Menelusur Benih Laten Komunis di Bumi Sriwijaya [BAGIAN PERTAMA]

Selebaran perseteruan PKI dan Masyumi yang bertarung dalam Pemilu 1955. (sumber: rappler.com)
Selebaran perseteruan PKI dan Masyumi yang bertarung dalam Pemilu 1955. (sumber: rappler.com)

Secara gamblang, mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo menguraikan sejumlah ciri dari Partai Komunis Indonesia (PKI), pada diskusi virtual bertema "TNI vs PKI" yang digelar Minggu malam (26/9).


Dari garis besarnya, ciri yang diurai Gatot Nurmantyo adalah PKI bukan partai yang nasionalis. Sebab mereka berupaya untuk menempatkan Indonesia di bawah ketiak negara lain.

PKI memiliki kecenderungan membuat huru-hara politik dan keamanan, dengan tujuan merebut kekuasaan dan berkuasa. Upaya tersebut telah dilakukan berulang kali, mulai dari tahun 1926, 1948, dan 1965.

Ciri selanjutnya adalah melakukan penculikan, penganiayaan terhadap warga sipil, polisi, dan juga ulama.

Gatot Nurmantyo menjabarkan mengenai ciri-ciri komunis gaya baru. Seperti tampuk kekuasaan yang terpusat pada sekelompok elite atau oligarki, sering melakukan bohong dan janji palsu, dan senang memecah belah rakyat.

"Termasuk menghalalkan segala cara untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, dan melakukan pembunuhan karater lawan politik, menyusup ke semua lini kekuasaan,” urainya.

Dalam kesempatan ini, Gatot Nurmantyo tidak secara gamblang menyebut PKI kembali muncul di era kekinian. Tapi dia mengurai bahwa ciri-ciri PKI sudah bisa dirasakan masyarakat Indonesia.

Secara politik, sambungnya, sudah terlihat adanya upaya adu domba di antara partai politik, masyarakat dan pemerintah, sehingga terjadi ketegangan sosial.

"Mendukung jabatan presiden seumur hidup. Mencari dukungan kepada negara komunis besar, 48 Soviet, 65 China, atau membiarkan pengaruh negara komunis menguasai RI,” lanjut Gatot Nurmantyo.

"Dari masa ke masa, kita merasakan bersama-sama fitnah, adu domba, pecah belah, dan menghalalkan segala cara termasuk membunuh TNI, ulama, dan orang Islam untuk meraih kekuasaan menjadi ciri dari gerakan PKI,” sambungnya.

Gatot mengingatkan agar bukti sejarah yang telah disampaikannya tidak dianggap angin lalu.

Sebab, sekalipun PKI sudah dibubarkan dan dilarang secara tegas kehadirannya di Indonesia melalui Ketetapan MPR Nomor XXV/MPRS/1966, namun sejarah selalu membuktikan bahwa PKI dengan mudah bisa melakukan pemberontakan.

"PKI memang sudah dibubarkan, tetapi pengalaman di Indonesia, fakta tidak dibantahkan bahwa PKI mudah melakukan pemberontakan,” tutupnya, dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL. 

Tujuh pahlawan revolusi korban kekejaman PKI. (net/rmolsumsel)

Lantas apa sebenarnya PKI?

Kelahiran PKI tak bisa dilepaskan dari Perhimpunan Sosial Demokrasi Hindia (ISDV), organisasi Marxis pertama di Indonesia yang didirikan Henk Sneevliet pada 1913. 

ISDV kemudian mengalami gejolak dengan keluarnya sosial-reformis JE Stokvis yang mendirikan Partai Sosial Demokrat Hindia Belanda (ISDP) dan penolakan pada 1917 dan penolakan Hertogh terhadap perubahan ISDV menjadi partai komunis sesuai keputusan Internasionale III tahun 1919.

Kemenangan atas dua macam musuh idelogi proletariat inilah, yang membuka jalan dan memungkinkan ISDV menjadi PKI. Dan ini yang membuat dia besar dengan didahului pembersihan ideologi ke dalam.

PKI didirikan pada 23 Mei 1920 dengan nama Perserikatan Komunis Hindia. Ini partai komunis pertama di Asia. Kongres II Juni 1924 memutuskan mengubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia, sehingga menjadi partai pertama yang menggunakan nama “Indonesia”.

Ketika PKI lahir, dunia tengah diselimuti imperialisme. Namun sudah ada pula kelas buruh dan terbentuk serikat-serikat buruh. Begitu pula sudah terjadi Revolusi Sosialis di Rusia pada Oktober 1971. 

“PKI adalah anak zaman yang lahir pada waktunya.” kata puisi yang di bacakan pemimpin PKI, DN Aidit, di hari jadi PKI ke-35, tertanggal 21 Mei 1955.

