Industri ekstraktif pertambangan batubara telah berkembang sedemikian masif di Sumsel sejak beberapa tahun kebelakang. Sampai tahun 2019, Dinas ESDM Provinsi Sumsel mencatat ada sebanyak 119 Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara, yang terbagi di beberapa wilayah Kabupaten/kota di Sumsel.
- KAWALI Sumsel Desak APH Usut Kasus RKAB Palsu Putra Hulu Lematang
- Dana Besar Diduga Mengalir dalam Kongkalikong Perizinan RMK Energy, Siapa Menikmati?
- Tak Hanya Karhutla, Kabut Asap di Sumsel juga Disumbang dari Aktivitas Swabakar Batubara
Baca Juga
Dari 17 kabupaten/kota yang ada di Sumsel, tiga diantaranya yakni Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Lahat dan Kabupaten Muara Enim menjadi wilayah konsesi tambang terbesar, dari total luasan 1,1 juta hektar. Pada tahun 2019 itu pula, sebanyak 54,94 juta ton batubara berhasil diangkat dari perut bumi di Sumsel.
Sementara secara aktual, pada 2020 produksi tahun 2020 dicatat mencapai 49.573.092 ton. Dengan rincian 30.226.349 ton berasal dari IUP Kewenangan pusat dan 19.346.752 ton dari IUP kewenangan provinsi. Sedangkan hingga April 2021 Dinas ESDM Provinsi Sumsel baru mencatat 8.952.234 ton.
Catatan ini bukan disebabkan oleh minimnya produksi, melainkan karean lambatnya pelaporan yang dilakukan perusahaan, serta minimnya kewenangan pemerintah daerah terjadi sejak dikeluarkannya UU No.3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
"Perusahaan tidak lagi melapor kepada kami, tetapi langsung ke Kementerian ESDM. Semua kewenangan diambil pusat, setelah keluar aturan tersebut," kata Kepala Dinas ESDM Provinsi Sumsel, Hendriansyah kepada Kantor Berita RMOLSumsel beberapa waktu lalu.
Begitu juga dari sisi pengawasan oleh pemerintah daerah yang menjadi jauh berkurang akibat keluarnya aturan ini. Sehingga disinyalir banyak pelanggaran yang tidak terpantau, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan.
Dalam catatan Kantor Berita RMOLSumsel, dalam tengah tahun ini saja sudah terjadi beberapa kali pelanggaran dan kecelakaan kerja dalam aktivitas pertambangan di Sumsel. Dinas ESDM Provinsi Sumsel tidak bisa berbuat banyak. Hendriansyah mengakui, jika pelanggaran ini terjadi secara berulang dan merugikan bagi Sumsel. Hal ini, menurutnya terjadi akibat minimnya pengawasan dari Pemerintah Pusat, dalam hal ini Dirjen Minerba.
Sementara di sisi lain, pemerintah pusat menargetkan produksi dua kali lipat untuk tahun 2022 dari areal konsesi tambang di Sumsel, menjadi 100 juta ton pertahun. Hal ini, sambung Hendriansyah, tentu memberikan dampak negatif yang lebih besar lagi.
"Perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan ini telah meraup banyak keuntungan. Saat ini saja, (Sumsel) memproduksi 50 juta ton per tahun, sudah banyak sekali masalah. Apalagi nanti, sebab pemerintah kedepan menargetkan kita (Sumsel) bisa produksi sampai 100 juta ton," katanya.
Oleh sebab itu, Hendriansyah kemudian meminta Dirjen Minerba Kementerian ESDM untuk bisa melakukan langkah konkrit, dalam pelibatan pemerintah daerah dari sisi perizinan, maupun kewenangan dan pengawasan. Sehingga bisa pula meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Apa yang diharapkan Hendriansyah dan tentunya semua daerah lain yang memiliki areal konsesi tambang ini, kemudian dijawab dengan keluarnya aturan terbaru, yakni PP No.96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan. Kini pemerintah pusat telah mau membagi kewenangannya.
Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang adalah Keniscayaan
Tim RMOLSumsel berkesempatan untuk berbincang dengan salah seorang akademisi Universitas Sriwijaya, Dr. Sena Putra Prabujaya. Pengamat kebijakan publik ini baru saja melakukan penelitian mengenai kebijakan terkait pertambangan batubara di wilayah Sumsel.
Dia mengungkapkan, esensi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, termasuk dalam bidang pertambangan adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Sehingga, apabila terjadi hal yang merugikan masyarakat, termasuk kerusakan lingkungan berarti telah terjadi kesalahan dalam prosesnya.
