Menapak Jejak Dugaan Pencemaran Sungai Penimur Akibat Aktivitas Pertambangan [BAGIAN KEENAM]

Kondisi Sungai Penimur di Dusun III Desa Gunung Raja, Kecamatan Empat Petulai Dangku Muara Enim. (rmolsumsel.id)
Kondisi Sungai Penimur di Dusun III Desa Gunung Raja, Kecamatan Empat Petulai Dangku Muara Enim. (rmolsumsel.id)

Dugaan pelanggaran yang terjadi pada aktifitas pertambangan PT Musi Prima Coal (PT MPC) membawa penelusuran tim Kantor Berita RMOLSumsel melakukan pendalaman.


Dari beberapa sumber yang berhasil dirangkum, permasalahan pencemaran Sungai Penimur ini sebelumnya telah dilaporkan oleh masyarakat. Persisnya oleh warga Payu Putat yang berada di kawasan hilir sungai yang masuk dalam bagian wilayah kota Prabumulih. 

Pada akhir tahun 2017, tim dari Kementerian LHK sempat mendatangi lokasi untuk melakukan verifikasi di lapangan. Namun setahun berselang, pada 2018 warga kembali mempertanyakan hasil verifikasi tersebut sebab belum ada tindak lanjut yang konkrit oleh perusahaan yang dirasakan oleh warga. 

Mengenai  pencemaran Sungai Penimur ini, berbagai elemen masyarakat rupanya juga telah mendesak pihak perusahaan untuk bertanggung jawab. Tidak hanya PT Musi Prima Coal (PT MPC) tetapi warga juga meminta tanggung jawab dari PT Guo Hua Energi Musi Makmur Indonesia (PT GHEMMI) selaku pengelola PLTU Mulut Tambang Gunung Raja soal ganti rugi.

Pada 15 Oktober 2019 tim dari Kementerian LHK diketahui kembali mendatangi lokasi untuk mengambil sampel dan pengujian terhadap kerusakan lingkungan yang telah dilaporkan oleh masyarakat sebelumnya. Dari sana diketahui jika perusahaan yang sudah mendapatkan sanksi, belum kunjung melakukan ganti rugi terhadap warga.

Proses pengambilan sampel air sungai oleh tim Kementerian LHK pada 2019. (ist/net/rmolsumsel.id)

Perusahaan juga disinyalir abai dengan dugaan pelanggaran yang dilakukannya, sampai tim Kementerian kembali turun menindaklanjuti laporan masyarakat. Tim yang saat itu diterima di ruang rapat PT GHEMMI sempat berdebat dengan perwakilan perusahaan mengenai normalisasi Sungai Penimur.

Dugaan pencemaran ini dirasakan betul oleh warga Prabumulih. Terbukti dengan organisasi masyarakat Pemuda Pancasila kota Prabumulih ikut turun tangan. Bahkan sampai melakukan pertemuan dengan menghasilkan beberapa kesepakatan.

Kesepakatan tersebut berupa pihak perusahaan akan memberikan pelaporan dampak lingkungan, data valid, mengenai tenaga kerja asing yang diperoleh dari keimigrasian, proses tender yang akan dilakukan melalui sistem terintegrasi, serta hal yang terpenting program Corporate Social Responsibility (CSR) yang jelas untuk warga Prabumulih di bagian hilir Sungai Penimur yang merasakan dampak pencemaran.

Namun, butir-butir perjanjian antara perusahaan dengan warga yang diwakilkan ormas Pemuda Pancasila Prabumulih pada 2019 itu nyatanya tidak dijalankan oleh pihak perusahaan, sehingga warga kembali mempertanyakan kelanjutan kasus tersebut. Termasuk seperti apa hasil verifikasi tim Kementerian LHK dari pengujian yang dilakukan di kawasan tambang PT MPC.

Salah satu warga yang mandi di kawasan Danau Manggal, Kelurahan Payu Putat Kota Prabumulih. Warga terpaksa berjalan jauh untuk mandi setelah Sungai Penimur putus. (rmolsumsel.id)

Untuk diketahui, operasional PT GHEMMI bersama perusahaan rekanannya, PT MPC dan PT LCL terus mendapat protes dari warga Kota Prabumulih hingga saat ini. Adalah organisasi masyarakat Majelis Pimpinan Cabang (MPC) Pemuda Pancasila Kota Prabumulih salah satu yang menyuarakan hal ini.

Kepada Kantor Berita RMOLSumsel, Ketua MPC PP Kota Prabumulih menyampaikan, hingga saat ini perusahaan tidak memberikan sumbangsih apapun terhadap masyarakat Kota Prabumulih yang terdampak secara langsung, ataupun tidak secara langsung. Padahal, operasional yang mereka lakukan kebanyakan berada di Kota Prabumulih.

“Mulai dari pengiriman minyak ke dalam areal pertambangan, pengangkutan limbah hingga bahan material itu melalui jalan dalam Kota Prabumulih,” kata Ketua Rifky Baday.

Rifky melanjutkan, biasanya pengangkutan tersebut dilakukan pada malam hari. Sehingga, terkadang luput dari sorotan masyarakat. “Mereka pun sebagian menggunakan jalan umum di dalam Kota Prabumulih dan jalan Pertamina,” kata dia.

