Sederet Fakta Kredit Sindikasi BSB yang Diduga Bermasalah, Dinilai Tak Punya Ikatan Emosional Untuk Membangun Sumsel

Kantor Bank Sumsel Babel Jakabaring. (ist/rmolsumsel.id)
Kantor Bank Sumsel Babel Jakabaring. (ist/rmolsumsel.id)

Mencuatnya dugaan kredit sindikasi fiktif Bank Sumselbabel, menguak fakta lain operasional perusahaan yang memiliki motto mitra anda membangun daerah ini. 


Koordinator K-MAKI Sumsel, Feri Kurniawan yang dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel mengatakan setidaknya terdapat lima catatan penting terkait bank yang sebelumnya juga sempat dihempas isu manipulasi hasil RUPS ini. 

Pertama, kredit sindikasi yang diberikan sejak beberapa tahun terakhir ke luar daerah Sumsel dan Babel justru kontraproduktif dengan tagline yang dimiliki. Kredit sindikasi yang sebelumnya diakui oleh BSB mencapai Rp3,2 Triliun yang telah diberitakan sebelumnya itu bahkan diduga Feri lebih besar, mencapai Rp 5 Triliun. 

BSB menurut Feri seharusnya hadir untuk lebih dulu memajukan dan berkontribusi dalam kemajuan daerah sendiri, sebelum kemudian melakukan ekspansi ke daerah lain. Hal ini menunjukkan, secara tidak langsung, BSB juga dinilainya tidak mendukung pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. 

“Pada kenyataannya, dukungan terhadap daerah lain itu bermasalah, terindikasi fiktif,” ungkapnya. Terlebih BSB sudah cukup akrab dengan permasalahan kredit fiktif. (Baca: https://www.rmolsumsel.id/pj-gubernur-panggil-direksi-bsb-buntut-kredit-sindikasi-triliunan-rupiah-ke-luar-daerah)

Kedua, dana kredit sindikasi yang digelontorkan oleh BSB itu menurut Feri adalah dana yang diperoleh dari masyarakat Sumsel dan Babel. Berdasarkan informasi, sampai tengah tahun 2023, dana pemerintah Sumsel dan Babel yang ditempatkan di BSB sebesar Rp7,7 Triliun, sementara dana milik masyarakat yang ditempatkan sebesar Rp19 Triliun.  

“Sehingga sudah menjadi tanggung jawab dari BSB untuk memajukan daerahnya (Sumsel dan Babel) terlebih dulu,” katanya.

Terlebih jika melihat porsi kredit yang diberikan oleh BSB di waktu yang sama, kredit sindikasi sudah mendapatkan porsi yang lebih besar daripada kredit UMKM. BSB diketahui telah menyalurkan lebih dari Rp22,8 triliun kredit yang terdiri dari Rp15,5 triliun Kredit produktif dan Rp7,5 triliun Kredit Produktif.

Kredit produktif itu dirincikan Rp3 triliun untuk kredit ritel dan Rp3,7 triliun untuk kredit sindikasi. Hal ini menjelaskan bahwa pemberian kredit sindikasi itu tidak sesuai dengan misi BSB untuk memajukan dan mengutamakan UMKM. 

“Asumsinya kalau kredit triliunan itu dibagikan kepada UMKM, dengan minimal kredit 100 juta saja, maka sudah puluhan ribu UMKM di Sumsel dan Babel yang bisa hidup. Artinya ini hanya kepentingan korporasi besar dan mungkin saja kami duga oknumpejabat di lingkungan BSB,” jelas Feri. 

Selanjutnya menurut Feri adalah mengenai resiko kerugian bank ditambah dengan jangka waktu pemberian kredit yang sangat panjang. Misalnya, bunga kredit sindikasi ini bervariasi antara 3,5%, 4,5%, 5,5%, 6,5%, 7,7%, 9,5%, 10,5% per tahun dan paling tinggi 12,5% per tahun. Sementara bunga kreclit kepada nasabah kredit biasa diketahui sebesar 6% dan 13% per tahun.

"Apabila selisih bunga rata rata sekitar 3 persen itu dikaitkan dengan  plafond kredit sindikasi sebesar Rp5 triliun berarti terdapat potensi kerugian bank sebesar 3 persen dikali Rp5 triliun, artinya Rp150 miliar per tahun,” jelas Feri.

Itupun belum ditambah dengan jangka waktu jatuh tempo kredit yang diantaranya mencapai tahun 2037 atau 14 tahun lagi. Sehingga BSB dinilai tidak melakukan kajian dan analisis terhadap perkembangan ekonomi regional dan nasional untuk pemberian kredit bernilai triliunan ini.

Profil Direktur Utama dan Direktur Bisnis Bank Sumse Babel. (repro/rmolsumsel.id) 

Feri mewajarkan hal ini, sebab menurutnya tidak ada sama sekali keterikatan antara Direktur Utama BSB saat ini, Ahmad Syamsudin dengan Sumsel. Pria kelahiran Jakarta ini besar di Bank Mandiri sebelum kemudian menangani bank milik pemprov Sumsel dan Babel.

"Begitupun Direktur Bisnis yang sama sekali bukan orang Sumsel, sehingga wajar pengembangan selalu ke luar daerah. Mereka ini tidak punya keterikatan emosional untuk membangun Sumsel," jelasnya. Hal inilah yang menurut Feri menjadi kesimpulan dalam permasalahan operasional BSB. Diluar dugaan kongkalikong untuk menguntungkan orang atau kelompok tertentu saja. 

"Buktinya komisaris juga tidak bertindak atau mengingatkan dalam hal ini. Permasalahan di BSB ini juga harusnya sudah ditindaklanjuti OJK dan pihak berwenang. Kalau seperti ini terus dan dibiarkan terus, tentu kita sebagai warga Sumsel dan Babel tersakiti, karena bank milik kita dikelola oleh orang yang tidak berniat memajukan daerah kita sendiri," ungkap Feri.