Menapak Jejak Dugaan Pencemaran Sungai Penimur Akibat Aktivitas Pertambangan [BAGIAN KELIMA]

Foto Udara Areal Tambang 2 PT MPC yang berada di Kecamatan Empat Petulai Dangku Kabupaten Muara Enim. (rmolsumsel.id)
Foto Udara Areal Tambang 2 PT MPC yang berada di Kecamatan Empat Petulai Dangku Kabupaten Muara Enim. (rmolsumsel.id)

Mendapati keterangan pegawai di areal dermaga mengenai sumber batu bara yang diangkut menggunakan tongkang, tim melanjutkan perjalanan menuju Tambang 2 yang berada di kawasan Desa Air Limau dan Gunung Raja, Kecamatan Empat Petulai Dangku Kabupaten Muara Enim.


Kapal pengangkut batu bara yang kandas di sekitar dermaga kawasan Empat Petulai Dangku, Muara Enim. (rmolsumsel.id)

Akses antara areal Tambang 1 dan Tambang 2 dihubungkan oleh jalan hauling batu bara yang dibangun sejak 2020 lalu. Saat ini memang belum selesai sepenuhnya. Karena masih terlihat beberapa alat berat dan tumpukan batu besar yang terdapat di beberapa titik di sepanjang jalan. Namun jalan sepanjang sekitar 15 kilometer ini telah dioperasikan dengan dilintasi oleh truk pengangkut batu bara. Seperti yang diamati oleh tim.

Areal Tambang 2 ini relatif lebih kecil jika dibandingkan Tambang 1. Aktifitas di dalamnya berlangsung normal seperti areal tambang pada umumnya. Beberapa alat berat excavator tengah melakukan memindahkan batu bara ke truk yang mengantri. Truk lainnya hilir mudik, mengangkut batu bara keluar areal Tambang 2, dan ada pula truk yang masuk dengan kondisi kosong untuk diisi batu bara. Selain batu bara, ada juga dump truck yang membawa galian tanah.

Tak jauh dari jalan tambang, dibangun kolam pengelolaan limbah (KPL). Areal tambang yang berbatasan dengan jalan Desa Air Limau dibangun pagar beton setinggi lebih kurang tiga meter. Sementara, untuk yang berbatasan dengan kebun karet milik warga hanya dibatasi oleh gundukan tanah.

Akses jalan untuk menuju areal Tambang 2 PT MPC ini harus melintasi jalan desa Gunung Raja, Kecamatan Empat Petulai Dangku, Kabupaten Muara Enim. Untuk itu dibangun fly over yang melintas diatas jalan desa. Banyak lahan warga yang dibebaskan untuk pembangunan jalan dengan lebar sekitar 20 meter tersebut. Proses pembebasan dilakukan secara keseluruhan untuk bidang lahan warga, meskipun hanya sedikit yang digunakan untuk jalan.

“Misalnya, lahan yang terkena itu cuma setengah hektar dari 5 hektar yang dimiliki. Maka, lahan yang dibebaskan seluruhnya. Begitu seterusnya hingga sampai ke areal tambang,” kata Husin, warga Dusun II Desa Gunung Raja saat dibincangi tim yang singgah ke tempatnya.

Foto udara jalan hauling yang menghubungkan Tambang 1 dan Tambang 2 PT MPC. (rmolsumsel.id)

Dijelaskan Husin, pihak perusahaan membayar tanah atau lahan warga sebagai ganti rugi untuk pembuatan jalan hauling ini berkisar antara Rp80-100 ribu per meternya. Sehingga, harga rata-rata per hektar yang diterima oleh warga adalah sebesar Rp1 miliar. “Makanya banyak yang setuju dengan harga itu. Daripada, bertahan dengan situasi harga karet yang tidak menentu,” bebernya.

Pada penelusuran sebelumnya di kawasan Dermaga, tim mendapati informasi dari pegawai disana jika batu bara yang berasal dari Tambang 2 belum sampai setahun ini diangkut menggunakan tongkang. Sementara sebelumnya, pihaknya hanya memaksimalkan batu bara dari Tambang 1. Hal ini dibenarkan pula oleh warga yang tinggal di sekitar Tambang 2, yang dibincangi tim Kantor Berita RMOLSumsel.id.

Salah satunya Riki (30), pemilik peternakan ayam yang berada persis di belakang Tambang 2 milik PT MPC. Ia tahu persis kapan operasional tambang itu dimulai. “Kalau tidak salah pembukaan lahannya sekitar 8 bulan lalu. Tapi kalau proses pengangkutan batubara itu sekitar 4 bulan yang lalu. Berbarengan dengan pembangunan pagar,” katanya. Pagar yang dibangun oleh perusahaan menjadi batas antara areal Tambang 2 dengan peternakan ayam miliknya.

