 

Ada yang cuci muka, mengambil air untuk dibawa ke dalam dan sebagainya. Mereka berebut. Di samping waktunya terbatas, tempat airnya pun terbatas.

Di sinilah Pak Tjik, si preman sinting itu berperan. Dengan sabetan karetnya ia menghajar kami yang sedang berebut air, tanpa kenal ampun memukulinya, menendang, memperlakukan kami bagaikan binatang. Tentu saja kami merasa kesakitan.

Selesai memimpin senam, para petugas biasanya kembali ke pos jaga, dan yang bertugas memasukkan para tahanan kembali ke dalam kamp dan mengunci adalah Pak Tjik itu. 

Di sini kawan-kawan wanita memanggil Pak Tjik, diajak bercanda, hingga ia lupa tugasnya menjaga tahanan. Dengan demikian kawan-kawan tahanan laki-laki bisa leluasa menggunakan air. Tentu saja, ini tugas kawan-kawan wanita yang muda-muda. 

Setelah jam sembilan, barulah kawan-kawan laki-laki dimasukkan kamp, sampai esoknya lagi, atau sampai jam 12 siang waktu bagi nasi. Kondisi kawan-kawan waktu itu belum begitu parah, walau menurut kawan-kawan yang datang lebih dulu, sudah banyak juga yang meninggal.

Tentang Makan. Menurut kawan-kawan yang lebih dulu sampai di sini, para tahanan diberi makan sekali sehari. Pemasaknya para tahanan juga, dan yang membagikan kami para tahanan wanita. 

Makan dibagi setelah jam 12. Para tahanan dikeluarkan dari barak, berbaris sap tiga sambil jongkok. Piringnya plastik, cangkirnya juga plastik, kecil. Sayurnya kangkung dicacah, direbus dengan bumbu garam saja. Oleh karena jumlah garamnya cuma sedikit, sayur tersebut tidak berasa apa-apa.

Tanah di sana pasir, dan angin kencang sekali. Jadi, waktu mendapat jatah, kawan-kawan harus kencang memegang piring dan cangkirnya. Kalau tidak, piring dan nasi bisa terbang dan tumpah. 

Karena kondisi kawan-kawan itu sudah lemah, terjadi juga ada yang tumpah nasinya. Terpaksa nasi dipunguti beserta pasirnya, nanti di dalam kamp nasi tumpahan tadi dirumbang dan makannya sebutir-sebutir. 

Kami sebagai pembagi nasi sebetulnya bermaksud menggantinya, tetapi dilarang oleh Pak Cik si preman bengis itu. Mending kalau nasinya banyak, paling kalau disendok cuma tiga sendok. 

Kami sendiri, sebagai pembagi hanya dapat kelebihan sedikit. Untung kami terbantu oleh kawan yang dipekerjakan di asrama prajurit. Sisa-sisa nasi yang tidak habis mereka makan dikumpulkan dan boleh dibawa masuk.

Semua itu hanya sementara. Masuk bulan Mei, jatah diganti dengan jagung 25 butir untuk setiap orang. Memang sudah ada berita dari pasukan penjaga. Mereka meneriakkan kata-kata: “Ketentuan nasib ibu-ibu ini nanti di bulan Juni.” Kami semua bertanya-tanya, akan ada apa nanti.  Apakah akan ada komando Presiden Sukarno?

Gubernur Sumsel Herman Deru dan Wali Kota Palembang Harnojoyo di Pulau Kemaro beberapa waktu lalu. Pemerintah berencana untuk merevitalisasi Pulau Kemaro jadi destinasi wisata serupa Ancol di Jakarta. (diskominfo palembang)

Pembantaian Massal

Tepat tanggal 1 Juni 1966 rupanya benar-benar ketentuan nasib kami tiba. Pagi itu semua sel kami dikunci, tanpa kecuali laki-laki atau wanita, kecuali kamar yang ada anak-anaknya. 

