Pembangkit Listrik Palembang Berhenti Operasi, Terlilit Hutang, Wali Kota Terancam Pidana

Ilustrasi pembangkit listrik/ist
Ilustrasi pembangkit listrik/ist

Hutang yang menjerat Pembangkit Listrik Palembang Jaya (PLPJ) telah menyebabkan operasionalnya terhenti sejak 1 Juli 2023 lalu, permasalahan ini bakal menimbulkan ancaman masalah hukum bagi Wali Kota Palembang, Harnojoyo.


Kepemimpinan Harnojoyo di kota Palembang akan berakhir pada 20 Oktober 2023 mendatang setelah dua periode menjabat sebagai wali kota. Namun, sejumlah permasalahan yang belum terselesaikan terus menghantui hingga akhir masa jabatannya.

Masalah terbaru yang mencuat dan menjadi perhatian publik Palembang adalah berhentinya operasional Pembangkit Listrik Palembang Jaya (PLPJ) di Sematang Borang. Pembangkit listrik ini menggunakan mesin terbaik kelas dunia dari Finlandia yang dibeli dengan pinjaman sebesar Rp140 miliar dari Bank Muamalat.

Namun, operasionalnya terhenti karena terlilit hutang sebesar Rp48 miliar kepada Pertamina EP yang mengakibatkan pasokan gas ke PLPJ dihentikan. Menurut Deputi Komunitas Masyarakat Anti Korupsi (K-MAKI), Feri Kurniawan mengatakan serangkaian masalah yang dihadapi oleh anak usaha PT Sarana Pembangunan Palembang Jaya (SP2J) ini terjadi karena Pemerintah Kota Palembang mengabaikan pelaksanaan PP 54 tahun 2017 yang menetapkan kinerja keuangan dan operasional Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) paling lambat pada tahun 2019.

Deputi Komunitas Masyarakat Anti Korupsi (K-MAKI), Feri Kurniawan/ist

Ketidakhadiran Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur hal ini menunjukkan kelalaian dari pemerintah dan kurangnya pengawasan dari DPRD Kota Palembang. "Siapa lagi yang harus bertanggung jawab kalau bukan Pemkot Palembang,  begitu juga dengan DPRD Palembang yang tidak menjalankan tugas pengawasannya terhadap BUMD milik Pemkot Palembang ini," katanya.

Lebih lanjut, Feri menyebut manajemen keuangan SP2J lebih kuno daripada pedagang pasar karena semua keuangan induk dan anak usaha digabungkan dalam satu kas setara. Hal ini menimbulkan permasalahan hukum karena tidak ada kontrol keuangan yang terpisah antara subsidi usaha, pendapatan usaha, dan kewajiban karena semuanya dikelola oleh holding.

"Tiada lagi kontrol keuangan usaha dengan menyatukan semua keuangan yang bersumber dari subsidi, pendapatan usaha dan kewajiban karena semua di kelola Holding. Keadaan ini jelas berpotensi melanggar hukum. Laporan keuangan selama 10 tahun ini akan menjadi bukti penyalahgunaan keuangan di SP2J," tambah Feri.

Permasalahan lain yang timbul dari SP2J adalah tidak adanya keuntungan namun selalu mendapat subsidi. Statusnya sebagai Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda) yang belum diubah berpotensi menjebak pejabat dalam masalah hukum.

Hal ini karena tidak dilaksanakannya PP 54 Tahun 2017 yang meratifikasi undang-undang perseroan terbatas, yang bertujuan untuk menciptakan ruang usaha yang profesional dan mencegah tindak pidana korupsi.

"Karena itu, semua tanggung jawab berada di pundak pemegang saham atau kepala daerah. Inilah yang berpotensi menjadi masalah hukum di masa mendatang," tegas Feri.

Sementara itu Koordinator K-MAKI Bony Balitong mengatakan situasi ini menimbulkan keprihatinan besar terkait kondisi PLPJ dan masalah keuangan yang melibatkan SP2J. Peran pemerintah dan lembaga terkait akan sangat penting untuk mengatasi masalah ini dan memastikan transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan BUMD.

"PLPJ berpotensi mengalami kebangkrutan arena kemampuan untuk membayar utang dan kewajiban hanya sekitar Rp20 miliar. Sementara tidak berimbang dengan kewajiban perbankan senilai hampir Rp105 miliar kepada Bank Muamalat, hutang gas senilai Rp48 miliar, serta biaya overhaul kedua mesin dan turbin pembangkit senilai Rp36 miliar," pungkasnya.