Sehingga dengan letak yang bersebelahan itu, Riki mengaku jika aktifitas yang terjadi di Tambang 2 itu cukup mengganggu warga sejak beberapa bulan terakhir. Mulai dari polusi udara, sampai polusi suara dikeluhkan oleh warga sebab hanya berjarak sekitar 20 meter antara areal tambang dengan pemukiman penduduk. “Tambang mana coba yang jaraknya sebegitu dekat (dengan pemukiman),” ungkapnya.

Untuk peternakan ayamnya yang telah berdiri sejak empat tahun terakhir, Riki merasakan gangguan berkurangnya pasokan air sumur. Ia menduga air tanah di kawasan tersebut diserap oleh aktifitas tambang. Belum lagi kebisingan aktifitas pertambangan yang membuat ayam-ayamnya mengalami stres sehingga kehilangan bobot akibat kurangnya nafsu makan.

Dijelaskan Riki, permasalahan tersebut sebenarnya sudah dibicarakan dengan pihak perusahaan. Ia hanya meminta truk angkutan yang keluar masuk di areal tambang tidak usah membunyikan klakson. “Saya cuma minta mereka (truk) tidak membunyikan klakson saat keluar areal. Tapi, ini tetap saja dilakukan,” bebernya.

Sementara itu, Kepala Desa Gunung Raja Kecamatan Petulai Dangku Kabupaten Muara Enim, Arman kembali memastikan jika Tambang 2 PT MPC tersebut baru beroperasi di awal 2021 lalu. Dijelaskannya jika kawasan tersebut berada di dua wilayah desa, yakni Desa Gunung Raja dan Desa Air Limau. “Sekitar 70 persennya berada di Desa Air Limau. 30 persen di Desa Gunung Raja,” kata Arman.

Foto udara aktifitas pengangkutan batu bara melalui Sungai Lematang yang melintasi kawasan Kelurahan Payu Putat, Prabumulih. (rmolsumsel.id)

Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh tim Kantor Berita RMOLSumsel.id, Tambang 2 PT MPC merupakan pengembangan wilayah Tambang 1 PT MPC yang rencananya untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Dalam RKAB yang dilaporkan oleh PT MPC pada 2019-2020 perusahaan berencana untuk melakukan ekspor batu bara sebanyak 200.000 ton. Namun realisasinya perusahaan hanya bisa memaksimalkan ekspor sebanyak sekitar 40.000 ton batu bara. 

Akan tetapi, fakta di lapangan bertolak belakang dengan laporan tersebut. Dimana sejatinya Tambang 2 PT MPC baru beroperasi pada 2021. Lantas muncul pertanyaan, dari manakah PT MPC mendapatkan batu bara yang di ekspor pada tahun 2020 tersebut?

Apabila benar perusahaan mengekspor batu bara dari Tambang 1 yang seharusnya digunakan untuk mensuplai kebutuhan PLTU Mulut Tambang Gura, maka disinyalir telah terjadi pemalsuan dokumen sehingga bertentangan dengan UU No3/2020 tentang perubahan atas UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 

Dimana pada pasal 159 berbunyi, Pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf e, Pasal 105 ayat (4), Pasal 110 atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) 

Di sisi lain, aktifitas pengangkutan batu bara melintasi jalan hauling hingga sampai ke dermaga juga bukan tidak luput dari pelanggaran. Dua bagian tersebut, jalan hauling dan dermaga diketahui tidak terdapat di dalam IUP, sehingga proses pendukungnya, yakni Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (ANDAL) belum dapat dipastikan dimiliki oleh perusahaan. 

Padahal dermaga di Kecamatan Empat Petulai Dangku ini masuk dalam klasifikasi pelabuhan/terminal khusus sungai pada Sub DAS Lematang. Sehingga aktifitas yang terjadi di kawasan tersebut seharusnya disesuaikan dengan Perda No.13/2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Muara Enim 2018-2038. Tepatnya pada Pasal 10 poin 4 tentang Strategi pencegahan dampak negatif kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.

Oleh sebab itu, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya oleh Kabid Gakkum Dinas LHP Provinsi Sumsel Yulkar Pramilus, secara spesifik mengenai hilangnya Sungai Penimur dan aktifitas yang terjadi di Sungai Lematang, apa yang dilakukan PT MPC disinyalir tidak sesuai dengan Undang-Undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No.38/2011 tentang Sungai, dan PP No.22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.