Sebagai dampak kegagalan Pemberontakan PKI 1926-1927, pemerintah kolonial melakukan “teror putih” terhadap orang-orang komunis melalui penindasan, penangkapan, penggantungan, dan pembuangan. PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.

Musso, melalui kadernya, Pamudji, menghidupkan kembali PKI pada pertengahan 1938, kendati harus bergerak di bawah tanah sehingga disebut PKI-ilegal. 

Program-programnya disalurkan melalui partai kiri legal, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang dipimpin Amir Sjarifuddin. Perlawanan terhadap bahaya fasis Jepang dilakukan dengan mendorong Gerindo dan partai politik lainnya membentuk Gabungan Politik Indonesia. 

Kader-kader PKI sendiri membentuk Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf). Akibat gerakan ini, tidak kurang dari 300 orang komunis ditangkap tentara Jepang.

Salah satu kegiatan bawah tanah adalah mendengarkan radio, sehingga Aidit mengklaim lebih dulu mendengar kekalahan Jepang pada 14 Agustus 1945. 

Aidit segera mencari Wikana dan mengumpulkan para pemuda untuk menentukan langkah-langkah memproklamasikan kemerdekaan. Dalam rapat 15 Agustus 1945 malam, Aidit mengusulkan agar Sukarno ditetapkan sebagai presiden Indonesia pertama.

Pada masa revolusi, kaum komunis terpecah: PKI-ilegal, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia (PBI), PKI Mohammad Joesoeph (kemudian dilikuidasi), dan Pesindo. 

Setelah Musso tiba di Indonesia, maka pada tahun 1948 dengan gagasan “jalan baru”, dilakukanlah fusi tiga partai bermazhab Marxsisme-Leninisme: PKI-ilegal, PBI, dan Partai Sosialis. Dari sini PKI mulai 'dewasa'. Hal ini karena partai mulai memadukan teori Marxisme-Leninisme dengan praktik kongkret revolusi Indonesia.

Namun kembali mereka harus menghadapi “teror putih”. Kali ini dilancarkan pemerintahan Muhammad Hatta, yang berujung pada Peristiwa Madiun 1948. PKI tiarap.PKI muncul lagi awal 1951 di tangan anak-anak muda PKI seperti Aidit, Njoto dan Lukman. “Dalam tahun 1951, tahun kelahiran kembali PKI, PKI menjadi dewasa dan dalam Kongres Nasional V 1954 menjadi dewasa sepenuhnya.”

Jejak PKI di Sumsel

Benih PKI sudah sejak lama berada di wilayah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), bahkan sejak sebelum tahun 1926. Hal ini nyata, setelah adanya penangkapan umum yang dilakukan Pemerintah Kolonial dalam hubungan membasmi sisa pemberontakan PKI antara tahun 1926/1927.

Partai Komunis Indonesia (PKI) sendiri mulai membuka cabang di Palembang pada tahun 1925. PKI dibawa oleh broker dari Minangkabau dan Banten. 

Empat utusan PKI dari Sumatera Barat - Malin Kuning, Si Tjakap gelar Bagindo Rumah Gadang, Ali Datuk Bagindo Ali, dan Moehammad Roesli - datang ke Palembang untuk membangun cabang PKI.

Sutan Pamenan, seorang kolega mereka juga dari Minangkabau, bekerja sebagai kepala pasar (marktmeester) Kota Palembang menyambut kedatangan mereka. Beberapa hari kemudian, mereka mengadakan pertemuan di Hotel Nangling bersama Ardiwijaya dan Wirta, dua tokoh PKI asal Banten. Entah kebetulan atau memang telah direncanakan, mereka bertemu dan mendapat simpati Raden Nangling, si pemilik hotel Nangling. 

Hasannusi (berdarah campuran Palembang-Ambon) dan Latumahina (asal Ambon) yang bekerja di perusahaan minyak NKPM Palembang juga diikutsertakan dalam pertemuan itu. 

Salah satu hasil keputusan rapat adalah menggalang propaganda dengan sasaran utama buruh-buruh minyak dan pelabuhan yang akan diorganisasikan oleh Sarikat Islam (SI), Tjakap gelar Bagindo Rumah Gadang. 

Para propagandis PKI juga mengarahkan sasaran ke kalangan masyarakat Tiongkok-Palembang. Mereka berhasil mendekati sebuah sekolah Tiongkok di Kota Palembang untuk dijadikan basis penyebarluasan komunisme dan dapat dijalin hubungan lebih dekat dengan Nanking, Tiongkok.

