Rugikan Negara Ratusan Miliar, Massa FRB Tuntut Pemerintah Tutup PETI

Massa Front Rakyat Biasa (FRB) saat melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumsel. (ist/rmolsumsel.id)
Massa Front Rakyat Biasa (FRB) saat melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumsel. (ist/rmolsumsel.id)

Masih maraknya Pertambangan Batubara Tanpa Izin (PETI) yang beroperasi di Kecamatan Lawang Kidul dan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim mendapat protes masyarakat. 


Puluhan massa yang tergabung dalam Front Rakyat Biasa (FRB), Rabu (2/2), menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumsel. Mereka menuntut agar pemerintah Provinsi Sumsel mengambil langkah tegas untuk menutup PETI yang ada di lokasi tersebut. 

Selain itu, massa juga menuntut pemerintah untuk menangkap angkutan atau kendaraan yang mengangkut batubara dari hasil PETI. 

"Kami juga mendesak Gubernur Sumsel melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya," ujar Koordinator Aksi, Yoga Novalensi saat menyampaikan orasinya. 

Yoga menjelaskan, aktivitas PETI di Muara Enim sudah berlangsung sejak 2010 lalu. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir ada rencana pemerintah untuk melegalkannya. Padahal, berdasarkan UU No 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, pertambangan rakyat hanya diperbolehkan untuk mineral saja. 

"Tidak untuk batubara. Jadi kalau ada rencana untuk melegalkannya, sama saja menabrak aturan perundang-undangan," ucapnya. 

Kerugian negara dari aktivitas PETI di dua kawasan tersebut juga cukup besar. Dalam semalam, ada sekitar 30 truk tronton kapasitas 30 ton. Jika dikalikan ada sekitar 900 ton batubara per hari yang keluar dari aktivitas PETI. Dalam satu bulan, produksi pertambangan ilegal mencapai 27.000 ton batubara.  Sementara harga acuan batubara saat ini berkisar 87,79 US Dolar atau Rp1.229.060 per ton. 

"Artinya dalam satu bulan, nilai batubara ilegal yang keluar mencapai 33 miliar rupiah. Jika dikalikan setahun, artinya sekitar seperempat triliun rupiah negara dirugikan. Tentunya dengan kerugian yang cukup besar ini, daerah sangat dirugikan," bebernya. 

Yoga menjelaskan, aktivitas PETI tak hanya merugikan dari sisi material. Tapi juga telah menimbulkan banyak korban jiwa. "Lagi-lagi rakyat yang jadi korban. Sementara, orang yang berbisnis dari penjualan batubara ilegal ini mendapatkan keuntungan yang besar," tuturnya. 

Sementara itu, Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra, Rosyidin Hasan mengatakan, masalah PETI sudah menjadi perhatian pemerintah daerah sejak dulu. Hanya saja, pemerintah daerah tidak saat ini tidak bisa melakukan tindakan lantaran telah diambil alih oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Tentu aspirasi ini kami tampung dan akan kami sampaikan ke pemerintah pusat,” bebernya.

Truk Pengangkut Batubara Ilegal Dibiarkan Bebas

Upaya Pemprov Sumsel untuk menekan aktivitas PETI telah dilakukan dari sisi hilir. Salah satunya dengan melarang angkutan batubara melintas di jalan umum melalui Pergub No 74 tahun 2018 yang mencabut Pergub No 23 Tahun 2012 tentang tata cara pengangkutan batubara melalui jalan umum.

Pencabutan Pergub No 23 Tahun 2012 tersebut praktis membuat pengangkutan batubara melalui jalan umum menjadi tindakan yang ilegal. Hanya saja, pada praktiknya angkutan batubara masih bisa melintas.

“Dalam sehari, ada puluhan hingga ratusan angkutan tronton yang melintas. Tanpa ada hambatan yang berarti dari petugas,” kata Koordinator Lapangan FRB, Abul Hasan Al-Ashari saat dibincangi.

Menurutnya, aktivitas pengangkutan tersebut disinyalir melibatkan sejumlah oknum aparat pemerintah maupun keamanan. Bahkan, temuannya di lapangan truk tersebut membayar sejumlah uang agar bisa bebas melintas di jalan umum.

“Kami harap ini jadi atensi pemerintah. Karena keberadaan angkutan batubara ini benar-benar meresahkan. Apalagi tidak memberikan sumbangsih bagi pemerintah daerah. Lebih baik ini ditertibkan,” ucapnya.

Dijelaskannya, angkutan batubara melintas di sejumlah ruas jalan.. Seperti Baturaja-Martapura dan atau Prabumulih-Inderalaya-Ogan Ilir-Ogan Komering Ilir. “Sebenarnya jika ada petugas yang menegakkan aturan, aktivitas pengangkutan batubara ini bisa dihentikan,” ungkapnya.

Sementara itu, Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Sumsel, Rosyidin Hasan menuturkan, pemerintah telah mengeluarkan aturan melalui Pergub No 74 Tahun 2018. Hanya saja yang menjadi pertanyaan apakah pengawasan terhadap aktivitas pengangkutan batubara ini sudah dilakukan?

Terkait hal itu, Rosyidin menegaskan telah melakukan pengawasan dengan menurunkan petugas. Permasalahan masih adanya angkutan yang melintas, Rosyidin menyatakan jika aktivitas tersebut merupakan tindakan ilegal.

“Kami sudah melakukan pengawasan. Buktinya sudah tidak ada lagi truk batubara yang melintas sejak pak Gubernur mengeluarkan Pergub 74. Kalaupun ada yang melintas, tentu itu tanpa sepengetahuan dari petugas ataupun masyarakat,” ucapnya.

Terpisah, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsel, Hendriansyah menuturkan, aktivitas PETI sebenarnya tidak hanya terjadi di Sumsel. Tapi juga seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, permasalahan tersebut sudah menjadi atensi Presiden serta menugaskan Menko Polhukam untuk menyelesaikannya.

“Sudah dibuat timnya, dilakukan diskusi. Tetapi faktanya juga tidak selesai-selesai,” ungkapnya.

Nah, saran dari pemerintah provinsi Sumsel saat itu penyelesaiannya tidak hanya dilakukan pada bagian hulu yang melakukan penambangan. Tindakan tegas harus juga dilakukan terhadap orang atau badan yang membeli atau menggunakan batubara tersebut.

“Siapapun yang menggunakan batubara ilegal itu harus segera ditindak. Juga dilakukan pidana,”

Untuk pengawasan, Hendriansyah mengaku telah melakukan upaya pengawasan yang ketat terhadap aktivitas tersebut. Namun, sejak ditariknya wewenang tersebut ke pemerintah pusat, pengawasan dilakukan oleh Inspektur Tambang perwakilan Sumsel.

“Kalau di Sumsel ini, aktivitas PETI terjadi di penambangan batubara di Tanjung Enim dan penambangan emas di Muratara,” pungkasnya.