Memang ada satu wanita yang boleh tinggal di luar untuk melayani kepentingan anak-anak dan membawa air untuk kami para wanita. Barak kawan-kawan laki-laki ditutup sama sekali. Tidak ada yang boleh menolong mereka. Kalau ketahuan ada yang menolong, misalnya memberi mereka air, hukumannya berat. 

Tahu sendiri, apa macam hukuman itu, tendangan, pukulan, disuruh push up sampai pingsan merupakan ganjaran bagi yang ketahuan menolong para tapol.

Setelah tiga hari tiga malam dikurung, pintu barak kami dibuka. Bayangkanlah, tiga hari tiga malam tidak makan tidak minum! Ketemu air tentunya kawan-kawan ingin minum sepuasnya. Tapi, bayangkanlah, perut kosong cuma diisi air!

Memang lama juga kami dikeluarkan, kira-kira dua jam, kemudian kami dimasukkan lagi ke barak yang mirip kandang kambing itu. Setelah tiga hari tiga malam, kami dikeluarkan lagi. Di situlah kelihatan kawan-kawan laki-laki kondisinya sangat menurun. 

Dan mulailah kawan-kawan itu berguguran, mulai dari 5 orang, 15 orang sampai 20 orang meninggal dalam semalam. Bentuk kawan-kawan itu pun sudah seperti jerangkong, tengkorak, mayat hidup.

Kira-kira bulan April-Mei 1966, berdatangan lagi rombongan tahanan dari daerah-daerah lain seperti Lampung. Di situlah saya melihat dan mengenali sebagian dari mereka yang seasal dengan saya itu. Disusul dengan kawan-kawan dari Bengkulu, Jambi, Bangka dan Belitung. 

Kawan-kawan dari Bangka dan Belitung banyak yang datang suami istri, bahkan ada yang membawa anak. Mungkin nasib baik kami bagi para tahanan wanita ketika itu, karena seorang wakil kamp ada juga yang sedikit memiliki rasa perikemanusiaan. 

Ceritanya begini: Sesudah jam delapan malam selesai penguburan mayat, kami dikirimi sepotong singkong rebus, kira-kira sebesar tangan anak kecil dan air untuk diminum. Dan anak-anak dapat jatah sehari sekali, kira-kira sebesar kepalan tangan. 

Menurut keterangan kawan yang dinas di pos, singkong itu didapat dari menangkap perahu-perahu yang lewat dekat tempat tahanan. Apa saja yang diminta, diberikan kepada kami, terkadang juga pisang rebus. Tapi, ya itulah, kalau pisang tidak lebih dari satu biji,” katanya.

Rupanya memang sudah menjadi rencana penguasa militer di kamp tersebut. Tepat pada 1 Juni 1966, tahanan di kamp pulau Kemarau tidak dikasih makan. Apa itu hanya berlaku di pulau Kemarau saja ataukah berlaku juga di tempat kamp-kamp yang lain? Saya tidak tahu. 

Padahal di pulau Kemarau tidak ada bezoekan (Waktu besuk tahanan) sama sekali. Kiriman makanan dari keluarga sama sekali tidak ada, dan dilarang. Apalagi bertemu dengan sanak saudara atau pun keluarga, tidak diijinkan. Kalau pun ada, kiriman makanan dari keluarga tidak disampaikan ke alamat yang dituju melainkan dimakan oleh petugas jaga. Ini berlaku sampai satu tahun, tahun 1967.

Penguburan. Seperti telah saya katakan, setelah ditutup tiga hari tiga malam, pintu dibuka, kawan-kawan masih bisa berjalan, tetapi kedua kakinya lemas, tidak kuat menyangga tubuhnya. Mulailah kawan-kawan jatuh berguguran. Mula-mula lima orang, terus sampai mencapai dua puluh orang.

Yang mengurus kawan-kawan yang meninggal, ya kawan-kawan yang masih hidup, yang badannya pun sudah bagaikan tengkorak dan tidak punya tenaga lagi. Caranya: mayat kawan-kawan itu ditumpuk menjadi satu, dibungkus karung, disusun selang seling kepala dengan kaki, dan diikat kedua ujungnya dan bagian tangannya, lalu diangkat, dibawa ke luar kamp, ke tepi sungai.

