Aktivis Lingkungan Ragukan Kinerja Dinas LHP Sumsel, Perusahaan Pelanggar Lingkungan Dapat Proper Biru Kementerian LHK

Ilustrasi sungai. (ist/rmolsumsel.id)
Ilustrasi sungai. (ist/rmolsumsel.id)

Diantara kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan di Sumsel adalah pencemaran dan perubahan alur Sungai yang dilakukan oleh PT Sriwijaya Bara Priharum.


Saat ini, sanksi yang diberikan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BBWSS) VIII Palembang untuk perusahaan tambang tersebut telah sampai di meja Menteri PUPR. 

Pemberian sanksi ini, didasarkan pada temuan BBWSS VIII Palembang yang melakukan pemeriksaan di lapangan beberapa waktu lalu, tepatnya pada 2019 silam. Dimana PT Sriwijaya Bara Priharum telah memindahkan alur sungai tanpa izin dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Akibat perubahan alih fungsi sungai ini, disinyalir terjadi perubahan ekosistem sehingga sungai tidak bisa lagi dimanfaatkan oleh masyarakat. 

Lebih parahnya lagi, bencana alam seperti banjir dan kerusakan lingkungan lain yang disebabkan oleh perubahan alih fungsi sungai ini mengancam kehidupan masyarakat sekitar perusahaan. 

Selain sanksi awal tersebut, pada 29 Juni 2021 BBWSS VIII juga mengeluarkan surat bernomor SA. 0203-AH/393 yakni Teguran untuk Mengembalikan Fungsi Sungai Ulang-Ulang, ditandatangani oleh Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera VIII, Birendrajana saat itu. Namun, di tahun yang sama, PT Sriwijaya Bara Priharum ternyata masuk dalam penilaian yang dilkukan oleh Kementerian LHK untuk mendapatkan proper biru. 

Berdasarkan penelusuran Kantor Berita RMOLSumsel, proper adalah Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan yang dikembangkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) sejak tahun 1995, untuk mendorong perusahaan meningkatkan pengelolaan lingkungannya. 

Dari penilaian proper, perusahaan akan memperoleh citra/reputasi sesuai bagaimana pengelolaan lingkungannya. Citra tersebut dinilai dengan warna emas, hijau, biru, merah dan hitam. Proper emas merupakan proper yg terbaik, berturut-turut sampai proper merah dan hitam yang paling rendah.

Pada tahun 2021, Kementerian LHK memberikan penilaian terhadap kinerja pengelolaan lingkungan hidup perusahaan tahun 2021 dilakukan terhadap 2.593 (Dua Ribu Lima Ratus Sembilan Puluh Tiga) perusahaan yang terdiri dari 299 jenis industri. 

Hasil evaluasi menunjukkan tingkat ketaatan 75 persen dengan raihan peringkat sebagai berikut: Hitam: 0 Perusahaan; Merah: 645 Perusahaan; Biru: 1670 Perusahaan; Hijau: 186 Perusahaan; dan Emas: 47 Perusahaan. Termasuk 45 (Empat puluh lima) perusahaan tidak beroperasi/sedang dalam penegakan hukum/ penangguhan.

Satu diantara perusahaan yang mendapat proper biru itu adalah PT Sriwijaya Bara Priharum. Sementara proper biru artinya adalah perusahaan Telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku (telah memenuhi semua aspek yang dipersyaratan oleh KLH). 

Diantaranya Penilaian Tata Kelola Air; Penilaian Kerusakan Lahan; Pengendalian Pencemaran Laut; Pengelolaan Limbah B3; Pengendalian Pencemaran Udara; Pengendalian Pencemaran Air; dan Implementasi AMDAL. Selain PT Sriwijaya Bara Priharum, PT Bara Alam Utama yang berlokasi di Lahat dan juga bergerak dalam aktivitas pertambangan juga mendapatkan peringkat yang sama meski tecatat ikut melakukan perubahan alur sungai. (Baca: Sanksi Sriwijaya Bara Priharum Sudah Diterima Menteri PUPR, Bisa Dipidanakan? )

Dengan kata lain, sanksi dari BBWS Wilayah VIII (kementerian PUPR) diabaikan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Sumsel sebagai perpanjangan tangan Kementerian LHK dalam penilaian pemberian peringkat proper yang telah dirilis pada awal Januari 2022 lalu, sesuai dengan SK.1307/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2021 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2020-2021. 

