Pidana Pertambangan Bernilai Triliunan Menyeret Puluhan Perusahaan di Lahat dan Muara Enim 

Salah satu areal tambang yang ada di Sumsel. (dok/rmolsumsel.id)
Salah satu areal tambang yang ada di Sumsel. (dok/rmolsumsel.id)

Pemeriksaan yang dilakukan terhadap Direktur Teknik dan Lingkungan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Sunindyo Suryo Hendardi pada Jumat (23/2), memperkuat dugaan mengenai penyidikan kasus besar pidana pertambangan yang dilakukan oleh Kejati Sumsel. 


Seperti yang telah diulas sebelumnya dalam pemberitaan Kantor Berita RMOLSumsel, sebelum Sunindyo, sudah ada sejumlah pihak yang diperiksa. Mulai dari perusahaan tambang, Dinas ESDM Sumsel, Dinas LHP Sumsel, sampai Kordinator Inspektur Tambang Penempatan Sumsel, Oktarina Anggereyni. 

Sampai berita ini diturunkan, meskipun telah dikonfirmasi, belum ada keterangan ataupun klarifikasi dari inspektur tambang itu terkait hal ini.

Akan tetapi, kepingan demi kepingan kasus besar ini perlahan mulai terkuak. Informasinya ada sebanyak 43 perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Sumsel, utamanya Kabupaten Lahat dan Muara Enim yang terseret dalam kasus ini, tak terkecuali perusahaan plat merah. Seperti terungkap dalam salinan surat pemanggilan untuk perusahaan yang diterima oleh Kantor Berita RMOLSumsel

Dalam surat tersebut, Direktur perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan Desa Ulak Pandan, Kabupaten Lahat telah dipanggil pada 18 Januari 2024 lalu. Namun, saat dilakukan penelusuran pada situs resmi Kementerian ESDM, perusahaan ini tidak lagi muncul, yang secara sederhana dapat diartikan telah tidak lagi melakukan aktivitas produksi. 

Selain itu, ada lagi perusahaan yang telah tidak lagi dalam masa produksi yang ikut dipanggil oleh penyidik pidsus Kejati Sumsel, yakni PT Aman Toebillah Putra (ATP). Dalam penelusuran, perusahaan ini pernah mendapat proper merah lingkungan hidup Kementerian LHK, sampai pernah juga divonis merusak lingkungan oleh PN Lahat.

Aktivitas perusahaan ini diketahui telah lama berakhir, namun diduga belum melakukan reklamasi dan ditinggalkan oleh perusahaan tersebut. Permasalahan di perusahaan ini disinyalir terjadi setelah perpindahan saham karena diakuisisi oleh PT SBWP. Belakangan perpindahan saham ini diketahui pula tidak dilaporkan kepada pemerintah. Sehingga tanggung jawab reklamasi lepas begitu saja. PT SBWP ini diketahui juga melakukan akuisisi terhadap sejumlah perusahaan lain dengan sistem join operation.  

Secara spesifik mengenai permasalahan reklamasi di Sumsel ini telah diulas dalam pemberitaan Kantor Berita RMOLSumsel pada Januari 2022 lalu, yang juga memuat daftar perusahaan yang diduga ikut dipanggil dalam pemeriksaan pidana pertambangan oleh Kejati Sumsel saat ini. (Baca: https://www.rmolsumsel.id/puluhan-perusahaan-tambang-di-sumsel-dapat-sanksi-peringatan-kedua-terkait-reklamasi-ini-daftarnya).

Reklamasi, Pidana Pertambangan yang Timbulkan Kerugian Negara Terbesar

Diantara pidana pertambangan yang dianggap memiliki dampak kerugian negara paling besar adalah terkait dengan reklamasi. Ada banyak perusahaan tambang di Sumsel yang telah beroperasi di atas usia 10 tahun. Beberapa diantaranya bahkan telah beberapa kali mengajukan perluasan wilayah eksplorasi, yang dibuktikan dengan pembaharuan RKAB. Namun sayangnya, diantara perusahaan itu pula, ada yang sampai saat ini disinyalir tidak merencanakan, menempatkan bahkan tidak melaksanakan reklamasi. 

Dalam regulasi, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1827 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan Yang Baik, reklamasi merupakan hal wajib yang harus dilakukan oleh perusahaan tambang.

Didalamnya disebutkan, pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib: a. menyampaikan rencana Reklamasi tahap Eksplorasi sesuai Dokumen Lingkungan Hidup; b. menempatkan jaminan Reklamasi tahap Eksplorasi; c. melaksanakan Reklamasi tahap Eksplorasi; d. melaporkan pelaksanaan Reklamasi tahap Eksplorasi; e. menyampaikan rencana Reklamasi tahap operasi produksi pada saat mengajukan permohonan peningkatan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi; dan f. menyampaikan rencana Pascatambang pada saat mengajukan permohonan peningkatan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.

Sedangkan Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib: a. menempatkan jaminan Reklamasi tahap operasi produksi; b. menyampaikan rencana Reklamasi tahap operasi produksi secara periodik; c. melaksanakan Reklamasi tahap operasi produksi; dan d. melaporkan pelaksanaan Reklamasi tahap operasi produksi

Jaminan reklamasi ini cukup besar nilainya, yang didasarkan pada perhitungan persentase biaya langsung dan biaya tak langsung dalam proses penambangan, yang kemudian dikalkulasikan dengan luasan wilayah yang ditambang. Sehingga terbayang berapa kerugian yang dialami negara jika hal ini tidak dilakukan oleh perusahaan tambang. 

Dari sisi pidana, hal ini sudah diatur dalam UU No.3 tahun 2020, termuat dalam pasal 161B yang berbunyi: (1) Setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan: a. Reklamasi dan/atau Pascatambang; dan/atau b. penempatan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); (2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), eks pemegang IUP atau IUPK dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran dana dalam rangka pelaksanaan kewajiban Reklamasi dan/atau Pascatambang yang menjadi kewajibannya.