Di sana dibanduli besi, kemudian dinaikkan ke motorboat. Bunyi mesin motor boat itu, “jung, jung, jung, jung”, begitulah kawan-kawan yang telah mendahului kami itu menuju ke suatu  tempat yang dinamakan Simpang Mariana. Di sana mereka dibuang, dan jatuh ke dasar sungai Musi.

Jadi, yang mengurus kawan-kawan yang meninggal itu kondisinya sudah lemah juga, tapi apa boleh buat, orang dipaksa. Petugas mengatakan: “Itu kan kawan-kawan kamu sendiri. Harus setia kawan, dong!” Ini betul-betul terjadi, malam ini mereka ngurusi kawan, besok malamnya mereka sendiri yang meninggal.

Itu terjadi kira-kira satu bulan, dan untuk selanjutnya sisanya dibunuh dengan cara dipukuli kepalanya. Caranya: kira-kira jam delapan malam petugas bersama dua orang algojonya masuk ke barak tahanan laki-laki. Diam-diam. 

Tapi, bagaimana pun masih terdengar suara pintu dibuka, kemudian suara kaki berjalan “sret, sret, sret.” Karena barak tidak berlampu, mereka para algojo mencari-cari dengan menggunakan lampu senter. 

Para tahanan itu disoroti satu – satu. Kalau sudah ketemu orang yang dicari, ditunjuk, dan diawe dengan jari, disuruh bangun. Kalau sudah tidak bisa bangun, diangkat dan diseret ke luar sampai ke pinggiran kali. 

Di sana, menurut keterangan kawan yang kerja di pos, ada satu tempat seperti pos kecil yang digunakan sebagai tempat untuk menyiksa dan membunuh. Hanya kurang jelas, bagaimana cara membunuhnya, diikat dulu, baru dibunuhnya, atau bagaimana. 

Yang pasti, kepalanya dipukul dari belakang dengan menggunakan sepotong besi. Ini dilakukan tiap malam, tidak kurang dari tiga orang diambil dan dibunuh.

Di antara tahanan wanita ada dua orang yang dibunuh dengan pukulan besi itu. Satu namanya ialah ibu Ani asal dari kampung Kali Doni, Palembang, dan yang lainnya ialah Napsiah dari Bangka, mereka adalah anggota Pemuda rakyat.

Kisahnya, begini: Napsiah itu anak dari keluarga tidak punya, ingin maju. Untuk bersekolah, orang tuanya tidak mampu, maka ia masuk Pemuda Rakyat, agar supaya bisa bersekolah. 

Baru beberapa bulan, terjadilah peristiwa 1965, dan ia ditahan, dan dikirim ke pulau Kemarau. Menurut keterangan kawan-kawan, ia dibunuh karena pemberani.

Ia biasa mendekati petugas jaga di pagar kawat berduri, minta sesuatu. Ia pun pandai melukis. Oleh petugas ia ditanya, “Bisa tidak kau melukis kamp ini?” Napsiah menjawab dengan beraninya, ”Bisa.” Maklum masih anak-anak, belum bisa menyimpan rahasia, bicara apa adanya tanpa memperhitungkan dampak dari jawabannya itu. 

Pikirnya, dengan melukis kamp, ia akan memperoleh imbalan, bisa untuk makan. Rupanya oleh petugas ia dianggap berbahaya. Kalau masih hidup, ia bisa melukis pulau Kemarau dengan segala isinya, dengan segala siksaan yang sengaja oleh aparat militer dirahasiakan. Itulah berita yang kami dengar.

Napsiah berbadan kecil mungil, cantik, rambutnya panjang keriting seperti mayang mengurai. Waktu ia diambil, sudah beberapa hari kawan-kawan laki-laki tidak diambil lagi untuk dibunuh. 

