Terdakwa kasus dugaan korupsi dana hibah Masjid Raya Sriwijaya dan PDPDE, Muddai Madang divonis hukuman sama dengan rekannya Alex Noerdin, selama 12 tahun penjara, Kamis (16/6/2022). Namun, Muddai Madang harus membayar uang pengganti sebesar 36 miliar rupiah.
- Mahkamah Agung Tolak Kasasi Mantan Direktur PDPDE Sumsel
- Kuasa Hukum Alex Noerdin Resmi Daftarkan Kasasi
- Tidak Puas Banding, Mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin Kembali Ajukan Kasasi
Baca Juga
Vonis terhadap Muddai Madang tersebut diketahui dalam sidang virtual yang diketuai oleh hakim Yoserizal SH MH, di Pengadilan Tipikor Palembang, Rabu (15/6/2022) malam hari.
Dalam amar putusannya, majelis hakim pengadilan tipikor Palembang menjatuhkan vonis pada terdakwa Muddai Madang, dengan hukuman selama 12 tahun penjara, denda 5 Miliar rupiah, dengan subsidair 1 tahun kurungan, dalam perkara dugaan korupsi pembelian gas bumi pada Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE), Masjid Sriwijaya dan TPPU.
"Serta menjatuhkan hukuman berupa membayar uang pengganti sebesar 36 miliar rupiah. Dengan ketentuan apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar maka setelah putusan ini telah berkekuatan hukum tetap maka diganti dengan hukuman selama 5 tahun," ujar hakim dalam sidang.
Majelis hakim menilai, bahwa perbuatan terdakwa Muddai Madang telah terbukti memenuhi unsur memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi.
Atas perbuatan terdakwa Muddai Madang dalam pengalihan pengelolaan hak PDPDE Sumsel ke PDPDE Gas terbukti secara sah bersalah dan menyakinkan bersama-sama Caca Isa Saleh dan A Yaniarsah memperkaya diri sendiri telah menerima uang secara tidak sah dari penjualan gas yang menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp.2.131.250.000 dan 30,2 juta USD Amerika Serikat.
Sementara hal-hal yang memberatkan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berbeda dengan Alex Noerdin yang langsung menyatakan banding atas vonis hakim. Muddai Madang dari layar monitor justru mengambil sikap menyatakan pikir-pikir.
"Terima kasih izin yang mulia, saya akan pikir-pikir dahulu atas putusan tersebut, walaupun saya tidak puas, akan tetapi dalam waktu 2 sampai 3 hari melalui penasehat hukum. Saya akan menentukan sikap apakah menerima putusan atau banding," jawabnya.
Sikap yang sama juga diambil dari terdakwa Caca Isa Shaleh dan Ahmad Yaniarsyah. Berbeda dengan Muddai Madang dan Alex Noerdin yang dijatuhi vonis 12 tahun penjara, Caca Isa dan Ahmad Yaniarsyah mendapatkan vonis hukuman 11 tahun penjara.
Dua terdakwa dijatuhi vonis tersebut, karena majelis hakim berpendapat keduanya telah terbukti melanggar Pasal dakwaan pertama dan ketiga JPU Kejaksaan Agung RI diantaranya Pasal 2 ayat (1) Juncto Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Selain menjatuhkan vonis pidana pokok, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan kepada para terdakwa berupa wajib mengganti uang kerugian negara yang nilainya untuk terdakwa Caca Isa Saleh sebesar Rp4,6 miliar, dengan ketentuan apabila tidak sanggup membayar maka diganti dengan pidana tambahan 2 tahun penjara. Sementara Ahmad Yaniarsyah Hasan juga dikenakan denda sebesar Rp 4 Miliar, dan membayar uang pengganti sebesar Rp10 Miliar.

Ahmad Yaniarsyah Hasan sangat menyesalkan vonis hakim yang diberikan kepadanya, karena mengabaikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan mengesampingkan pendapat saksi ahli guru-guru besar dan ahli-ahli hukum dari UI, UGM, UII, USU dan Universitas Al-Azhar.
Dengan santun dia menyatakan pikir-pikir atas vonis yang dijatuhkan hakim kepadanya, karena berdasarkan fakta persidangan tak ada uang negara yang dikorupsi, dan ia mengikuti tata kelola perusahaan yang baik sesuai prinsip good governance.
“Terimakasih Yang Mulia Majelis Hakim, yang telah menghukum saya, sebagai investor, orang yang tidak bersalah, semua kegiatan bisnis saya legal, diikat oleh kontrak dan mendapat pengesahan negara. Saya pikir-pikir dulu untuk menyikapi putusan ini, diskusi dengan keluarga dan penasihat hukum saya,” ucap Yaniarsyah.
Kuasa Hukum Ahmad Yaniarsyah Hasan, Ifdhal Kasim SH LLM mengatakan, pertimbangan majelis hakim tidak didasarkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan.
Menurut Ifdhal, terlihat sekali, subjektivitas hakim sangat tinggi. Penalaran majelis terlihat mengikuti dakwan Jaksa Penuntut Umum. “Putusannya podo wae dengan dakwan Jaksa,” ujar Ifdhal Kasim.
“Kami tidak sependapat dengan majelis hakim. Oleh karena itu, kami tidak menerima putusan itu dan siap menyatakan banding,” kata Ifdhal Kasim, kepada media ini sesaat setelah sidang selesai.
Advokat Aristo Seda, SH menambahkan, hakim tidak boleh menggunakan keyakinannya dengan mengabaikan fakta hukum. Begitu banyak keterangan saksi yang dikesampingkan hakim dalam memutuskan perkara PDPDE Sumsel.
Harusnya, tambah Aristo, keyakinan hakim dalam memutuskan perkara aquo harus berpegang teguh pada fakta-fakta yg terungkap di dalam persidangan bukan menurut asumsi-asumsi (prejudice) yang dibangun oleh Penuntut Umum. “Judex debet judicare secundum allegata et probata. Hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta. Tetapi apapun itu kita harus tetap menghormati Putusan hakim. Hakim adalah hukum yang berbicara, judex set lex laguelns,” imbuhnya.
- Ijazah Jokowi akan Terus Diragukan Sampai Bukti Asli Dipamerkan
- Aktivis Siap Geruduk UGM Tagih Keaslian Ijazah Jokowi
- UGM Klaim Ijazah dan Skripsi Jokowi Asli