Pengaruh PKI di Kota Palembang mulai menampakkan hasil. Sekitar bulan Maret 1926 mereka mengambil peran sebagai 'penengah' saat terjadi konflik antara buruh Tiongkok dengan buruh Melayu (pribumi) di perusahaan Industrie Maatschappij Palembang.

S.M. Noengtjik dan S. Hasan, dua orang asal Palembang, turut bergabung dengan PKI pada akhir 1926 dan sejak ini pula usaha membangun cabang-cabang PKI ke daerah pedalaman Palembang mulai dilancarkan. 

Hal itu semakin mudah, karena faktor Raden Nangling yang mantan Presiden SI Palembang dan cukup dikenal serta mengenal bekas anggota-anggota SI pedalaman. 

Burniat, bekas anggota SI dari Tanjung Enim, berhasil dihubungi. Dia pernah bekerja sebagai sipir penjara kota Tanjung Enim sebelum pindah bekerja sebagai juru tulis Demang Badaruddin di kota yang sama. 

Burniat diberi tanggung jawab merekrut anggota baru PKI ketika dihubungi pertama kali oleh utusan PKI Palembang. Sasaran pokok PKI di Tanjung Enim adalah buruh-buruh tambang batu bara kawasan Bukit Asam. 

Hampir semua tokoh PKI yang bergerak di daerah pertambangan, seperti Oedin, Buyung, Abdul Khatib, dan Amat Jamain adalah orang-orang dari Sumatera Barat. Mereka menjalin kerja sama dengan Burniat, Sudarso, dan Saparman.

Setelah berhasil membangun jaringan di Tanjung Enim, propagandis PKI dari Sumatera Barat pulang kembali ke Padang. Burniat dan kawan-kawan, terutama Sudarso, yang kemudian melanjutkan kerja propaganda PKI. 

Bersama Aburohim bin Anang dan H. Mahmud, pemuda-pemuda asal daerah setempat, mereka mencoba 'menggarap' buruh-buruh pertambangan dengan berbagai cara. 

Sudarso yang sebelumnya bekerja sebagai perawat kesehatan di rumah sakit kota Muara Enim, misalnya, mengajukan lamaran bekerja sebagai buruh tambang. 

Cukup aneh jika pemuda tamatan MULO seperti Sudarso mau bekerja sebagai buruh. Namun pimpinan perusahaan tambang yang sebetulnya menaruh curiga kepadanya malah mempekerjakannya.

Bersama teman sekerja, di antaranya Saparman yang berusia lebih muda dari Sudarso, mereka mengajak para buruh bergabung ke dalam sarikat buruh Tambang Batu bara (TABA), Bukit Asam, Tanjung Enim.

Sambil tetap menjalin kontak dengan teman-teman di luar daerah pertambangan, Sudarso mengorganisasi aksi mogok serikat buruh tambang yang sejalan dengan agenda PKI Sumatera Barat dan Banten. 

Sementara Burniat dan kawan-kawan yang bergerak di luar daerah pertambangan yang relatif bebas tampaknya berhasil memperluas jaringan kepartaian.

Berkat hubungan dengan sesama kolega asal Minangkabau seperti, Oedin dan beberapa guru asal Minangkabau di Muara Enim dan Baturaja, Burniat dapat mengetahui rencana PKI untuk mengadakan pemberontakan serentak pada akhir 1926. 

Sementara menunggu komando PKI Sumatera Barat, Burniat terus-menerus melicinkan jalan ke arah persiapan pemberontakan. Sebagai juru tulis kantor Distrik Muara Enim, dia mendapatkan banyak informasi dari Demang Badaruddin, atasannya, sehubungan dengan siasat pemerintah memantau perkembangan PKI Sumatera Barat yang dicurigai telah masuk sampai ke daerah Sumatera Selatan. 

Burniat segera menyadari bahaya yang akan menimpa PKI dan mulai bertindak lebih hati-hati. 

Di kawasan pertambangan sudah ada Sudarso dan Saparman yang terus-menerus melakukan pendekatan terhadap para buruh melalui TABA. 

Bagaimana dengan kegiatan PKI di luar daerah pertambangan? Burniat memang telah merintis kerja tekun merekrut anggota, tetapi hanya terbatas di sekitar kota tambang Muara Enim saja. Dia terikat oleh pekerjaan dan informasi baru yang masuk. 

Dia kemudian mengarahkan perhatian ke Kota Baturaja yang tak jauh dari Muara Enim. Di kota itu memang ada Sarekat Rakjat (onderbouw PKI) yang dipimpin Abdul Rahim bin Anang, pemuda setempat. Tetapi kekuatannya masih sangat lemah karena tenaga penggeraknya yang tampak kurang dinamis. 