Jadi, kami tidak mengira bahwa wanita pun ada yang harus dibunuh. Waktu ia dipanggil, dikatakan ke padanya, ia akan dipindah ke Detasemen di Palembang. 

Jam sepuluh malam, pasukan penjaga di belakang berteriak: “Hei, jangan enak-enak kamu orang. Kawan kamu orang itu sudah di Simpang Mariana!” Kami semua terkejut. Kalau begitu ibu Ani dan Napsiah itu dibunuh. Kami semua menangis, apalagi kawan-kawan dari pulau Bangka.

Setelah pembantaian yang dimulai tanggal sejak 1 Juni 1966 itu, jumlah tahanan kawan-kawan laki-laki tinggal beberapa orang saja. Kemudian didatangkan lagi tahanan yang lain dari Palembang. 

Tahanan baru diperlakukan secara baru. Mereka tidak diperiksa, tetapi langsung dikirim ke pulau Kemarau. Dan sejak itu, tahanan tidak diberi makan, tapi pintu barak dibuka. Jadi, para tahanan politik bisa berkeliaran di dalam kamp.

Lalu, bagaimana mereka bisa bertahan hidup? Tahanan yang dipercayai dan dianggap tidak berbahaya, boleh dipekerjakan di luar barak. Jumlahnya hanya dua orang. Mereka kerja apa saja: membantu, mencuci pakaian petugas, merumput/menyiangi rumput di sawah, mencangkul atau apa saja yang dibutuhkan oleh para petugas. Sebagai imbalannya, mereka diberi makan kenyang, ditambah tembakau.

Wanita boleh ikut, satu orang untuk membantu pekerjaan kawan-kawan laki-laki. Sebagai imbalan, juga dapat makan kenyang. Pukul setengah empat kami diistirahatkan selama satu setengah jam. 

Waktu istirahat itu kami gunakan untuk mencari makanan apa saja yang bisa dimakan: daun-daunan, keladi gatal, umbi-umbian, singkong, jeruk asam apa saja untuk oleh-oleh kawan-kawan yang di dalam.

Sampai di dalam kamp, barang-barang itu dibagi masing-masing kelompok. Ada warung kecil yang menjual kebutuhan hidup sehari-hari dan makanan terletak di luar barak. 

Ini rupanya diperuntukkan para petugas jaga, yang sewaktu-waktu dapat membeli makanan di warung itu. Kami pesan, kalau ada kulit pisang, kulit singkong, kulit ubi, ampas kelapa, gagang bayam, gagang kangkung, daun singkong tua, daun pepaya tua yang dibuang, dan apa saja yang kira-kira bisa dimakan, supaya dikumpulkan untuk kami. 

Sore harinya sepulang dari kerja di luar barak, saya menghampiri warung untuk mengambil sisa-sisa makanan yang saya pesan. Hasilnya, sungguh dapat untuk bertahan hidup.

Dengan cara itulah kami bisa bertahan hidup sampai akhir 1967. Padahal, keladi gatal itu, biar sudah dimasak sampai lama sekali pun, tetap saja keladi itu tetap gatal. Rasanya memang manis, tapi selesai makan, mulut kita gatal sekali. Obatnya ialah garam, atau jeruk asam.

Pernah ada bangkai kambing terdampar di pinggir pantai dekat tempat kami bekerja. Tidak kami sia-siakan, daging bangkai itu saya masak, saya rebus dengan garam. Bagaimana rasanya? Ya, begitu itulah. Apa boleh buat, terpaksa, perut kosong minta diisi, barang isian tidak ada. Beruntunglah kalau kawan dapat ular atau pun belut atau pun keong.

Kira-kira pertengahan tahun 1967 mulai ada kawan yang dibon (diambil untuk dipinjam layaknya sebuah barang, tapi sering kali orang yang di bon itu tidak pulang lagi, karena dibunuh atau pun mati disiksa).  

