Pj Gubernur Panggil Direksi BSB, Buntut Kredit Sindikasi Triliunan Rupiah ke Luar Daerah?

Pj Gubernur Sumsel, Agus Fatoni Fatoni saat menerima audiensi Direktur Utama BSB dan jajaran bertempat di ruang rapat Griya Agung Palembang. (ist/rmolsumsel.id)
Pj Gubernur Sumsel, Agus Fatoni Fatoni saat menerima audiensi Direktur Utama BSB dan jajaran bertempat di ruang rapat Griya Agung Palembang. (ist/rmolsumsel.id)

Mencuatnya kasus kredit sindikasi Bank SumselBabel (BSB) triliunan rupiah, yang sempat diulas tim Kantor Berita RMOLSumsel beberapa hari lalu mendapat atensi dari Pj Gubernur Sumsel, Agus Fatoni. 


Jajaran Direksi BSB, lantas diminta Agus untuk lebih memprioritaskan pembangunan di wilayah Sumsel dan Babel, yang menjadi penunjang operasional Bank dengan slogan Mitra Anda Membangun Daerah ini. Dalam keterangan resminya, Agus berharap kedepan Sumsel dan Babel semakin maju berkat peran dan dukungan dari BSB. 

"Target ekspansi adalah Sumbagsel. Apalagi Sumsel ini merupakan daerah tertua. Semua daerah di Sumbagsel ini berawal dari Sumsel. (Jadi) Bank milik daerah harus berkontribusi pada kemajuan provinsi Sumsel," kata Agus Fatoni yang juga menjabat sebagai Dirjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri ini. 

Penekanan itu diberikan Agus, terlebih saat beredar informasi kredit yang disalurkan oleh BSB ke luar daerah itu terancam gagal bayar oleh debiturnya. Belum lagi track record BSB yang cukup akrab dengan permasalahan hukum terkait kredit fiktif yang merugikan keuangan negara. 

Tim Kantor Berita RMOLSumsel merangkum sejumlah pemberitaan mengenai skandal perbankan melibatkan BSB sejak beberapa tahun belakang. 

1. Kasus Dugaan Kredit Fiktif PT Campang Tiga Senilai Rp485 Miliar

Mega skandal kredit BSB yang pernah menghebohkan publik Sumsel mengemuka pada 2014 silam, yakni kasus pemberian kredit sindikasi kepada PT Campang Tiga (CT) milik pengusaha Mularis Djahri. Saat itu, Penyidik Polda Sumsel mengumumkan penyelidikan dugaan pemberian kredit sebesar Rp480 miliar kepada PT CT. Selain BSB, ada pula Bank Negara Indonesia (BNI) yang ikut terlibat. .

Dalam sejumlah pemberitaan disebutkan polisi mengamankan buku tabungan, dokumen peminjaman uang yang diduga fiktif dan disahkan oleh karyawan BSB. Akibatnya, kucuran dana pinjaman tetap bisa dilakukan hingga Rp 480 miliar. Modus yang dilakukan adalah dengan cara pemberian fasilitas kepada PT CT dengan melakukan pencatatan palsu dalam pembukuan. Ditengarai, dengan bantuan karyawan BSB, perusahaan tersebut bisa mendapatkan pinjaman.

Direktur Utama BSB Palembang pada saat itu Muhammad Adil membenarkan penggeledahan terkait dugaan dokumen pinjaman fiktif. Namun, Adil tidak menyebut nominal berapa banyak uang yang sudah dicairkan. Selain menyita dokumen, lanjut Adil saat itu, polisi juga memvalidasi dokumen asli yang dipegang BSB. Sebab, data yang dimiliki polisi diduga berbeda dengan data yang ada di BSB. 

Ketika disinggung keterlibatan karyawannya, Adil mengaku masih belum mengetahuinya. Dia menambahkan, PT CT merupakan salah satu debitur tetap di BSB sejak periode 2006. Perusahaan itu lancar membayar kredit pinjaman tanpa pernah menunggak. 

Kasus tersebut terus dilakukan pengusutan oleh Polda Sumsel dengan meminta lembaga audit, BPKP dan BPK menghitung kerugian negara. BPKP menghitung kerugian negara di BNI. Sementara BPK menghitung kerugian negara di Bank Sumsel Babel. Namun, hasil perhitungan kerugian negara yang keluar hanya dari BPKP. Hanya saja, kasus tersebut menguap begitu saja tanpa ada kejelasan. 

Namun belakangan, menurut informasi, untuk kasus ini sudah dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). (Baca: https://www.merdeka.com/peristiwa/bank-sumsel-babel-digeledah-polisi-terkait-kredit-fiktif-pt-ct.html

2. Kasus Kredit Macet PT Gratamas Internusa Senilai Rp13,4 Miliar

Skandal kredit macet BSB lainnya yakni pemberian kredit kepada PT Gratamas Internusa (GI) sebesar Rp13,4 miliar. Kasus ini berawal dari perusahaan milik Augustinus Judianto itu mengajukan permohonan kredit senilai lebih dari Rp30 miliar dengan jaminan tanah di Cianjur Jawa Barat seharga Rp15 miliar dan alat berat. (Baca: https://nasional.kompas.com/read/2023/02/27/15361651/ma-sunat-hukuman-terpidana-kasus-kredit-macet-rp-134-miliar-dari-8-tahun?page=2)

BSB lantas kredit kepada perusahaan tersebut sebesar Rp13,5 miliar. Pemberian Kredit Modal Kerja itu diberikan pada 2014 lalu. Namun seiring waktu berjalan, perusahaan milik Augustinus tidak mampu membayar kredit tersebut dan dinyatakan pailit oleh PTUN. Pihak BSB selanjutnya membawa kasus itu ke ranah hukum. 

