RUU Sisdiknas Kembali Dapat Penolakan Lantaran Prosesnya Tak Partisipatif

Demonstrasi penolakan RUU Sisdiknas/ist
Demonstrasi penolakan RUU Sisdiknas/ist

Penolakan Rancangan Undang Undang Pendidikan Nasional (RUU Sidiknas) kembali menggema. Kali ini penolakan tersebut datang dari  Koalisi Pendidikan Nasional (KPN).


Alasannya, dalam proses pembentukannya tak partisipatif, dan isinya tidak dapat memenuhi hak atas pendidikan.

Perwakilan KPN, Jihan Fauziah Hamdi menjelaskan, pembahasan RUU Sidiknas yang pembentukannya menggabungkan 3 UU (UU 20/2003 tentang Sisdiknas, UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi) tersebut tidak membuka ruang partisipasi yang bermakna bagi publik.

"KPN yang terdiri dari unsur mahasiswa, guru, pelajar, akademisi, pemerhati pendidikan, pegiat pendidikan masyarakat adat, pegiat pendidikan alternatif serta organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap pendidikan di Indonesia menolak RUU Sisdiknas yang diusung oleh Kemendikbud Ristek sejak Januari 2022 lalu," ujar Jihan dalam keterangannya, Jumat (7/10).

Jihan menuturkan, sejak awal sikap pemerintah yang menolak membuka draf RUU Sisdiknas telah melanggar asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU P3. Di mana Pasal 88 UU P3 dan Pasal 171 Perpres 87/2014 mewajibkan pemerintah mempublikasikan draf RUU sejak tahap perencanaan dan penyusunan.

"Hal tersebut berdampak pada proses perencanaan dan penyusunan RUU Sisdiknas menjadi tidak partisipatif dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 96 UU P3," katanya.

KPN juga melihat fakta adanya beberapa pemangku kepentingan mengeluhkan terbatasnya ruang yang diberikan pemerintah dalam beberapa uji publik yang dilakukan.

"Ini menunjukkan bahwa pelaksanaannya berpotensi manipulatif alih-alih kolaboratif jika merujuk pada teori partisipasi Arnstein," tuturnya.

Dalam aspek proses ini, Jihan menjadikannya sebagai catatan buruk dan pola keberulangan yang dibuat Pemerintah dan DPR dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan.

"Nasib serupa dapat dilihat pada pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara, hingga RKUHP," sambungnya menegaskan.

Selain itu, masalah kedua yang diendus KPN dalam proses pembentukan RUU Sidiknas ini memiliki semangat yang bertentangan dengan pemenuhan standar-standar hak atas pendidikan.

"KPN menilai bahwa draf RUU Sisdiknas yang diusung pemerintah saat ini tidak sejalan dengan prinsip pemenuhan hak atas pendidikan mencakup Ketersediaan, Keterjangkauan, Kelayakan, dan Keberterimaan sebagaimana disebut Tomasevski dalam UNESCO, 2019," urainya.

Maka dari itu, Jihan memandang seharusnya semangat dari RUU Sidiknas adalah mengamanatkan pemerintah pusat maupun daerah untuk bertanggung jawab memastikan setiap warga negara dapat mengakses pendidikan berkualitas.

Sebab, menurutnya, pendidikan yang seyogyanya adalah hak konstitusional warga negara dan pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara, dalam RUU Sisdiknas kemungkinan bergeser semangatnya. Mengingat proses perencanaan dan penyusunannya tidak transparan dan membuka ruang partisipasi bermakna bagi publik.

"Jika dipertahankan, bukan hanya tidak menyelesaikan permasalahan pendidikan nasional di Indonesia, tetapi justru berpotensi memperparahnya," cetusnya.

"Sehingga draf RUU Sisdiknas yang ada saat ini belum mencerminkan hal-hal tersebut, sebab masih banyak masalah-masalah di dalam RUU tersebut yang perlu dicermati," demikian Jihan.