Menurut berita, ada beberapa kawan yang dibebaskan terutama bagi tahanan yang diklasifikasikan Golongan C (golongan simpatisan yang tidak tahu apa-apa dalam peristiwa 1965).

Sampai akhir tahun 1967, tahanan politik laki-laki yang ada di pulau Kemarau dan sisa-sisa yang di bon ke Detasemen Palembang tinggal tiga orang, juga wanitanya tinggal tiga orang. 

Kami senang sekali, karena dengan jumlah yang sedikit itu kami dapat lebih ringan dalam bertahan untuk hidup. Di samping saya sendiri, yang masih tinggal di kamp pulau Kemarau, ialah Mbak Kholifah dengan anak lelakinya yang masih berumur 2 tahun dari Palembang dan Maryamah dari Muara Enim.

Pada suatu hari, akhir 1967, kami para tahanan wanita di bon ke Detasemen di Palembang. Ketika di Detasemen, saya melihat ada beberapa kawan laki-laki yang akan dikirim lagi ke pulau Kemarau sebanyak tiga belas orang berasal dari Lampung. Di antara kawan-kawan yang saya kenal ialah Bung Pane, Bung Ashari S, dan Bung Darwis Bachtiar. Yang lainnya, saya tidak kenal.

Dari Detasemen, sebagian dari kami golongan C dibebaskan, sisanya dikenai tahanan rumah. Mereka yang mempunyai keluarga dijemput keluarganya, yang tidak punya keluarga diambil bapak-bapak CPM untuk menjadi pembantu di rumahnya. 

Saya sendiri, karena keluarga tidak mengurus, diambil oleh bapak CPM yang namanya Mardin, orang Lahat, tinggal di kampung Tanggo Buntung, pangkatnya Peltu. Saya bekerja di rumahnya sebagai pembantu selama dua tahun.

Tahun 1970 semua yang dikenai tahanan rumah diambil dan ditahan kembali, tetapi tidak lagi dikirim ke pulau Kemarau, hanya ke Detasemen Palembang sampai adanya pembebasan massal pada tahun 1979. 

Di situlah saya tahu, bahwa tiga belas orang dari Lampung, termasuk kawan-kawan dari CDB yang dikirim ke Pulau Kemarau dahulu pada akhir 1967; semuanya meninggal dunia.

“Itulah kisah Neraka di Pulau Kemarau yang kami beri nama Pulau Maut di mana kami tinggal dari tahun 1966 sampai 1967. Kalau Suharto dengan Orde Baru nya mengatakan 'tumpas habis sampai ke akar-akarnya,' barangkali benar apa yang terjadi di pulau itu," kata Murtini mengakhiri kisahnya.

Bangunan Kelenteng yang terdapat di Pulau Kemaro, dikunjungi warga dari berbagai negara saat perayaan Cap Go Meh. (net/rmolsumsel.id)

Jejak pembantaian di Pulau Kemaro pernah dituliskan oleh Peneliti Pusat Kajian Kriminologi, Universitas Indonesia, Truly Hitosoro di islambergerak.com/2015/03/menapaki-jejak-kekerasan-di-pulau-kemaro.

Truly sempat mewawancarai Rusdi (bukan nama sebenarnya), tahanan politik di Pulau Kemaro. Rusdi salah satu dari ratusan tahanan politik yang dipenjarakan Pemerintah Orde Baru pasca peristiwa 30 September di Pulau Kemaro tanpa melalui proses hukum. 

Selama lebih dari sepuluh tahun ia mesti melewati masa-masa paling menyiksa dalam hidupnya di pulau kecil itu, mengumpulkan kenangan buruk yang kelak akan mengusik masa tuanya.

“Kalau malam sekitar jam 9, ada masuk petugas (berkata), ‘Siapa yang mau ikut pikul?’ Saya buru-buru nunjuk. (Ia) bilang, ‘Lho kok senangnya ikut mikul-mikul?’ Saya bilang daripada saya dipikul, mending ikut mikul. Gitu, lantas, dipukul, dibawa ke motor, motor sungai kan. Di atas motor itu sudah disediakan besi… kadang besi pelat, kadang ‘H’, kadang ‘U’ sisa pembangunan Jembatan Ampera. 