"Bisa juga terjadi pada sistem birokrasi yang selama ini juga bisa kita lihat sebagai pangkal permasalahannya," ungkap Sena. Dia mencontohkan sejumlah kasus pelanggaran lingkungan yang terjadi di Sumsel, seperti tanpa pengawasan dan pemberian sanksi yang ketat.
Padahal untuk sanksi itu sebetulnya telah diatur dalam berbagai beleid yang dikeluarkan pemerintah, pusat maupun daerah. Namun tetap saja, perusahaan tambang tak tergoyah.
Sejatinya, menurut Sena, kesejahteraan lingkungan dan masyarakat harus menjadi perhatian dan pedoman oleh setiap pemimpin atau kepala daerah. Karena kecenderungan investasi pada industri ekstraktif ini terjadi di daerah. Beda halnya dengan pusat yang hanya melakukan pengawasan dan tidak bersentuhan langsung dengan lingkungan dan masyarakat, serta tidak bisa menjangkau langsung untuk mengetahui situasi di lapangan.
"Sumbatan ini yang harus dibuka, misalnya perizinan dan pengawasan ditarik pusat. Untuk dana bagi hasil yang diterima daerah tidak maksimal. Nanti apabila terdapat kerusakan lingkungan, pemerintah daerah yang diminta perbaiki. Di sisi lain, karena merasa tidak bertanggung jawab, Pemda abai sehingga masyarakat lagi yang menjadi korban," ulasnya.
Mengambil contoh penelitiannya di kawasan Kabupaten Muara Enim dan Lahat, Sumsel, Sena berujar jika kebijakan pertambangan cenderung kurang berpihak kepada masyarakat pada praktiknya.
Keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat yang justru masih belum maksimal dilakukan oleh perusahaan atau pemodal, tidak sebanding dengan kerugian yang diderita masyarakat dalam jangka panjang. Tentunya hal ini, lanjut Sena bisa disebut sebagai hilangnya hak masyarakat.
“Kondisi saat ini sudah rumit. Tapi, jalan keluarnya adalah semua pihak tunduk pada aturan atau sama-sama patuh, sehingga bisa selesai masalahnya. Aturan itu tentu dibuat dengan berbagai pertimbangan, namun harus pula diingat untuk memperketat pengawasan dan akuntabilitas agar aturan itu berjalan," ujarnya.
Pemerintah sebagai regulator sekaligus sebagai pemimpin, menurut Sena harus bisa dirasakan kehadirannya oleh masyarakat. Bukan untuk saat ini, melainkan menjadi peringatan untuk masa depan ekosistem, lingkungan dan sumber daya manusia di kawasan sekitar tambang.
“Sampai saat ini tidak ada cerita tentang areal bekas tambang yang direklamasi kemudian memberi manfaat bagi masyarakat. Semua yang sudah dikeruk, rusak. Jangankan masyarakat, adakah perusahaan yang mencatat misalnya tumbuhan yang apa yang mati dari aktivitas tambang, ikan atau satwa endemik lain yang punah, apakah itu terganti? Tentu tidak, apalagi di Sumsel," tandasnya.
Soal Sungai, Ada Empat Perusahaan Tambang dalam Pengawasan
Diantara kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan adalah pencemaran dan perubahan alur Sungai. Tim Kantor Berita RMOLSumsel mencatat setidaknya ada empat perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan Muara Enim dan Lahat yang kini berada dalam pengawasan Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BBWSS) VIII Palembang.
Keempat perusahaan itu adalah PT Duta Alam Sumatera (DAS)-Sungai Larangan dan PT Bara Alam Utama (BAU)-Sungai Kungkilan yang memiliki wilayah IUP di Lahat, PT Sriwijaya Bara Priharum (SBP)-Sungai Ulang Ulang dan PT Musi Prima Coal (MPC)-Sungai Penimur yang memiliki wilayah IUP di Muara Enim. Khusus untuk PT MPC, telah diberikan sanksi paksaan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (LHP) Sumsel soal izin Amdal.
