Norma tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru menuai kritik dari masyarakat. Salah satunya terkait dengan kebebasan berpendapat.
- Jalan-jalan ke Lubuklinggau Bawa Sajam, Pria Pengangguran Asal Bengkulu Ini Ditangkap
- KPK Periksa Bekas Manajer Harita Grup, Terkait Kasus Korupsi Tambang Nikel
- Sudah 10 Kali Beraksi, Komplotan Begal di Palembang Susul Temannya ke Sel Tahanan

Baca Juga
Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie turut menyoroti norma yang masuk dalam KUHP baru yang disahkan DPR RI dalam rapat paripurna di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (6/12).
Jerry heran dengan keberadaan pasal penghinaan presiden dalam KUHP baru ini. Karena menurutnya, hal tersebut tak sesuai dengan zaman saat ini.
"Bagaimana kalau 10 ribu orang mengkritik di medsos (media sosial)? Apakah mereka akan masuk penjara semua," ujar Jerry saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (8/12).
Berkaca pada sistem ketatanegaraan di Amerika Serikat yang juga menganut sistem pemerintahan yang sama, Jerry menilai penyusunan regulasi pemerintah Indonesia dalam KUHP baru ini tidak memiliki semangat demokrasi.
Pada amandemen pertama Kongres, tidak boleh membuat undang-undang yang membatasi kebabasan berbicara, atau pers, atau hak rakyat untuk berkumpul secara damai, dan untuk mengajukan petisi kepada pemerintah," urainya.
Maka dari itu, doktor ilmu komunikasi politik lulusan America Global University ini menilai norma soal penghinaan presiden dan pejabat negara telah melunturkan semangat demokrasi.
"Pemerintah sudah mengkebiri kebebasan berpendapat atau freedom of speech," demikian Jerry.
- Komisi Kejaksaan Bakal Pelototi Proses Pengadilan Ferdy Sambo Cs
- Siap Disidang, Berkas 10 Tersangka Korupsi Timah Telah Dilimpahkan ke Kejari Jaksel
- FSOSS Laporkan Dugaan Korupsi Dana Hibah KONI Sumsel ke Kejati