Ganti Rugi Karhutla Rp 3,4 Triliun Belum Masuk Kas Negara

Tangkapan layar paparan Gakkum dalam webinar SIEJ, Sabtu (26/6). (Ist/rmolsumsel.id)
Tangkapan layar paparan Gakkum dalam webinar SIEJ, Sabtu (26/6). (Ist/rmolsumsel.id)

Pembayaran ganti rugi sebesar Rp 3,4 triliun lebih dari perusahaan pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia yang inkracht dalam putusan perkara perdata, hingga kini belum masuk kas negara.


Hal ini terungkap dalam Workshop Jurnalis Build Back Better “Karhutla dan Komitmen Penegakan Hukum” yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) secara daring, Sabtu (26/6).

Data itu tercatat dari kasus perdata kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015-2021 yang berhasil dimenangkan dalam kasus penegakan hukum karhutla oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Dirjen Penegakan Hukum Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Saat ini hanya Rp 78,5 miliar pembayaran ganti rugi yang berhasil dieksekusi.

Selama kurun waktu tersebut, Gakkum KLHK berhasil mencabut 3 izin operasional, 16 pembekuan izin, 91 paksaan pemerintah, menerbitkan 633 surat peringatan, dan 743 sanksi administratif. Serta pengawasan terhadap 638 perusahaan dan individu yang melakukan aktivitas kehutanan dan lahan di Indonesia. Selain itu, tercatat 11 kasus karhutla telah inkracht dengan pidana dan denda, 3 masih P-21 dan 5 perusahaan dalam proses sidik.

Direktur Penegakan Hukum Pidana Dirjen Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK, Yazid Nurhuda mengatakan, proses eksekusi denda dari perusahaan pelaku karhutla masih terkendala teknis di lapangan maupun birokrasi, dimana wewenang eksekusi sepenuhnya ada di tangan pengadilan.

“Dalam gugatan perdata, kami legal standing-nya sebagai penggugat mewakili kepentingan lingkungan yang rusak akibat karhutla. Ada yang menang dan inkracht, tapi eksekusi putusan menjadi wewenang ketua pengadilan. Kami memohon dieksekusi, mendorong, dan menghadap ketua Pengadilan Negeri. Tapi banyak pertimbangan dan permasalahan teknis di lapangan,” ungkap Yazid.

Salah satunya adalah menghitung aset dari perusahaan pelaku karhutla yang digugat. Pihaknya kesulitan mengajukan penyitaan aset sebagai alat pemenuhan bukti untuk memenangkan gugatan.

“Praktik di lapangan tidak mudah. Waktu itu yang penting kita gugat dulu dan menang dulu. Begitu menang dan mengajukan eksekusi, dipertanyakan asetnya. Karena itu kita sekarang dalam proses menelusuri aset agar bisa diajukan ke pengadilan untuk dieksekusi,” imbuhnya.

Belum lagi tantangan di lapangan. Banyak intervensi dan perlawanan fisik dan psikis, digugat pra peradilan, dipidanakan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan. Hingga penyidik dilaporkan ke polisi dan dijadikan tersangka.

Dalam kesempatan yang sama, Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan IPB mengatakan, penanganan kasus karhutla tidak sederhana dan butuh waktu lama dalam proses pembuktian.  Butuh bukti sains dan teknologi untuk mengungkap kasus tersebut.

“Kita harus bicara scientific evident dalam menelusuri lokasi kebakaran dan mengungkap penyebabnya. Apakah itu ketidaksengajaan atau by design. Bagaimana mungkin bisa menghitung ribuan hektare lahan terbakar dalam waktu satu hari, tahu dimana titik awal lokasi terbakar dan siapa pelakunya. Teknologi juga sangat membantu dalam pembuktian,” kata Ahli Karhutla IPB ini.

Banyak kasus sukses dibuktikan, tambahnya, seperti kasus karhutla yang melibatkan perusahaan sawit Wilmar Nabati Indonesia di Kalimantan Barat yang terbukti melakukan pembakaran lahan hingga bantuan pembiayaan dari Bank Dunia untuk perusahaan ini dicabut.