Sanksi Sriwijaya Bara Priharum Sudah Diterima Menteri PUPR, Bisa Dipidanakan?

Ilustrasi: Stockpile PT MPC yang berada di tepi Sungai Lematang. (rmolsumsel.id)
Ilustrasi: Stockpile PT MPC yang berada di tepi Sungai Lematang. (rmolsumsel.id)

Sanksi yang diberikan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BBWSS) VIII Palembang untuk perusahaan tambang PT Sriwijaya Bara Priharum sudah sampai ke meja Menteri PUPR. Hal ini terkait dugaan pencemaran dan perubahan alur Sungai Ulang Ulang di areal IUP perusahaan di Desa Penyandingan, Kecamatan Tanjung Agung, Muara Enim  


“Sesuai dengan ketentuan dan petunujuk yang ada kami telah melakukan teguran secara tertulis dan semua kasus tersebut telah kami laporkan kepada Menteri PUPR melalui Dirjen Sumber Daya Air,” kata Kepala BBWSS VIII Palembang, Maryadi Utama melalui Kabid OP, Arlinsyah kepada Kantor Berita RMOLSumsel, Kamis (24/3).

Pemberian sanksi ini, didasarkan pada temuan BBWSS VIII Palembang yang melakukan pemeriksaan di lapangan beberapa waktu lalu. Dimana PT Sriwijaya Bara Priharum telah memindahkan alur sungai tanpa izin dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga saat ini pihaknya masih menunggu proses dan petunjuk lebih lanjut sejak sanksi itu diterima. 

Seperti diberitakan sebelum ini, aktivitas perusahaan ini diduga menyalahi aturan dan melanggar lingkungan. Atas dasar itulah BBWSS VIII Palembang sempat memberikan teguran lewat surat bernomor SA 02-03-AH/393 pada 2021 lalu. Fakta di lapangan, telah terjadi longsoran pada galian yang terletak di pinggir lahan konsesi tambang PT SBP sepanjang sekitar 30 meter. Longsoran ini menyebabkan aliran air yang ada dalam galian masuk ke lahan tersebut. Nah dengan terputusnya aliran air ini, menyebabkan berkurangnya debit air Sungai Ulang Ulang. 

"Sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada kami sebagai instansi pengelola sumber daya air di Provinsi Sumsel, maka kami tetap berkomitmen untuk tetap menjaga sumber daya air berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti konservasi sumber daya air dan daya rusak air," jelasnya. 

Pemerintah sebetulnya telah mengeluarkan aturan berbentuk Permen PUPR No.21 Tahun 2020 tentang Pengalihan Alur Sungai, untuk pemegang izin, pribadi, ataupun perorangan yang berencana untuk melakukan pengalihan alur sungai. Dimana dalam ketentuan umum aturan tersebut disebutkan bahwa Pengalihan Alur Sungai adalah kegiatan mengalihkan alur Sungai dengan cara membangun alur Sungai baru yang mengakibatkan alur Sungai yang dialihkan tidak berfungsi secara permanen.

Dalam ketentuan teknis mengenai Pengalihan Alur Sungai seperti dijelaskan dalam pasal 4, haruslah dilakukan dengan: a. mengutamakan perlindungan dan pelestarian fungsi Sungai; b. mempertahankan dan melindungi fungsi prasarana Sungai yang telah dibangun; c. mempertahankan keberlanjutan fungsi pengaliran Sungai; d. memperhatikan kepentingan pemakai air Sungai yang sudah ada; e. memperhatikan fungsi pengaliran Sungai ditinjau dari aspek hidrologi, hidrolika, dan lingkungan; dan f. mempertimbangkan aspek morfologi Sungai secara keseluruhan.

Berikutnya, pada Pasal 5 disebutkan pula kewajiban dalam pelaksanaan Pengalihan Alur Sungai yakni: (1) Pengalihan Alur Sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dengan kewajiban mengganti ruas Sungai yang akan dialihkan alurnya dengan ruas Sungai baru dan (2) Ruas Sungai baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memiliki luas yang sama dengan ruas Sungai yang dialihkan.

Untuk mendapatkan persetujuan, dalam Proses Pengalihan Alur Sungai maka sesuai dengan Pasal 6 butir 2, permohonan yang dimaksud harus dilengkapi dengan : a. peta lokasi Sungai yang akan dialihkan alurnya dan usulan rencana ruas Sungai baru; b. hitungan luas alur Sungai yang akan dialihkan alurnya dan luas rencana alur Sungai baru; c. hitungan aspek hidrologi dan hidrolika terhadap fungsi pengaliran Sungai sebelum dan sesudah Pengalihan Alur Sungai melalui suatu analisis model; d. hitungan pengaruh Pengalihan Alur Sungai terhadap muka air banjir di hilir lokasi pengalihan dan pengaruh penurunan dasar Sungai di hulu lokasi pengalihan terhadap kestabilan bangunan yang ada;  e. desain konstruksi ruas Sungai baru; dan f. pernyataan kesanggupan untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apa yang dilakukan oleh perusahaan ini juga diduga melanggar ketentuan pidana dalam UU No.17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air yang mengatur sanksi terhadap hal tersebut seperti tertuang dalam pasal 68 dimana Setiap Orang yang dengan sengaja: a. melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan Sumber Air dan prasarananya dan/atau pencemaran Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dan huruf d; atau b. melakukan kegiatan yang mengakibatkan terjadinya Daya Rusak Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000. 000,00 (lima belas miliar rupiah).

Juga dalam Pasal 70 disebutkan : "Setiap orang yang dengan sengaja (a) Melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan nonkonstruksi pada Sumber Air tanpa memperoleh izin dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3); (b) Menyewakan atau memindahtangankan, baik sebagian maupun keseluruhan izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan bukan usaha atau izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4); atau (c) Melakukan penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat(2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)."

Sedangkan dalam Pasal 74 disebutkan : Dalam hal tindak pidana Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha, pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana, dan/ atau pimpinan badan usaha yang bersangkutan. Pdana yang dimaksud yakni berupa : (a) Pidana denda terhadap badan usaha sebesar dua kali pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73; (b) pidana penjara terhadap pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana yang lamanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73; dan/ atau (c) Pidana penjara terhadap pimpinan badan usaha yang besarnya sama seperti yang diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73.

Meski telah dijabarkan demikian, aturan untuk setiap aktivitas usaha yang berkaitan dengan sumber daya alam di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Penjabaran mengenai pelanggaran yang diduga dilakukan oleh PT Sriwijaya Bara Priharum ini memungkinkan untuk aparat penegak hukum untuk melakukan penindakan.