Burniat menemukan jalan keluar ketika berkenalan dengan Ruslan Adnan dari Baturaja. Anggota PKI dengan nomor urut 12 itu dianggap cocok untuk menjadi broker merekrut anggota baru. 

Sebagai makelar mesin jahit merk Singer yang sering mengadakan perjalanan ke beberapa kota di Sumsel, termasuk Lampung dan Jambi, Ruslan berhasil merekrut beberapa pelanggan untuk menjadi simpatisan atau anggota PKI. 

Dia sendiri, sejak 1926, sering berpindah-pindah tempat mulai dari Muara Dua, Martapura, sampai Kayuagung. Kantornya sering dipakai sebagai tempat pertemuan para anggota PKI setempat. 

Pengetahuan tentang kepartaian dan masalah aktual lain di Hindia Belanda dan dunia, didapat Ruslan dari buku dan surat kabar terbitan Palembang dan Batavia, bukan dari kursus-kursus kader yang relatif terbatas. 

Dengan bekal pengetahuan yang dimiliki, Ruslan memberi kursus-kursus singkat bersifat amat rahasia kepada anggota baru PKI. Walaupun hanya lulusan sekolah rendah, Ruslan pandai mencari 'pelanggan-pelanggan baru' yang bersedia membeli mesin Singer yang dijualnya. 

Para pelanggan kemudian direkrut untuk menjadi anggota PKI. Ada faktor tambahan yang tampak menguntungkan Ruslan. Perusahaan Singer tempat dia bekerja, dapat menjual mesin jahit dengan harga lebih murah ketimbang harga pasar Kota Palembang. Karena diberi potongan 20 persen dari kantor pusat Singapura, sehingga agen perusahaan ini jauh lebih populer dan disukai pelanggan. 

Selain itu, perusahaan tempatnya bekerja menyediakan berbagai macam suku cadang mesin jahit yang juga berharga lebih murah. Karena itu tidak ada alasan untuk curiga mengapa pelanggan sering berhubungan dengan dia.

Namun hal tersebut tidak berjalan lama. Menyusul pemberontakan PKI di Banten dan Sumatera Barat akhir 1926 dan awal 1927, semua kaum komunis di beberapa daerah, termasuk Palembang, dikejar-kejar dan ditangkap. 

Kantor Ruslan ikut digeledah dan dia sendiri akhirnya ditahan. Penahanan ini mengakhiri karier Ruslan sebagai managing salesman perusahaan agen Singer Baturaja. 

Sementara, Burniat, Sudarso, dan Saparman yang berada di Tanjung Enim dan dituduh terlibat tidak langsung dalam aksi mogok dan 'teror' di kalangan buruh tambang mengalami nasib serupa. Sudarso, Kastoto, dan R. Subandi (commies pada TABA) ditahan dan dibuang ke Digul (Boven Digoel adalah penjara alam yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Pulau Papua. Kondisi penjara ini sangat tidak bersahabat dan digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mematahkan perlawanan kaum pergerakan).

Penggeledahan disertai penangkapan para pimpinan komunis juga terjadi di Lahat. Seorang pasirah dari Bumiagung ditahan, karena dianggap pemerintah kolonial terbukti menyimpan sejumlah amunisi dan senjata, untuk maksud-maksud pemberontakan di sekitar marganya. 

Pemberontakan komunis pada pergantian tahun 1926-1927, menjadi alasan pemerintah kolonial untuk mengerahkan alat represif melenyapkan PKI dan setiap gerakan politik yang dianggap mengganggu rust en orde (ketenangan dan ketertiban versi Hindia Belanda. 

Karena semua saluran lewat partai partai politik relatif tertutup, beberapa tokoh pergerakan yang lolos dari penangkapan terpaksa kembali menekuni dunia ekonomi. 

Sejumlah kaum komunis Kota Palembang, misalnya, mendirikan NV Boemi Melajoe, perusahaan yang bergerak di bidang percetakan dan penerbitan, pada pertengahan 1927. 

Mas Arga diangkat sebagai direktur perusahaan. Sebagian modal perusahaan berasal dari Raden Hasannusi, peranakan Ambon yang memiliki pertalian darah dengan Kesultanan Palembang.

Sebagian lagi dimodali Moluksche Handelvennotschap, salah satu perusahaan milik orang-orang Ambon di Palembang. Hasannusi bekerja dan memiliki saham di perusahaan ini. 

NV Boemi Melajoe menerbitkan surat kabar Boemi Melajoe. Melalui media yang menyalurkan aspirasi terselubung gerakan komunis ini mereka mendorong pembentukan serikat-serikat buruh sekitar Januari 1928 dengan mengambil markas di 16 Ilir Kota Palembang.