Menapak Jejak Dugaan Pencemaran Sungai Penimur Akibat Aktivitas Pertambangan [BAGIAN KETIGA]

Foto udara kawasan Danau Manggal yang berada di bagian hilir Sungai Penimur. Sebelumnya kawasan ini direncanakan untuk dijadikan kawasan wisata oleh warga setempat. (rmolsumsel.id)
Foto udara kawasan Danau Manggal yang berada di bagian hilir Sungai Penimur. Sebelumnya kawasan ini direncanakan untuk dijadikan kawasan wisata oleh warga setempat. (rmolsumsel.id)

Hasil penelusuran dan informasi yang dihimpun tim Kantor Berita RMOLSumsel.id, mengungkapkan jika sebenarnya perusahaan sudah melakukan ganti rugi kepada warga. Hanya saja, apa yang diterima warga hingga saat ini dinilai masih belum cukup sesuai. 


Hal ini dibenarkan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (Dinas LHP) Provinsi Sumsel, Edward Candra, yang dibincangi melalui Kabid Penegakkan Hukum, Yulkar Pramilus. Kepada Kantor Berita RMOLSumsel.id, ia mengatakan jika saat ini masih terjadi pertentangan di tengah masyarakat mengenai ganti rugi tersebut. 

“Setelah verifikasi di lapangan, rata-rata (sanksi) sudah ditindaklanjuti mereka (PT MPC). Sejak surat Sanksi Paksaan oleh Gubernur Sumsel yang dikeluarkan pada 2017 lalu. Tapi (ganti rugi) belum menyentuh ke hilir,” katanya. 

Ganti rugi itu, menurut Yulkar, menyasar ke beberapa warga di bagian hulu dan hampir tidak sampai kebagian hilir untuk warga warga yang sebetulnya juga terdampak pencemaran tambang dan tertutupnya Sungai Penimur.

Bahkan, menurutnya PT MPC juga belum sepenuhnya mengganti kerugian kerusakan lingkungan yang menyebabkan terganggunya ekosistem dan perubahan pada hidup masyarakat kawasan sekitar tambang.

Potret warga desa di Kelurahan Payu Putat, Prabumulih yang berada di wilayah bagian hilir Sungai Penimur. (rmolsumsel.id)

Pada poin ini, Yulkar menjelaskan, hasil verifikasi menyebut jika normalisasi Sungai Penimur yang dilakukan oleh PT MPC baru sebatas areal yang berjarak 1 – 1,5 Km dari outlet KPL. Sedangkan untuk seterusnya sampai ke bagian hilir, sama sekali belum dilakukan.  

“Yang kami tahu, dari PT MPC atau PT GHEMMI itu sudah sempat melakukan kajian. Pembentukan tim ahli untuk melakukan evaluasi terhadap kerusakan sampai pendekatan ganti rugi terhadap tanam tumbuh masyarakat dan perbaikan lingkungan,” ungkap dia. 

Namun saat ini, berdasarkan laporan yang diterima pihaknya, Yulkar menyebut terjadi deadlock antara warga yang diwakili kuasa hukum, dengan pihak perusahaan yang bertentangan mengenai nominal ganti rugi dan kepentingan yang muncul seiring proses ini. 

“Sewaktu mau dieksekusi, masyarakat tidak terima. Kalau tanam tumbuh yang terdampak apakah mati atau tidak produktif, informasinya akan diganti. Tetapi yang dituntut masyarakat juga pencemaran dan kerusakan Sungai Penimur, sehingga terjadi deadlock (antara warga dan perusahaan),” jelas dia. 

Keluhan-keluhan masyarakat dalam tulisan sebelumnya itu diketahui oleh Dinas LHP Provinsi dan dibenarkan oleh Yulkar. Hanya saja, saat ini terjadi hal yang bertolak belakang mengenai upaya  normalisasi Sungai Penimur di bagian hulu yang telah dilaporkan oleh perusahaan.

