Kasus Korupsi Bank Pelat Merah, Benarkah BNI Cabang Kayuagung? 

Gedung Kejati Sumsel/ist
Gedung Kejati Sumsel/ist

Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Sumsel) menetapkan satu orang tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi uang nasabah di salah satu bank pelat merah yang ada di Sumsel.


Tersangka berinisial AT yang merupakan pegawai salah satu bank pelat merah. Penetapan tersangka berdasarkan No TAP 19/L6/FJ1/12/2023 tanggal 15 Desember 2023. Hanya saja, saat menggelar press release kasus tersebut, Kejati Sumsel tidak menyebutkan secara eksplisit bank pelat merah yang dimaksud. 

Penelusuran Kantor Berita RMOLSumsel, disinyalir bank pelat merah dalam perkara korupsi yang disidik Kejati Sumsel merupakan Bank BNI. Kasus tersebut informasinya terjadi di Cabang Kayu Agung yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Sementara AT yang menjadi tersangka dalam kasus ini memiliki jabatan terakhir sebagai Supervisor Pemasaran. 

Modusnya, tersangka AT mengatasnamakan nasabah untuk membuka rekening, membuat ATM dan mengaktifkan mobile banking. Dengan menggunakan dua instrumen tersebut yaitu ATM dan mobile banking, tersangka bisa menarik uang dari tabungan nasabah dalam periode satu tahun 2022-2023

Terkait informasi tersebut, Kantor Berita RMOL Sumsel mengonfirmasi Servis Manajemen BNI Kanwil Palembang, Dion. Namun, hingga berita ini diturunkan belum memberikan jawaban. Begitupun Pengelola/Legal BNI Kanwil Palembang, Reza Saktipan yang belum membalas pesan singkat yang dikirim wartawan. 

Sementara itu, Kasi Penkum Kejati Sumsel Vanny Yulia Eka Sari mengatakan, dirinya belum bisa memastikan bank pelat merah yang dimaksud Bank BNI Cabang Kayuagung. 

"Kami hanya menyampaikan keterangan tersebut dari penyidik, sampai saat ini kita belum tahu bank pelat merah itu yang mana karena itu menyangkut kepentingan penyidik. Tapi nanti akan dilakukan audit lagi dan diberikan lagi keterangan lanjutan," jelasnya.

Pengaruhi Kepercayaan Nasabah, Berpotensi Rush Money

Sementara itu, Pengamat Hukum Sumsel Dr Sri Sulastri mengatakan, kasus yang terjadi dilakukan pada bank pelat merah tersebut dinilai sangat sensitif terhadap citra dan kepercayaan nasabah.

"Saya menilai kasus seperti ini sangatlah sensitif, karena kita tahu bank itu bisnisnya jasa kepercayaan kepada nasabah. Namun yang terjadi justru dilakukan oknum pegawai bank itu sendiri, inilah yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap kinerja perbankan," jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, dengan merosotnya kepercayaan publik bank tersebut bakal berakibat terhadap Rush Money atau penarikan uang tunai di bank yang dilakukan serentak atau bersamaan oleh masyarakat dalam jumlah besar.

"Dampak terburuknya bisa terjadi Rush Money, kalau memang bank tersebut kinerjanya sudah tidak bagus dan banyak kasus. Siapapun yang punya simpanan di bank tersebut jadi khawatir," tegasnya.

Untuk itu, Sri Sulastri mengatakan, manajemen bank terutama yang berstatus BUMN dapat memiliki standar operasional prosedur (SOP) pengawasan yang ketat terhadap pegawainya. 

"Kalau saya melihat kasus ini bukanlah karena kebijakan manajemen bank, tapi oknum pegawai. Meskipun demikian tetap harus dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala, termasuk rolling jabatan," ucapnya.

Selain itu, Sri Sulastri juga menyoroti penyidik dalam mengenakan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus tersebut. Menurutnya, langkah penyidik diyakini untuk melakukan pemberatan kepada tersangka hingga menimbulkan efek jera.

"Mungkin penyidik mau melakukan pemberatan kepada tersangka sehingga menggunakan UU Tipikor. Dalam kasus ini sangat bisa dilakukan, karena perbuatannya termasuk tindak korupsi. Meskipun yang dilakukan kepada uang nasabah, namun hal itu juga termasuk korupsi karena menimbulkan kerugian negara lantaran uang yang disimpan nasabah tersebut ada di bank pemerintah," jelasnya.

Dia mengatakan, pengenaan UU Tipikor dalam kasus ini akan lebih berat dibandingkan UU Tindak Pidana Perbankan. "Pertimbangan lain mungkin karena tindak pidana perbankan itu lebih mengarah ke kesalahan kebijakan. Sementara di kasus ini bukanlah disebabkan kebijakan perbankan tapi dari oknum perbankan itu sendiri," pungkasnya.

Sebelumnya pihak Kejati Sumsel, menegaskan tersangka AT melanggar sejumlah pasal dalam UU Tipikor. Diantaranya, Kesatu Primer: Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Subsidair: Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Subsidair: Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana. (tim)