Dalam catatan BBWS VIII Palembang, perusahaan-perusahaan ini disinyalir melakukan pencemaran dan perubahan alur sungai secara ilegal. Padahal, pemerintah telah membuat aturan untuk mengatur berbagai kegiatan yang bersinggungan dengan sungai, seperti tertuang dalam PP No.38 Tahun 2011 tentang Sungai. Misalnya perizinan yang terdapat pada pasal 57 menyebutkan: (1) Setiap orang yang akan melakukan kegiatan pada ruang sungai wajib memperoleh izin; (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pelaksanaan konstruksi pada ruang sungai; b. pelaksanaan konstruksi yang mengubah aliran dan/atau alur sungai; c. pemanfaatan bantaran dan sempadan sungai; d. pemanfaatan bekas sungai; e. pemanfaatan air sungai selain untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada; f. pemanfaatan sungai sebagai penyedia tenaga air; g. pemanfaatan sungai sebagai prasarana transportasi; h. pemanfaatan sungai di kawasan hutan; i. pembuangan air limbah ke sungai; j. pengambilan komoditas tambang di sungai; dan k. pemanfaatan sungai untuk perikanan menggunakan karamba atau jaring apung.
Secara terperinci, perizinan itu diatur dalam Pasal 58, yakni: (1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; (2) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf g diberikan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah mendapat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air ; (3) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf h diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pemanfaatan aliran air dan pemanfataan air setelah mendapat rekomendasi teknis dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan kecuali untuk kawasan hutan yang pengelolaannya telah dilimpahkan kepada badan usahamilik negara di bidang kehutanan; (4) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf i dan huruf j diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, setelah mendapat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air (5) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf k diberikan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah mendapat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air.
Pada pasal 59 juga disebutkan bahwa pemegang izin kegiatan pada ruang sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 memiliki sejumlah kewajiban, yakni: a. melindungi dan memelihara kelangsungan fungsi sungai; b. melindungi dan mengamankan prasarana sungai; c. mencegah terjadinya pencemaran air sungai; d. menanggulangi dan memulihkan fungsi sungai dari pencemaran air sungai; e. mencegah gejolak sosial yang timbul berkaitan dengan kegiatan pada ruang sungai; dan f. memberikan akses terhadap pelaksanaan pemantauan, evaluasi, pengawasan, dan pemeriksaan.
Sementara dalam Pasal 60 diatur mengenai sanksi untuk pemegang izin yakni : (1) Setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dikenai sanksi administratif oleh pemberi izin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; (2) Selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila pelaksanaan kegiatan pada ruang sungai yang dilakukan oleh pemegang izin menimbulkan: a. kerusakan pada ruang sungai dan/atau lingkungan sekitarnya, wajib melakukan pemulihan dan/atau perbaikan atas kerusakan yang ditimbulkannya; dan/atau b. kerugian pada masyarakat, wajib mengganti biaya kerugian yang dialami masyarakat.
Pemerintah juga telah mengeluarkan aturan berbentuk Permen PUPR No.21 Tahun 2020 tentang Pengalihan Alur Sungai, untuk pemegang izin, pribadi, ataupun perorangan yang berencana untuk melakukan pengalihan alur sungai. Dimana dalam ketentuan umum aturan tersebut disebutkan bahwa Pengalihan Alur Sungai adalah kegiatan mengalihkan alur Sungai dengan cara membangun alur Sungai baru yang mengakibatkan alur Sungai yang dialihkan tidak berfungsi secara permanen.
Dalam ketentuan teknis mengenai Pengalihan Alur Sungai seperti dijelaskan dalam pasal 4, haruslah dilakukan dengan: a. mengutamakan perlindungan dan pelestarian fungsi Sungai; b. mempertahankan dan melindungi fungsi prasarana Sungai yang telah dibangun; c. mempertahankan keberlanjutan fungsi pengaliran Sungai; d. memperhatikan kepentingan pemakai air Sungai yang sudah ada; e. memperhatikan fungsi pengaliran Sungai ditinjau dari aspek hidrologi, hidrolika, dan lingkungan; dan f. mempertimbangkan aspek morfologi Sungai secara keseluruhan.
Berikutnya, pada Pasal 5 disebutkan pula kewajiban dalam pelaksanaan Pengalihan Alur Sungai yakni: (1) Pengalihan Alur Sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dengan kewajiban mengganti ruas Sungai yang akan dialihkan alurnya dengan ruas Sungai baru dan (2) Ruas Sungai baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memiliki luas yang sama dengan ruas Sungai yang dialihkan.
