Datangi Polda Sumsel, Massa Aksi Minta Polisi Usut Dugaan Korupsi di PT Pusri

Puluhan massa melakukan aksi demonstrasi
Puluhan massa melakukan aksi demonstrasi

Puluhan massa yang tergabung dalam Badan Peneliti Independen Kekayaan Penyelenggara Negara dan Pengawasan Anggaran Republik Indonesia Dewan Perwakilan Daerah Sumatera Selatan (BPI KPNPA RI DPW Sumsel) melakukan aksi demonstrasi di Mapolda Sumatera Selatan, Kamis (21/3).


Mereka mendesak pihak kepolisian untuk mengusut dugaan korupsi yang terjadi di PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) Palembang. Ketua BPI KPNPA RI DPW Sumsel, Feriyandi mengatakan aparat penegak hukum diminta untuk menyelidiki dugaan korupsi yang  terjadi di perusahaan BUMN tersebut.

Dia menjelaskan  PT Pusri Palembang menerbitkan Surat Keputusan Direksi PT PSP No. SK/DIR/432/2014 tanggal 18 Desember 2014 tentang Otorisasi Bidang Keuangan PT PSP, sebagaimana diperbaharui dengan Surat No. SK/094/2015 tanggal 12 Maret 2015 dan No. SK/D1R/302/2015 tanggal 11 Agustus 2015.

Peraturan tersebut mengatur wewenang pejabat terkait otorisasi dokumen keuangan. peruntukan dana beserta ketentuan pertanggungjawaban dana, termasuk di dalamnya ketentuan pengajuan dan pertanggungjawaban persekot (uang muka).

Selama tahun 2018, pencairan persekot sesuai pengajuan masing-masing unit kerja adalah sebesar Rp.29.760.65 1.366.00. Persekot, sesuai dengan SK/DIR/432/2014 hanya dapat digunakan untuk kegiatan yang belum dilaksanakan, mendesak. sulit diprediksi nilai/jumlah kebutuhan yang sebenarnya. Atau pembayaran biaya operasional rutin yang harus dibayar lebih dahulu untuk kemudian mendapatkan bukti sah.

"Menurut Pihak Auditorat, Persekot Belum Dipertanggungjavvabkan Sebesar Rp.6.288.244.928,00. Persyaratan pengajuan persekot adalah menyerahkan izin prinsip (oleh pejabat sesuai wewenang otorisasi) disertai dengan rincian item rencana penggunaan dana,” katanya.

Lebih lanjut dikatakan Feri, Sesuai SK/DIR/432/2014, persekot yang dicairkan harus dipertanggungjawabkan maksimal 30 hari. dan apabila melebihi 30 hari akan menjadi utang pribadi pemegang persekot.

Berdasarkan data serta dokumen pencairan dan pertanggungjawaban persekot sampai dengan 31 Desember 2018, masih terdapat saldo persekot yang belum dipertanggungjawabkan sebesar Rp.11.165.813.645,00. Terdiri dari persekot tahun 2018 sebesar Rp.10.941.953.645.00 dan persekot tahun 2017 sebesar Rp.223.860.000,00.

Sampai dengan tanggal 12 Maret 2019 (tanggal pemeriksaan lapangan), saldo persekot yang belum dipertanggungjawabkan adalah sebesar Rp6.288.244.928.00, terdiri dari persekot tahun 2018 sebesar Rp.6.066.134.928,00 dan persekot tahun 2017 sebesar Rp.222.1 10.000,00.

"Meski telah melampaui 30 hari. Persekot tersebut antara lain digunakan untuk pembelian bahan, perlengkapan, penghargaan. biaya acara perusahaan dan kepentingan operasional umum PT PSP lainnya. Dalam hal ini, penggunaan persekot tidak sepenuhnya sesuai peruntukan vang ditetapkan pada SK/DIR/432/2014. Disini kami menduga ada potensi korupsi," katanya.

