Panglima TNI Harus Hentikan Rencana Penambahan Kodam

Mabes TNI/net
Mabes TNI/net

Rencana Markas Besar (Mabes) TNI soal pembangunan Komando Daerah Militer (Kodam) baru di seluruh provinsi Indonesia harus dihentikan. Hal ini karena rencana tersebut tidak sesuai dengan amanah reformasi TNI 1998.


Demikian desakan yang disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Reformsai Sektor Keamanan yang berasal dari berbagai elemen dan organisasi sipil tersebut.

Dalam siaran pers yang diterima redaksi, Jumata (1/3), koalisi menyatakan bahwa langkah Mabes TNI yang terus melanjutkan rencana penambahan Kodam untuk tiap provinsi menunjukkan pemerintah tidak memiliki visi yang reformis di bidang pertahanan negara, khususnya untuk menjaga dan mengawal reformasi TNI sebagai aktor penting di dalamnya.

Alih-alih akan memperkuat pertahanan negara, penambahan Kodam untuk tiap provinsi mengkhianati amanat reformasi TNI 1998 dan justru berdampak buruk terhadap kehidupan demokrasi.

“Penambahan Kodam menunjukan masih kuatnya orientasi pembangunan postur dan gelar kekuatan TNI yang lebih banyak ditujukan dan diorientasikan _inward looking_ bukan _outward looking_ dengan dominannya persepsi ancaman internal. Hal ini berimplikasi pada kecenderungan terlibatnya militer dalam kehidupan politik, dan sebagai konsekuensinya sulit untuk menciptakan TNI sebagai alat pertahanan negara yang kuat, profesional, dan modern,” kata Direktur Imparsial, Gufron Mabruri didampingi Al araf (Centra Initiative), Julius Ibrani (Ketua PBHI), Dimas Arya ( Koordinator Kontras), Usman Hamid (Public Virtue) dan M. Isnur (YLBHI) mewakili koalisi.

Penting dicatat, agenda reformasi TNI 1998 telah mengamanatkan kepada otoritas politik, dalam hal ini Pemerintah dan DPR untuk merestrukturisasi komando teritorial, yaitu eksistensi Kodam hingga Koramil di level yang paling bawah. Pelaksanaan agenda tersebut senafas dengan upaya penghapusan peran sosial-politik ABRI/TNI yang didorong pada tahun 1998, mengingat pengalaman historis di era Orde Baru ia lebih berfungsi sebagai alat politik kekuasaan, bukan untuk pertahanan negara.

Restrukturisasi Koter secara tersirat telah diamanatkan dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (2) UU TNI menyatakan bahwa _“dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis. Pergelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.”_ Dengan dasar tersebut, eksistensi komando teritorial mestinya direstrukturisasi, bukan ditambah atau disesuaikan mengikuti jumlah provinsi di Indonesia.

“Koalisi menilai, penambahan 22 Kodam baru, sehingga nantinya ada untuk setiap provinsi sesungguhnya lebih menyiratkan adanya sebuah kehendak untuk melanggengkan politik dan pengaruh militer, khususnya matra darat dalam kehidupan politik dan keamanan dalam negeri seperti zaman Orde Baru dari pada bertujuan memperkuat peran TNI dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara,” ujarnya.

Atas pandangan tersebut koalisi meminta Mabes TNI menghentikan renana penambahan Kodam untuk semua provinsi karena hanya akan menimbulkan sengkarut pengelolaan keamanan dalam negeri dan berdampak buruk bagi demokrasi. Kemudian, koalisi juga mendesak Pemerintah dan DPR segera melakukan restrukturisasi komando teritoriasl (Kodam hingga Koramil) dan digantikan dengan model postur dan gelar kekuatan militer yang lebih kontekstual dengan dinamika ancaman dan kondisi gegrafis Indonesia sebagai negara kepulauan.

Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan, terdiri dari

1. Imparsial

2. PBHI

3. Centra Initiative

4. KontraS

5. HRWG

6. Public Virtue

7. Setara Institute

8. Elsam

9. IKOHI

10. Walhi

11. Public Virtue

12. Amnesty International Indonesia

13. LBH Jakarta

14. LBH Pers

15. ICW

16. LBH Masyarakat

17. HRWG

18. ICJR

19. LBH Malang

20. AJI Jakarta

21. AlDP.