Untuk mendapatkan persetujuan, dalam Proses Pengalihan Alur Sungai maka sesuai dengan Pasal 6 butir 2, permohonan yang dimaksud harus dilengkapi dengan : a. peta lokasi Sungai yang akan dialihkan alurnya dan usulan rencana ruas Sungai baru; b. hitungan luas alur Sungai yang akan dialihkan alurnya dan luas rencana alur Sungai baru; c. hitungan aspek hidrologi dan hidrolika terhadap fungsi pengaliran Sungai sebelum dan sesudah Pengalihan Alur Sungai melalui suatu analisis model; d. hitungan pengaruh Pengalihan Alur Sungai terhadap muka air banjir di hilir lokasi pengalihan dan pengaruh penurunan dasar Sungai di hulu lokasi pengalihan terhadap kestabilan bangunan yang ada; e. desain konstruksi ruas Sungai baru; dan f. pernyataan kesanggupan untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hanya saja, dari data yang diperoleh, perusahaan yang disinyalir melakukan pelanggaran lingkungan dengan mengubah alur sungai tanpa izin ini didominasi oleh perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Apa yang dilakukan oleh perusahaan ini juga diduga melanggar ketentuan dalam UU No.17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air yang mengatur sanksi terhadap hal tersebut seperti dalam Pasal 70 disebutkan :
"Setiap orang yang dengan sengaja (a) Melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan nonkonstruksi pada Sumber Air tanpa memperoleh izin dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3); (b) Menyewakan atau memindahtangankan, baik sebagian maupun keseluruhan izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan bukan usaha atau izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4); atau (c) Melakukan penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat(2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)."
Dan dalam Pasal 74 yang berbunyi: Dalam hal tindak pidana Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha, pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana, dan/ atau pimpinan badan usaha yang bersangkutan. Pdana yang dimaksud yakni berupa : (a) Pidana denda terhadap badan usaha sebesar dua kali pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73; (b) pidana penjara terhadap pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana yang lamanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73; dan/ atau (c) Pidana penjara terhadap pimpinan badan usaha yang besarnya sama seperti yang diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73.
Meski telah dijabarkan demikian, aturan untuk setiap aktivitas usaha yang berkaitan dengan sumber daya alam di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
BBWS Sedang Proses Pengajuan Izin Tol Sungai Lematang
Jika empat perusahaan yang disebutkan sebelumnya dianggap melakukan aktivitas ilegal terkait pencemaran dan perubahan alur sungai, lain halnya dengan PT Batubara Mandiri. Perusahaan ini mengajukan rekomendasi teknis kepada BBWSS VIII Palembang, untuk melakukan perubahan alur sungai, yang punya kapasitas yang lebih luas yakni Sungai Lematang.
Sungai Lematang ini mengalir melewati lima kabupaten/kota di Sumsel , antara lain Kota Pagar Alam, Kabupaten Lahat, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Kota Prabumulih, dan Kabupaten Muara Enim. Selama ini, sungai tersebut menjadi sumber kehidupan warga.
Namun sayangnya, di sepanjang sungai ini pula berdiri sejumlah perusahaan tambang. Hanya saja, pencemaran yang terjadi diduga dilakukan oleh perusahaan tambang ini secara menahun, telah membuat kualitas air sungai ini di beberapa wilayah dianggap tidak lagi layak untuk dimanfaatkan oleh warga.
“Perusahaan sudah mengajukan rekomendasi teknis ke balai, dan sudah dilakukan pertemuan awal. Untuk pertemuan selanjutnya setelah persyaratan dilengkapi semua,” ujar Kepala BBWSS VIII Palembang, Maryadi melalui Kabid Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air (PJPA), Danwismai saat dibincangi RMOL Sumsel.id beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan, izin pemindahan atau pengalihan alur sungai nantinya akan dikeluarkan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). “Kalau balai sifatnya memberikan pertimbangan teknis sebelum izin dikeluarkan Menteri,” katanya.
Menurutnya, pertimbangan teknis yang akan dinilai sudah tercantum dalam Permen PUPR No 21 Tahun 2020 tentang Pengalihan Alur Sungai. Dimana dalam ketentuan umum aturan tersebut disebutkan bahwa Pengalihan Alur Sungai adalah kegiatan mengalihkan alur Sungai dengan cara membangun alur Sungai baru yang mengakibatkan alur Sungai yang dialihkan tidak berfungsi secara permanen.
Dalam ketentuan teknis mengenai Pengalihan Alur Sungai seperti dijelaskan dalam pasal 4, haruslah dilakukan dengan mengutamakan perlindungan dan pelestarian fungsi Sungai. Lalu, mempertahankan dan melindungi fungsi prasarana Sungai yang telah dibangun.
Mempertahankan keberlanjutan fungsi pengaliran Sungai, memperhatikan kepentingan pemakai air Sungai yang sudah ada, memperhatikan fungsi pengaliran Sungai ditinjau dari aspek hidrologi, hidrolika, dan lingkungan serta mempertimbangkan aspek morfologi Sungai secara keseluruhan.
