Kejati Tahan Mantan Bupati Aceh Tamiang Terkait Dugaan Korupsi Penerbitan HGU

Tiga tersangka kasus korupsi Penguasaan Lahan Eks-HGU PT. Desa Jaya saat dikawal oleh petugas Kejati Aceh. (KejatiAceh/rmolsumsel.id)
Tiga tersangka kasus korupsi Penguasaan Lahan Eks-HGU PT. Desa Jaya saat dikawal oleh petugas Kejati Aceh. (KejatiAceh/rmolsumsel.id)

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menetapkan Mantan Bupati Aceh Tamiang, Mursil sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Penguasaan Lahan Eks-HGU PT Desa Jaya Perkebunan Alur Jambu, Eks- HGU Perkebunan Alur Meranti dan penerbitan beberapa Hak Milik atas Tanah Negara. 


Mursil langsung ditahan di Rutan Kelas II B Banda Aceh bersama dua tersangka lainnya, Selasa (6/6). Kedua tersangka yang dimaksud yakni TY yang merupakan Direktur PT Desa Jaya Alur Jambu merangkap Direktur PT Desa Jaya Alur Meranti dan TR selaku penerima ganti rugi pengadaan tanah untuk kepentingan umum pembangunan Makodim Aceh Tamiang. 

Plh. Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh, Deddi Taufik dalam keterangan tertulisnya mengatakan, ketiganya ditahan setelah dilakukan pemeriksaan. Penahanan bakal dilakukan selama 20 hari kedepan mulai dari tanggal 6-25 Juni 2023.

Deddi menjelaskan, pada 2009 pengurus PT. Desa Jaya TR mengajukan permohonan sertifikat hak milik diatas tanah negara yang berdekatan dengan Lahan Ex-HGU PT. Desa Jaya Alur Meranti. Permohonan tersebut bertujuan untuk mendapatkan pembayaran dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum pembangunan Makodim Aceh Tamiang.

"Karena asal muasal tanah tersebut merupakan tanah negara, TR dengan dibantu oleh M (Kepala Kantor Pertanahan Aceh Tamiang Tahun 2009) membuat permohonan kepemilian hak tanah dengan tujuan untuk bertani dan berkebun," ujar Deddi.

Setelah terbit sertifikat pada tanggal 5 Juni 2009, selang beberapa hari Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melakukan ganti rugi kepada TR atas tanah tersebut seharga Rp 6,4 Miliar.

Selain itu menurut Deddi,  PT. Desa Jaya Alur Meranti dan PT. Desa Jaya Alur Jambu mendapatkan keuntungan illegal yang berasal dari pelaksanaan kegiatan usaha perkebunan tanpa memiliki Alas Hak (Hak Guna Usaha) dan perizinan (Izin Usaha Perkebunan). Selain itu, kedua perusahaan tersebut tidak melaksanakan 20 persen program kemitraan masyarakat atau dikenal dengan istilah plasma.