Maksud Yulkar, apabila memang di bagian hulu sudah dinormalisasi oleh pihak perusahaan, maka dampaknya akan terasa sampai bagian hilir. Tidak seperti saat ini, dimana masyarakat bagian hilir masih mengeluhkan kondisi sungai yang dianggap hilang dan tidak lagi memberikan manfaat bagi masyarakat. 

“Kalau hulu sudah dijaga kualitas, tentu bagian hilir ada hukum self purifikasi, akan pulih dengan sendirinya. Asalkan upaya yang dilakukan di bagian hulu diatur ketaatannya sesuai peraturan dan undang-undang, serta kajian. Tidak seperti saat ini,” kata dia. 

Jala ikan milik warga yang tinggal di kawasan dekat Danau Manggal, kini lebih banyak tergantung di depan rumah. (rmolsumsel.id)

Oleh sebab  itulah, kata Yulkar, pihaknya tidak akan segan untuk kembali melakukan verifikasi faktual mengenai kondisi terkini di kawasan Sungai Penimur, bahkan memanggil pihak perusahaan. Meskipun sebenarnya yang paling patut untuk melakukan pengawasan maksimal adalah Pemerintah Kabupaten Muara Enim melalui Dinas Lingkungan Hidup setempat. 

“Artinya (dari fakta yang ada) mereka (PT MPC) tidak melakukan penambangan dengan good mining practices, dari kawan Kabupaten (Muara Enim) juga tidak melakukan pengawasan secara praktis dan efisien, sehingga terjadi pelanggaran seperti ini,” ujarnya. 

Sudah Ada Surat Perintah Normalisasi dari Balai Besar Wilayah Sungai

Tertimbunnya Sungai Penimur akibat aktivitas pertambangan juga diakui pihak Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BBWSS) Palembang. Kepala BBWSS Palembang, Birendrajana mengatakan pihaknya telah sampai melakukan pengecekan. 

“Fakta yang ada di lapangan, aliran Sungai Penimur memang mengalami penyumbatan ketika masuk areal tambang. Pernah dilaporkan (oleh perusahaan),  didatangi tim balai ke lapangan  juga dan yang terjadi memang ada penimbunan,” kata Birendrajana kepada Kantor Berita RMOLSumsel.id, Selasa (29/6).

Sawah tadah hujan milik warga di bagian hilir yang sebelumnya masih bisa memanfaatkan air dari Sungai Penimur. (rmolsumsel.id)  

Menurutnya, dari informasi lapangan, aliran sungai yang tertutup tersebut membuat wilayah di sekitar sungai mengalami banjir. Terlebih ketika musim hujan. Pada kenyataannya, banjir inilah yang mengganggu ekosistem, produktivitas kebun karet, bahkan ikan dan mata pencaharian warga yang memanfaatkan Sungai Penimur.

Nah, ketika banjir itu, perusahaan akan menghidupkan pompa untuk mengalirkan air. BBWSS, lanjutnya telah bersurat agar perusahaan membongkar kembali timbunan dan memfungsikan kembali aliran sungai.

“Tetapi, laporan yang masuk ke kami bukan tertutup timbunan batubara. Setelah kami surati, sekitar Maret lalu, Perwakilan perusahaan juga sudah datang dan berkomitmen untuk mengembalikan kembali fungsi sungai. Tinggal kita pantau tindak lanjutnya,” terangnya. 

Biren menjelaskan, keberadaan aliran sungai seharusnya tidak boleh ditimbun ataupun dirusak. Sebab bertentangan dengan UU No.32/2009 tentang Lingkungan Hidup dan terancam sanksi pidana. “Silahkan saja beraktivitas. Asalkan jangan sampai menimbun sungai seperti itu. Seharusnya ada pengelolaan yang benar bagi setiap orang atau perusahaan agar fungsi sungai jangan sampai terganggu,” tandas dia.