Pengalihan alur sungai sendiri tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Menurutnya, ada beberapa aspek yang harus dipenuhi. Seperti kewajiban untuk mengganti ruas sungai yang akan dialihkan alurnya dengan ruas Sungai baru. Nah, ruas Sungai baru tersebut paling sedikit memiliki luas yang sama dengan ruas Sungai yang dialihkan.
Perusahaan, badan maupun perorangan yang ingin harus melengkapi berbagai syarat. Seperti mengajukan peta lokasi Sungai yang akan dialihkan alurnya dan usulan rencana ruas Sungai baru, hitungan luas alur Sungai yang akan dialihkan alurnya dan luas rencana alur Sungai baru, hitungan aspek hidrologi dan hidrolika terhadap fungsi pengaliran Sungai sebelum dan sesudah Pengalihan Alur Sungai melalui suatu analisis model.
Kemudian, hitungan pengaruh Pengalihan Alur Sungai terhadap muka air banjir di hilir lokasi pengalihan dan pengaruh penurunan dasar Sungai di hulu lokasi pengalihan terhadap kestabilan bangunan yang ada, desain konstruksi ruas Sungai baru serta pernyataan kesanggupan untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menariknya, yang diajukan oleh perusahaan ini bukan sekadar perubahan alur sungai biasa, melainkan perubahan alur sungai untuk dibuat Tol Sungai. Secara umum, alur sungai yang berliku sepanjang sekitar 540 kilometer ini akan dibuat lurus di beberapa bagian sehingga memudahkan proses pengangkutan batubara, sekaligus memangkas waktu pengangkutan dari yang terjadi selama ini.
“Kalau soal perencanannya itu (tol sungai) dari pengusul. Baru nantinya akan dibahas secara teknis oleh tim rekomtek yang ada di balai,” kilahnya.
Tidak Hanya Merugikan Lingkungan Tetapi Juga Perubahan Iklim dan Masa Depan
Sudut pandang berbeda ditambahkan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumsel, Hairul Sobri terkait masifnya aktivitas pertambangan batubara ini. Tidak hanya merusak lingkungan, proses dari hulu hingga hilirisasi batubara ini berdampak pada perubahan iklim dan masa depan manusia, khususnya masyarakat Sumsel.
"Saat mulai eksplorasi, ada penggalian yang berarti pembukaan lahan secara luas sehingga menimbulkan deforestasi. Kita kehilangan hutan dalam jumlah besar dan tentunya ini berdampak pada perubahan iklim,"kata Sobri.
Meski deforestasi dan perubahan iklim ini telah dinarasikan di berbagai tingkatan dan daerah, namun pemerintah dan perusahaan masih terkesan abai. Sehingga pihaknya terus berupaya mengampanyekan isu ini di wilayah Sumsel.
“Belum lagi pelepasan gas yang terjadi di areal pertambangan. Kondisi inilah yang membuat industri tambang ini menjadi penyumbang emisi gas terbesar di Sumsel,” jelasnya.
Sehingga pihaknya berpendapat jika komitmen pemerintah untuk mengurangi efek rumah kaca berbanding terbalik dengan kondisi yang ada di lapangan. Apalagi di Sumsel, yang menurutnya masih belum dikelola dengan wawasan lingkungan yang maksimal. "Komitmen ini hanya janji palsu," tegasnya.
Ditambahkan Manager Kampanye Ekosistem Esensial Walhi Sumsel, Puspita Indah Sari, pembangunan sejumlah PLTU di Sumsel dalam kurun waktu beberapa waktu terakhir juga memberi celah bagi industri ekstraktif ini untuk terus merusak lingkungan.
Padahal, berbagai dampaknya sudah dirasakan dan dikeluhkan oleh masyarakat yang tidak bisa berbuat apa-apa. Diantara yang terdampak adalah suhu di wilayah Sumsel yang meningkat pada musim kemarau dan banjir di musim penghujan.
"Dampak besar perubahan iklim ini dirasakan oleh petani di daerah, di kota banjir terus meluas. Dampak besar ini seharusnya membuat pemerintah mulai berpikir untuk beralih dari energi kotor ini," tandasnya.
- KAWALI Sumsel Desak APH Usut Kasus RKAB Palsu Putra Hulu Lematang
- Dana Besar Diduga Mengalir dalam Kongkalikong Perizinan RMK Energy, Siapa Menikmati?
- Tak Hanya Karhutla, Kabut Asap di Sumsel juga Disumbang dari Aktivitas Swabakar Batubara