Selain itu juga BPK RI menemukan keterlambatan pertanggungjawaban persekot sebesar Rp.21.875.923.278,00 Pada tahun 2018 total pertanggungjawaban persekot adalah sebesar Rp.21.160.065.099.00, yang terdiri dari pertanggungjawaban persekot tahun 2018 sebesar Rp.1 7.744.624.974,00 dan tahun 2017 sebesar Rp.3.415.440.125,00. Pada tahun 2019 (sampai dengan 12 Maret 2019) terdapat pertanggungjawaban sebesar Rp.3.840.032.717.00.

Atas pertanggungjawaban persekot tersebut terdapat keterlambatan dengan rentang antara 31 sampai dengan 575 hari. Nilai persekot yang terlambat dipertanggungjawabkan adalah sebesar Rp.21.875.923.278,00, yaitu pertanggungjawaban tahun 2018 sebesar Rp17.058.791.68 1,00 dan tahun 2019 sebesar Rp4.817.13 1 .597.00.

Menurut keterangan pemegang persekot, pengelolaan persekot dilakukan oleh staf pada unit kerja yang berkepentingan dan dimonitor oleh pimpinan unit kerja. Pertanggungjawaban disusun setelah kegiatan selesai dilaksanakan dan pembayaran telah dipenuhi.

Salah satu hambatan proses pertanggungjawaban persekot adalah ketentuan persetujuan berjenjang dan juga adanya invoice yang belum lengkap (misal kuitansi yang salah. Faktur pajak yang belum tersedia. dll).

Jika melihat rentang waktu keterlambatan pertanggungjawaban yang berkisar di atas satu bulan sampai lebih dari satu tahun, alasan proses persetujuan secara berjenjang terlalu jauh dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam SK/DIR/432/20 14. Batas waktu yang ditetapkan dalam ketentuan tersebut seharusnya telah mengakomodir seluruh tahapan pertanggungjawaban.

Manajemen PT PSP selama ini memberikan kesempatan bagi karyawan/pemegang persekot untuk mempertanggungjawabkannya meskipun sudah melewati batas akhir, dan tidak menerapkan sanksi pembebananpiutang kepada yang bersangkutan.

Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-01/MBU/201 1 yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : Per-09/MBU/2012 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance!GCG) pada BUMN.

Serta surat Keputusan Direksi PT PSP No. SK/D1R/432/2014 tanggal 18 Desember 2014 tentang Otorisasi Bidang Keuangan PT PSP lampiran 12 terkait Wewenang Pejabat untuk Mengajukan dan Menyetujui Persekot Non SPPD.

Kondisi tersebut mengakibatkan potensi penyalahgunaan atas persekot yang belum dipertanggungjawabkan sebesar Rp.7.325.780.928,00 dan Biaya yang di-accrue dalam laporan keuangan atas persekot yang belum dipertanggungjawabkan tidak berdasarkan dokumen/bukti realisasi yang jelas serta Potensi kesalahan pembebanan atas persekot yang belum dan terlambat dipertanggungjawabkan.

Atas hal tersebut Direksi PT PSP menyampaikan kepada BPK RI, bahwa pihaknya sepakat dengan temuan BPK. Pihaknya menjelaskan bahwa Divisi Administrasi Keuangan belum melakukan pemotongan penghasilan para pemegang persekot karena masih menunggu konfirmasi dan kelengkapan dokumen pertanggungjawaban dari yang bersangkutan.

Divisi Keuangan telah membuat surat ke pemegang persekot yang belum mempertanggungjawabkan pada tanggal 29 Maret 2019 bahwa pihaknya akan melakukan pemotongan penghasilan secara bertahap mulai April 2019.

BPK merekomendasikan Direksi PT PSP agar memerintahkan GM Administrasi Keuangan untuk  Memerintahkan pemegang persekot untuk segera mempertanggungjawabkan persekot sebesar Rp.6.288.244.928.00.

Memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Superintendent Akuntansi Utang dan Piutang supaya lebih tertib dalam membukukan piutang kepada pemegang persekot yang terlambat mempertanggungjawabkan dan Lebih optimal dalam melakukan pengawasan dan pengendalian persekot.

“Oleh sebab itu kami meminta aksi demonstrasi untuk meminta Kapolda Sumsel mengusut dugaan-dugaan yang kami sampaikan demi menyelamatkan keuangan Negara," pungkasnya.