Menerawang Kasus Kakap yang Ditangani Kejati Sumsel: Benarkah Pidana Pertambangan Bernilai Triliunan? 

Aktivitas pelabuhan RMK Energy (RMKE) yang beberapa waktu lalu sempat disegel oleh Kementerian LHK karena melanggar aturan. (rmolsumsel)
Aktivitas pelabuhan RMK Energy (RMKE) yang beberapa waktu lalu sempat disegel oleh Kementerian LHK karena melanggar aturan. (rmolsumsel)

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel, Yulianto beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa pihaknya sedang menyidik perkara mega korupsi yang nilainya mencapai triliunan rupiah.


Seiring pernyataan Yulianto yang terkesan mengundang rasa penasaran, kasus ini disinyalir menjadi kasus terbesar yang ditangani oleh Kejati Sumsel. "Ada satu perkara yang sudah naik tahap penyidikan dengan kerugian negara Rp1,3 triliun. Untuk nama perkaranya belum dapat kami sampaikan, jadi tunggu saja tanggal mainnya," tegasnya. 

Lalu kasus apakah itu? 

Dalam beberapa waktu ke belakang, Kejati Sumsel cukup intens melakukan penyelidikan maupun penyidikan kasus korupsi. Tidak main-main, kasus itu bahkan melibatkan sejumlah perusahaan BUMN. Sebut saja korupsi akuisisi anak usaha PTBA, korupsi di PT Semen Baturaja, dan beberapa kasus korupsi lain yang menyedot perhatian. 

Berkaitan dengan hal itu, Tim Kantor Berita RMOLSumsel mencoba melakukan penelusuran dengan menyambung keterangan Yulianto. Dia menyebutkan bahwa kasus yang masih dirahasiakan itu kini sudah masuk ranah penyidikan. Dalam proses sebuah perkara, ketika telah memasuki ranah penyidikan, tentu terdapat sejumlah saksi yang telah dipanggil untuk memperkuat bukti yang dimiliki oleh penyidik. 

Pada kasus ini, kepingan demi kepingan itu perlahan terungkap. Beberapa perusahaan tambang disebut telah dipanggil oleh Kejati Sumsel sejak beberapa waktu ke belakang. Menurut sumber yang diperoleh Kantor Berita RMOLSumsel, totalnya mencapai 43 perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Sumsel yang dipanggil. Tidak hanya swasta, perusahaan BUMN pertambangan juga dipanggil untuk dimintai keterangan. 

Tidak terlepas dari aktivitas perusahaan pertambangan yang telah dipanggil tersebut, perwakilan pemerintah provinsi Sumsel nyatanya juga disebut telah dimintai keterangan, seperti Dinas ESDM dan Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (LHP). Bahkan perkembangan kasus ini disebut cukup signifikan, karena ikut memanggil sejumlah Inspektur Tambang Penempatan Sumsel, yang merupakan perpanjangan tangan Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM. Sampai akhirnya mengarah pada pemanggilan Kepala Inspektur Tambang (KAIT), yang juga menjabat Direktur Teknik dan Lingkungan Kementerian ESDM, Sunindyo Suryo Herdadi.  

Sungai Penimur di Muara Enim yang tercemar atas aktivitas PT Musi Prima Coal. (rmolsumsel) 

Membaca Konstruksi Perkara Kejahatan Pertambangan

Benar atau tidaknya mengenai penyidikan perkara ini, Kepala Kejati Sumsel Yulianto telah menyebutkan kepada awak media untuk bersabar menunggu waktunya diumumkan. 

Namun, jikapun benar setidaknya terdapat beberapa hal dalam pengamatan Kantor Berita RMOLSumsel, yang menjadi pintu masuk penyidikan pidana dalam aktivitas pertambangan ini. Diantaranya adalah mengenai pelanggaran lingkungan yang kerap dilakukan oleh sejumlah perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Sumsel. 

Dalam sejumlah ulasan pemberitaan, pelanggaran pidana ini telah diatur dalam UU No.3 tahun 2020 yang merupakan perubahan atas UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tambang ini cenderung terjadi dan dimulai sejak perencanaan pertambangan. Seperti misalnya melakukan penambangan terlebih dulu sebelum menyelesaikan persyaratan administratif. Hal ini dikategorikan sebagai penambangan tanpa izin.  

Hal ini diatur dalam Pasal 158 yang berbunyi: Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal ini juga bisa menjerat aktifitas pertambangan ilegal yang marak di sejumlah bagian wilayah Muara Enim dan Kabupaten Lahat yang beberapa waktu lalu sempat ramai. 

Selain itu, dalam aktivitas pertambangan di Sumsel juga kerap ditemukan perusahaan yang melakukan penambangan yang tidak sesuai dengan dokumen atau perizinan yang diajukan. Beberapa dokumen yang diperlukan untuk kegiatan pertambangan yang harus dimiliki oleh perusahaan mulai dari Laporan Eksplorasi, Laporan Studi Kelayakan (FS), Laporan AMDAL - UKL/UPL, Laporan Rencana Reklamasi, Laporan Lasca Tambang, Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) dan Rencana Kerja Tahunan Teknik dan Lingkungan (RKTTL). 

