Kasus Dugaan Korupsi Minyak Rp193 Triliun, Hensat: Jangan Dibawa ke Ranah Politik

Riza Chalid. /Net
Riza Chalid. /Net

Kasus dugaan korupsi di sektor minyak yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun per tahun tidak seharusnya bergeser ke ranah politik.


Analis komunikasi politik Hendri Satrio (Hensat) menegaskan bahwa fokus utama masyarakat harus tetap pada substansi kasus korupsi itu sendiri, bukan pada spekulasi atau narasi politik yang berkembang di sekitarnya.

“Ini adalah kasus besar dengan dampak luar biasa bagi negara. Masyarakat seharusnya tidak terjebak dalam sisi politisnya, tapi terus menyoroti kasus korupsinya. Dalangnya harus diungkap,” ujar Hensat kepada wartawan, Sabtu, 8 Maret 2025.

Hensat juga mencermati kecenderungan masyarakat yang mengaitkan kasus ini dengan figur-figur publik yang tidak disebutkan sebagai tersangka. Menurutnya, hal ini justru mengaburkan esensi dari penanganan kasus korupsi yang sedang berjalan.

“Ketika kasus ini ditarik ke ranah politik, perhatian publik jadi terpecah. Padahal, yang terpenting adalah memastikan keadilan ditegakkan dan kerugian negara bisa diminimalisir, bukan sekadar meramaikan isu politik,” lanjutnya.

Ia menambahkan bahwa kasus ini bukan sekadar tentang angka kerugian negara, tetapi juga dampaknya terhadap kepercayaan publik terhadap institusi negara dan kesejahteraan masyarakat.

“Pengawasan publik yang kritis sangat dibutuhkan agar kasus ini tidak tenggelam dalam agenda politik semata. Kita harus memastikan hukum berjalan sebagaimana mestinya,” tegas Hensat.

Kasus dugaan korupsi di Pertamina Patra Niaga menjadi sorotan karena nilai kerugian yang fantastis dan kompleksitasnya. Penyidik masih terus mendalami keterlibatan pihak lain, termasuk kemungkinan adanya jaringan yang lebih luas di balik praktik tersebut.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung membuka peluang menjerat Muhammad Kerry Adrianto Riza dengan ancaman hukuman mati. Selain anak saudagar minyak Riza Chalid itu, kemungkinan yang sama juga terbuka bagi tersangka lain dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Pertamina Patra Niaga periode 2018-2023.

Dugaan pengemplangan duit negara ini, yang pada 2023 saja merugikan negara Rp193,7 triliun, terjadi di antaranya saat pandemi Covid-19 yang ditetapkan sebagai bencana nasional. Artinya, tindakan korupsi dalam kondisi tersebut bisa dikenai Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang memungkinkan sanksi pidana mati bagi pelakunya.

Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan bahwa jika dalam penyelidikan ditemukan fakta-fakta yang memberatkan, terutama yang terkait dengan pandemi Covid-19, maka ancaman hukumannya bisa diperberat.

“Bahkan dalam kondisi yang demikian, bisa-bisa hukuman mati,” ujar Burhanuddin usai bertemu Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis, 6 Maret 2025.

Hensat berharap masyarakat tetap fokus pada substansi kasus ini agar dapat menjadi momentum dalam membersihkan sektor energi dari praktik korupsi.

“Dalam kasus sebesar ini, politik seharusnya menjadi alat untuk mencari solusi, bukan untuk menyamarkan kebenaran. Masyarakat harus lebih cerdas dalam menyikapinya,” pungkasnya.