Kawasan sempadan Sungai Lematang yang amblas di kawasan Kecamatan Empat Petulai Dangku, Muara Enim. (rmolsumsel.id)

Seharusnya, sambung Rifky, perusahaan bisa lebih aware terhadap kondisi masyarakat Kota Prabumulih. Paling tidak, penyaluran Coorporate Social and Responsibility (CSR) juga bisa melibatkan kepentingan warga Kota Prabumulih. Bukan hanya ring 1 perusahaan yang seluruhnya berada di Kabupaten Muara Enim.

“Kami sebenarnya sudah membicarakan hal ini kepada pihak perusahaan. Tetapi, mereka tetap dengan cara mereka. Seolah tidak peduli. Seperti ada kekuatan besar yang membekinginya,” terangnya.

Menurutnya, secara operasional, perusahaan telah melanggar Peraturan Wali Kota Prabumulih No.61/2019 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam Wilayah Kota Prabumulih. Dimana, angkutan barang maupun angkutan batubara dilarang untuk melintas di wilayah Kota Prabumulih. “Itu jelas sudah melanggar,” tegasnya.

Kemudian, masyarakat Kota Prabumulih juga tidak pernah dilibatkan sebagai tenaga kerja di perusahaan. Padahal, dampak dari operasional perusahaan dirasakan sampai Kota Prabumulih. Mulai dari melintasnya angkutan perusahaan hingga dampak limbah yang dihasilkan perusahaan.

Ia mencontohkan salah satu perusahaan kertas yang beroperasi di Kabupaten Muara Enim. Meski wilayah operasinya di Muara Enim, tetapi CSR-nya juga ikut tersalurkan hingga ke Kota Prabumulih karena truk angkutan kayunya melintas di Kota Prabumulih. “Harusnya bisa contoh seperti itu,”  terangnya.

Dijelaskan, tuntutan MPC Prabumulih dalam aksi yang dilakukan Agustus 2020 lalu tidak pernah terealisasi hingga saat ini. “Gejolak akan selalu timbul kalau perusahaan tidak pernah mengakomodir keinginan masyarakat,” terangnya.

Peta aliran dan anak Sungai Lematang yang dimiliki oleh warga Payu Putat. Peta itu juga menunjukkan aliran Sungai Penimur yang kini telah putus. (rmolsumsel.id)

Penelusuran yang dilakukan oleh Tim Kantor Berita RMOLSumsel berhasil menemukan fakta lain mengenai pencemaran yang berkaitan dengan hasil verifikasi dari tim Kementerian LHK yang sempat dipertanyakan oleh warga.

Beberapa diantaranya yang berhasil dirangkum dimulai dari putusnya Sungai Penimur saat itu adalah pihak perusahaan belum mengupayakan untuk mengembalikan fungsi Sungai Penimur sesuai dengan Surat Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumsel Nomor 540/508/Distamben/2016 tanggal 8 Juni 2016 perihal Pembukaan Kembali Tambang PT Musi Prima Coal.

Meskipun pada poin ini diketahui pihak perusahaan telah membuat instalasi pompa untuk mengatasi banjir yang terjadi di kawasan tersebut ketika terjadi hujan deras. Lima buah pompa itu diketahui mengalirkan air sebanyak sekitar 7.000 meter kubik perjam. Sebagai tambahan, perusahaan juga telah memasang instalasi sepanjang sekitar 700 meter untuk memompakan air dari hulu ke hilir Sungai Penimur.

Hanya saja, belum ada pengukuran debit air maksimum maupun minimum yang dilakukan oleh pihak perusahaan di kawasan Sungai yang terputus itu. Hal lain yang ditemukan adalah PT Musi Prima Coal belum melakukan kajian geoteknik, guna mengantisipasi kejadian longsor susulan dalam pelaksanaan backfilling dan penambangan di bawah timbunan backfilling di area inpit dump di depan workshop PT Lematang Coal Lestari (PT LCL) beberapa waktu sebelumnya.

Jalan hauling yang menghubungkan Tambang1 dan Tambang 2 PT MPC yang masih dalam tahap penyelesaian. (rmolsumsel.id)

Secara terperinci,  PT Musi Prima Coal juga diketahui tidak memiliki database terkait teknis secara lengkap yang mencatat riwayat penambangan, mulai dari eksplorasi sampai operasi produksi termasuk data geoteknik dan data pengeboran awal. Selain itu, PT Musi Prima Coal juga tidak memiliki tenaga teknis yang kompeten di bidang geoteknik. Sehingga tidak dilakukan pengukuran dan pengelolaan terhadap pergerakan permukaan tanah.

Tim dari Kementerian LHK juga telah melakukan pemantauan dan pengelolaan di Kolam Pengendap Lumpur (KPL) dengan hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan kertas lakmus didapat PH Air 5,5 di bawah baku mutu (6-9). Hal ini diperparah dengan fakta jika KPL itu berada diluar wilayah IUP.

Puncaknya, proses penambangan yang dilakukan PT Musi prima Coal berdasarkan perencanaan awal yang justru dilakukan oleh PT GHEMMI, yang disinyalir juga tidak sesuai dengan IUP.