Besi tu dipotong-potong, ikatnya itu kawat duri itu, jadi mayat itu ditumpuk di atas besi-besi itu, diikat dengan kawat. Satu hari itu minimal 5 orang. Pernah sampai 16 orang. Itu tinggal kerangka, tinggal kulit dengan tulang. Pernah kami ini mikul, satu kali pikul 16 orang.” Kata Rusdi.

Berdasarkan cerita Rusdi, kamp Pulau Kemaro dikelilingi oleh dua lapis pagar. Di tiap sudut, ada pos dengan empat orang penjaga mengawasi dengan ketat. Saat itu, walau tak banyak jumlahnya, masih ada penduduk asli yang bermukim di pulau. 

Akibatnya, pulau dibagi dua: Hulu menjadi pemukiman penduduk, sedangkan bagian hilir menjadi kamp tahanan politik yang dijaga dengan ketat dan khusus oleh Polisi Militer dan Angkatan Darat. Bila ada kapal yang mendekati kamp, penjaga yang ditempatkan di enam titik pos akan siap menembak.

Kini, pohon-pohon tinggi yang rindang memenuhi dan menjaga halaman klenteng. Bayang-bayangnya memayungi jalan setapak menuju (klenteng) Pagoda bertingkat sembilan. 

Klenteng ini dibangun tahun 1962, sedangkan pagoda dibangun lama sesudahnya. Klenteng Kuan Im yang bersahaja ini juga menjadi salah satu saksi dari kehidupan para tahanan politik yang dibuang di Pulau Kemaro sejak tahun 1965.

Dengan detil Rusdi menuturkan:

“Kebanyakan, kematian itu karena lapar, (kecuali) yang penyiksaan itu, pada waktu itu namanya Oktober Pembalasan, yaitu malam 30 September, malam tanggal 29 September, malam tanggal 30 September, malam tanggal 1 Oktober, 3 malam berturut-turut. Itu pembunuhan massal. Pada waktu mulai jam 11 malam, lampu dimatikan, kemudian salah seorang petugas itu membuka pintu, dipanggil, si anu keluar. Gak masuk lagi. Si anu keluar, gak masuk lagi. Sampai jam 2 malam. Rupanya, waktu siang tanggal 28 itu, didaftarkan seluruh (penghuni) barak itu. Waktu itu, kalau gak salah kami lebih kurang mungkin 200 lebih. Sekitar 260 atau 270. Didaftar, rupanya yang dipanggil ini yang dari anggota PKI dan Pemuda Rakyat… Nah, sudah malam ketiga mulai lagi pemanggilan.” katanya.

Berbeda dengan hidup mereka, sebagaimana kisah Rusdi, para tahanan politik merasakan getir karena derita, siksa dan penahanan di pulau ini. “Kami datang di situ pada waktu bulan Juli 66. Makannya masih dua kali sehari, tapi kira-kira tidak sampai paling-paling 100 gram. Paling banyak 100 gram, sayur nangka, sayur gori kata orang Jawa, dua-tiga potong begitu. Nah, kadang-kadang kangkung, dua-tiga potong. Nah, kemudian itu hilang. Berapa hari gak dikasih makan. Cuma dikasih air minum. Sudah itu diganti dengan jagung. Itu tiap-tiap jam 12 siang, jadi 24 jam itu cuma makan sekali. Jagung itu kita hitung antara 25 butir sampai 30 butir. Bayangkanlah, kalau satu tongkol jagung itu buat makan enam orang tujuh (orang) itu. Bahkan orang 10,” kata Rusdi.

Demikianlah sedikit keterangan mengenai PKI di Sumatera Selatan dan kota Palembang, dilansir dari berbagai sumber. 

| Penulis adalah Jurnalis dan Peminat Sejarah Sumatera Selatan