JPU lalu menuntut Augustinus dengan pidana 12 tahun penjara. Namun, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang pada 28 februari 2021 menyatakan kasus itu bukan masuk ranah pidana, melainkan perdata.

Tak tinggal diam, Kejati Sumsel melakukan kasasi. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2515/K/Pid.Sus/2020 tertanggal 14 September 2020, Agustinus merupakan terpidana kasus korupsi Kredit Modal Kerja BSB. Dalam putusan Mahkamah Agung, Agustinus dikenai Pasal 2 ayat 1, Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1991 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Pidana. 

Dalam putusan kasasi, Augustinus mendapatkan hukuman 8 tahun penjara. Namun, putusan peninjauan kembali menyunat hukuman Augustinus menjadi 6 tahun penjara.

Kasus itu ikut menyeret dua pegawai Bank SumselBabel. Asri Wisnu bertugas sebagai pegawai tetap analis di Bank Sumsel Babel. Sementara, Aran Haryadi menjabat sebagai Pemimpin Divisi Kredit di Bank Sumsel Babel. (Baca: https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-kriminal/d-6215947/eks-bos-bank-sumsel-babel-tilap-uang-rp-134-m-divonis-1-tahun-4-bulan)

Keduanya diganjar hukuman 1 tahun 4 bulan penjara dalam perkara korupsi fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) yang merugikan negara Rp 13,4 miliar. 

3. Dugaan Pemalsuan Dokumen Kredit Senilai Rp4 Miliar di Bangka Belitung

Rina Tarol, seorang nasabah Bank Sumsel Babel melaporkan oknum pegawai bank tersebut beserta Yan Hari, Direktur PT Media Karya Citrapersada (MKC) ke Polda Babel terkait dugaan penipuan, penggelapan dan pemalsuan dokumen. Mereka dilaporkan atas dugaan tindak pidana perbankan yakni pemindahbukuan tanpa persetujuan nasabah. Pihak Bank Sumsel Babel mangkir dari panggilan sebanyak tiga kali dengan berbagai alasan. 

Direktur PT MKC Yan Hari diberitakan sudah memenuhi panggilan untuk memberikan keterangan kepada Polda Babel. Kasus ini bermula ketika Rina Tarol bekerja sama dengan Yan Hari terkait kebutuhan garansi bank atau kredit modal kerja (KMK) untuk pembangunan proyek Rehabilitasi Jaringan D.I Selingsing di Kabupaten Belitung Timur tahun 2022 yang digarap PT MKC.

Rina belakangan sepakat untuk membantu mencarikan KMK tersebut, lalu membuka deposit atau mengajukan KMK kepada Bank Sumsel Babel dengan plafon Rp4 miliar menggunakan agunan surat tanah dan bangunan yang diajukan Rina sebagai jaminan. Pengajuan KMK pun dikabulkan.

Namun dalam perjalannya, tanpa sepengetahuan Rina, terjadi pencairan melebihi plafon Rp4 miliar dan ada pemindahanbukuan dari rekening lama (yang sudah disepakati keduanya) ke rekening baru yang dibuat oleh PT Media Karya Citrapersada.

Lalu terjadi pencairan kredit lagi senilai Rp1,05 miliar dan Rp100 juta menggunakan call memo, beserta bunganya sebesar Rp362 juta. Sehingga total ada Rp1,512 miliar kewajiban yang ditagihkan ke rekening lama.

Dugaan Rina, ada oknum Bank Sumsel Babel dan PT Media Karya Citrapersada yang menggunakan jaminan yang pernah diajukannya untuk membuka rekening baru dan melakukan transaksi di rekening baru tersebut. (Baca:https://okeyboz.com/index.php/2023/05/16/rina-tarol-laporkan-bank-sumsel-babel-ke-polda-atas-dugaan-tindak-pidana-perbankan/2/)

4. Dugaan Kredit Macet PT Coffindo Senilai Rp50 Miliar

Isu dugaan kredit macet kembali menerpa Bank SumselBabel, September 2022 lalu. PT Coffindo yang menerima kredit senilai Rp50 miliar dari Bank SumselBabel saat itu sudah masuk kolekbilitas 5. 

PT Coffindo yang beralamat di Medan Sumatera Utara mendapat fasilitas kredit KMK sebesar Rp50 miliar dengan agunan tanah seluas 1 hektar di Medan dan rumah di Jakarta. 

Dugaan kredit macet ini mendapat perhatian Komunitas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (K MAKI). Koordinator K-MAKI Bonu Balitong mengatakan, mempertanyakan pemberian fasilitas kredit untuk perdagangan luar negeri tersebut. Padahal, perusahaan tersebut diduga belum memiliki pengalaman untuk mendapat kredit tersebut. 

“Malah kabarnya PT Coffindo sudah mendapat fasilitas kredit di 4 (empat) bank lain yang diduga fasilitas kredit dari BNI, BRI, Exim dan May Bank. Dan jangan – jangan uang ini untuk menutupi pembayaran bunga di Bank lain itu”, ucap Bony Balitong.

Manajemen Bank Sumsel, kata Bony patut diduga melanggar prinsip ke hati – hatian. “Kemudian PT Coffindo Nasabah baru bank Sumsel, nilai agunan apakah sudah dinilai apreasal dan kantor pusat PT Coffindo di Medan Sumut sulit terpantau menjadikan kredit Coffindo sangat beresiko dan tidak layak diberikan”, terang Bony Balitong.