Petikan SK.1307/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2021 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2020-2021. (rmolsumsel)

Pengabaian sanksi terhadap perusahaan dalam penilaian proper inilah yang dipertanyakan dan diragukan oleh aktivis lingkungan hidup WALHI Sumsel. Seperti yang diungkapkan Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Yuliusman kepada Kantor Berita RMOLSumsel. 

Menurutnya, publik harus mengetahui secara rinci mengapa PT Sriwijaya Bara Priharum dan PT Bara Alam Utama mendapatkan proper biru tersebut. Yus-sapaan akrabnya mengatakan setidaknya terdapat dua persyaratan yang harus menjadi perhatian apabila berbicara mengenai lingkungan, yakni syarat soal ketaatan dan persyaratan lebih dari apa yang disyaratkan. 

"Mengenai syarat ketaatan, harus dilihat sudah sejauh mana perusahaan tersebut sudah mentaati atau menjalankan aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat yang biasanya tertuang dalam dokumen AMDAL perusahaan tersebut," ungkapnya.

Sedangkan untuk syarat yang kedua yakni persyaratan lebih dari yang disyaratkan, proses penilaian yang dilakukan harus pula melihat apakah perusahaan tersebut sudah meminta masukan kepada pihak lain seperti masyarakat sekitar lokasi, LSM atau NGO, serta akademisi terkait proses pelaksanaannya dengan dampak terhadap lingkungan. “Ini penting diketahui publik, sudah dilakukan atau belum?" katanya mempertanyakan. 

Sehingga dengan keterbukaan yang dilakukan oleh Dinas LHP Sumsel ataupun pada puncaknya Kementerian LHK terhadap publik, maka barulah penilaian proper biru yang diberikan tersebut bisa dinilai layak atau tidak. Sebab, selama ini terkait dokumen AMDAL ataupun dokumen terkait dari perusahaan selalu tertutup dan terkesan ditutup-tutupi. 

Yus menuturkan proper biru yang diberikan lewat penilaian itu harus terkonfirmasi dan sesuai dengan fakta di lapangan. Sehingga, secara tegas Walhi Sumsel menilai dua perusahaan ini belum layak mendapatkan proper biru tersebut.

Di sisi lain, proses penilaian yang dilakukan oleh Dinas LHP Sumsel ataupun Kementerian LHK ini menggunakan anggaran negara yang tentu berujung sia-sia, apabila menetapkan pelanggar lingkungan sebagai penerima proper biru. 

“Tentunya kita semua tahu mereka ini lingkaran korporasi yang bergerak di bisnis ekstraktif yang (jelas) merusak (lingkungan),” cetusnya.

Dugaan kongkalikong menguat, yang tentunya meruntuhkan citra pemerintah apabila memberikan penilaian yang tidak sesuai. Belum lagi berbicara mengenai penganggaran yang sia-sia tadi, maka apa yang dilakukan oleh Dinas dan Kementerian bisa dikategorikan pula sebagai tidak cermat dalam penggunaan anggaran dan penyalahgunaan kewenangan yang merujuk pada UU No.20 tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Apa yang disampaikan Yus ini, seiring pula dengan komitmen pemerintah sesuai dengan Perpres No.59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang saat ini lazim disebut Sustainable Development Goals (SDGs).

"Sebagai negara anggota G20, kita memiliki tanggung jawab menjadi katalis global untuk mengatasi tantangan lingkungan dan pemulihan berkelanjutan melalui contoh-contoh konkrit," kata Menteri LHK Siti Nurbaya, beberapa waktu lalu. 

Sehingga secara keseluruhan, penilaian proper yang dilakukan oleh Dinas LHP Sumsel cenderung tidak sesuai dengan garis besar tujuan dan komitmen pemerintah itu sendiri.