Untuk mengejar produksi, perusahaan pertambangan ini kerap melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan dokumen yang diajukan tersebut. Bahkan pernah sampai ada perusahaan yang diduga memalsukan salah satu diantara dokumen itu, seperti yang pernah diulas dalam pemberitaan sebelumnya. (Baca: https://www.rmolsumsel.id/terungkap-rkab-pt-putra-hulu-lematang-ternyata-palsu-aktivitas-tambang-di-lahat-diminta-dihentikan).

Modus ini, bisa dijerat dengan laporan palsu sebagaimana yang dituangkan dalam pasal 159, yang berbunyi: Pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf e, Pasal 105 ayat (4), Pasal 110, atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Di tengah aktivitas pertambangan, atau pada tahap produksi, yang paling banyak ditemui di Sumsel adalah pelanggaran pidana yang telah diatur dalam UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Aktivitas perusahaan cenderung melampaui baku mutu lingkungan. Misalnya dalam pengolahan air limbah di kolam pengendap lumpur sehingga mencemari lingkungan atau sungai ketika air tersebut langsung dialirkan tanpa pengelolaan dan pengolahan yang sesuai aturan. Ada pula aktivitas yang kemudian menimbulkan debu yang kemudian memberi dampak negatif pada kesehatan masyarakat sekitar lokasi. 

Minimnya pengawasan yang ketat terhadap aktivitas tersebut, menjadi salah satu penyebab. Padahal ini menjadi tanggung jawab perusahaan dan diatur dalam pasang Pasal 98, yang berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)."

Juga diatur dalam Pasal 99, yang berbunyi: "Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)."  

Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Putra Hulu Lematang, yang disebut melakukan pemalsuan RKAB. (rmolsumsel)

Pidana Pertambangan dengan Kerugian Negara Terbesar

Dalam beberapa kasus, aktivitas pencemaran ini juga berkaitan dengan proses pengalihan alur sungai tanpa izin yang diatur dalam Permen PUPR No.21 Tahun 2020 tentang Pengalihan Alur Sungai. Tak lain karena wilayah IUP perusahaan cenderung berada di areal yang dilintasi atau dekat dengan sungai. 

Kemudian, diantara pidana pertambangan yang dianggap memiliki dampak kerugian negara paling besar adalah terkait dengan reklamasi. Ada banyak perusahaan tambang di Sumsel yang telah beroperasi di atas usia 10 tahun. Beberapa diantaranya bahkan telah beberapa kali mengajukan perluasan wilayah eksplorasi, yang dibuktikan dengan pembaharuan RKAB. Namun sayangnya, diantara perusahaan itu pula, ada yang sampai saat ini disinyalir tidak merencanakan, menempatkan bahkan tidak melaksanakan reklamasi. 

Dalam regulasi, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1827 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan Yang Baik, reklamasi merupakan hal wajib yang harus dilakukan oleh perusahaan tambang.

Didalamnya disebutkan, pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib: a. menyampaikan rencana Reklamasi tahap Eksplorasi sesuai Dokumen Lingkungan Hidup; b. menempatkan jaminan Reklamasi tahap Eksplorasi; c. melaksanakan Reklamasi tahap Eksplorasi; d. melaporkan pelaksanaan Reklamasi tahap Eksplorasi; e. menyampaikan rencana Reklamasi tahap operasi produksi pada saat mengajukan permohonan peningkatan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi; dan f. menyampaikan rencana Pascatambang pada saat mengajukan permohonan peningkatan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.

Sedangkan Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib: a. menempatkan jaminan Reklamasi tahap operasi produksi; b. menyampaikan rencana Reklamasi tahap operasi produksi secara periodik; c. melaksanakan Reklamasi tahap operasi produksi; dan d. melaporkan pelaksanaan Reklamasi tahap operasi produksi

Jaminan reklamasi ini cukup besar nilainya, yang didasarkan pada perhitungan persentase biaya langsung dan biaya tak langsung dalam proses penambangan, yang kemudian dikalkulasikan dengan luasan wilayah yang ditambang. Sehingga terbayang berapa kerugian yang dialami negara jika hal ini tidak dilakukan oleh perusahaan tambang. 

Dari sisi pidana, hal ini sudah diatur dalam UU No.3 tahun 2020, termuat dalam pasal 161B yang berbunyi: (1) Setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan: a. Reklamasi dan/atau Pascatambang; dan/atau b. penempatan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); (2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), eks pemegang IUP atau IUPK dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran dana dalam rangka pelaksanaan kewajiban Reklamasi dan/atau Pascatambang yang menjadi kewajibannya.  

Lantas, benarkah pidana pertambangan bernilai triliunan ini yang tengah disidik oleh Kejati Sumsel?