Kebijakan Ganjil Genap, Pengamat : Kebijakan Hambar dan Tidak Substansial untuk Sumsel

Ilustrasi pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan plat nomor ganjil genap. (rmol.id)
Ilustrasi pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan plat nomor ganjil genap. (rmol.id)

Pemprov Sumsel memberlakukan pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan plat nomor ganjil genap (Kebijakan Ganjil Genap) selama dua minggu di kota Palembang.


Hal ini seperti ditegaskan oleh Gubernur Herman Deru untuk mengurangi mobilitas masyarakat dengan tujuan menurunkan penyebaran Covid-19 di Sumsel, seperti yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Sumsel No.445/KPTS/Dishub/2021 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap yang diterima Kantor Berita RMOLSumsel.id, petang ini (1/7).

Kebijakan ini nantinya akan membatasi kendaraan yang melintas di titik-titik yang telah ditentukan berdasarkan tingkat keramaian, dalam waktu tertentu. 

Bagindo Togar dari Bagindo Togar Political Observer and Consulting (BTPOC) memandang kebijakan yang kini ramai diperbincangkan oleh masyarakat ini, tidak akan berhasil mencapai tujuan yang dimaksud oleh Gubernur. Justru ia menilai kebijakan ini hambar dan akan menjadi sia-sia karena terlalu memaksakan hubungan antara pembatasan mobilitas kendaraan dengan penurunan kasus positif Covid-19.

“Apakah kemudian kalau ganjil genap (diterapkan) tidak ada kerumunan? Justru orang akan maksimalkan kendaraan, yang biasanya satu mobil isi dua orang jadi lima orang, begitu juga kendaraan umum yang semakin padat. Akan menjadi kebijakan yang hambar dan tidak substansial,”ungkapnya.

Secara tegas Bagindo menyebut jika Pemprov Sumsel saat ini gagal memahami permasalahan yang seharusnya diatasi. Yaitu, kerumunan dan aktifitas masyarakat pada siang hari, yang menjadi penyebab utama peningkatan kasus positif Covid-19. Bukan pembatasan aktifitas kendaraan, apalagi pembatasan yang saat ini dilakukan berlangsung malam hari saat jam sepi.

“Coba ditanya ke masyarakat, untuk mengurangi Covid-19 ini lebih baik mengurangi kendaraan atau mengurangi aktifitas? Justru masyarakat akan cari alternatif kendaraan lain. Karena tidak serta merta mengurangi kendaraan ini akan mengurangi aktifitas. Jadi janganlah setiap kebijakan yang dikeluarkan itu sifatnya uji coba. Kalau tidak efektif, buat lagi. Begitu seterusnya,”kata Bagindo.

Bagindo Togar. (rmolsumsel.id)

Jika melihat lonjakan kasus yang terjadi saat ini, pemerintah seharusnya melibatkan semua pihak yang punya kompetensi sebagai tahapan sebelum mengambil kebijakan. Seperti akademisi, sosiolog perkotaan, epidemolog, ahli kesehatan, ahli ekonomi, ahli transportasi, dan mereka yang terkait, agar mendapatkan analisis yang komprehensif secara teoritik dan empirik.

Apabila tahapan tersebut sudah dilakukan, maka kata Bagindo, keputusan atau kebijakan yang diambil pemerintah sebagai regulator akan sesuai dengan tujuan, karena mengedepankan pendekatan teoritik dan empirik sebagai landasan utamanya. Sayangnya, pemerintah saat ini, kata Bagindo tidak pernah terlihat melakukan proses dan tahapan seperti ini dalam pengambilan kebijakan.

“Mudah mudahan ini bukan sekedar proyek, yang dititipkan (oleh Pemprov) melalui kepolisian atau sebaliknya dari kepolisian melalui Pergub sebagai bumper-nya. Jangan dak katek gawe, jangan dak katek anggaran. Coba pakai logika (berpikirnya) sebelum membuat kebijakan. Ini sekarang sudah ramai duluan (sudah diumumkan ganjil genap), tapi aturan (Pergub) belum ada, ”ujar Bagindo.

Sebab kebijakan ganjil genap ini menurutnya sangat lekat dengan upaya mengatasi kemacetan dan upaya mengurangi polisi seperti di DKI Jakarta. Maka akan berbeda jika diterapkan di kota Palembang yang tingkat kemacetan lalu lintasnya belum separah ibu kota tersebut.