Dugaan Pencemaran Lingkungan Sriwijaya Tansri Energi, Pemuda Hijau Sumsel Bakal Gelar Aksi di DPRD 

Swabakar batu bara yang terjadi di areal stockpile PT Sriwijaya Tansri Energi (STE). (handout/rmolsumsel.id)
Swabakar batu bara yang terjadi di areal stockpile PT Sriwijaya Tansri Energi (STE). (handout/rmolsumsel.id)

Kasus pencemaran lingkungan yang diduga dilakukan oleh PT Sriwijaya Tansri Energi (STE) di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) terus menuai perhatian sejumlah pihak. 


Kali ini, LSM Pemuda Hijau Sumatera Selatan berencana akan menggelar aksi demonstrasi ke DPRD Sumsel terkait dugaan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.  

Ketua Pemuda Hijau Sumatera Selatan, Kevin Adrian mengatakan, pihaknya tidak bisa tinggal diam melihat dampak lingkungan yang semakin parah akibat dugaan kelalaian PT STE dalam pengelolaan limbah cair serta insiden swabakar di area tambang.  

"Kami sangat prihatin dengan kondisi lingkungan di Desa Benuang, Kecamatan Talang Ubi, yang tercemar limbah air asam tambang. Apalagi ada indikasi perusahaan ini tidak memiliki Persetujuan Teknis (Pertek) untuk pengelolaan limbah, yang jelas melanggar aturan," ujar Kevin saat dibincangi, Senin (13/11).  

Kevin menegaskan, aksi ini bertujuan mendesak pemerintah daerah hingga pusat untuk segera bertindak tegas terhadap PT STE. Ia juga meminta agar kasus ini diusut hingga tuntas. Termasuk juga dugaan pemalsuan dokumen perencanaan tambang yang melanggar Undang-Undang Minerba.  

"Kami menuntut transparansi dan keadilan. Jika PT STE terbukti bersalah, izinnya harus dicabut. Tidak ada ruang bagi perusahaan yang hanya mengeruk keuntungan tanpa peduli pada lingkungan dan masyarakat," ucapnya. 

Dijelaskan Kevin, industri pertambangan batu bara telah memberikan dampak kerugian yang cukup besar bagi masyarakat, khususnya yang berada di sekitar wilayah operasi. 

"Kita masih ingat betul kerusakan Jembatan Lalan di Muba yang menewaskan lima warga akibat ditabrak tongkang pengangkut batu bara. Belum lagi tongkang yang tersangkut di Jembatan Ampera. Ancaman dari operasional tambang ini tidak hanya membahayakan masyarakat di sekitar wilayah tambang, tapi juga di kawasan yang dilintasi angkutannya," tambah Kevin. 

Menurutnya, berbagai peristiwa tersebut menandakan ketidakprofesionalan yang dilakukan perusahaan pertambangan. Selain itu juga, proses pengawasan yang dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atas operasional perusahaan dinilai masih belum optimal. 

"Di Sumsel ini, ratusan perusahaan tambang hanya diawasi oleh beberapa Inspektur Tambang. Bagaimana pengawasannya mau optimal. Hal inilah yang sering dimanfaatkan perusahaan untuk melanggar aturan yang ada," ungkapnya. 

Sebelumnya, kasus pencemaran lingkungan kembali mencuat di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), kali ini melibatkan PT Sriwijaya Tansri Energi (STE).

Perusahaan tambang batu bara ini diduga tidak mematuhi aturan pengelolaan limbah cair, sehingga limbah air asam tambang mencemari lingkungan di kawasan izin usaha pertambangan (IUP) mereka di Desa Benuang, Kecamatan Talang Ubi.

Selain itu, insiden swabakar pada tumpukan batu bara di areal stockpile yang terletak di pinggir jalan PT Servo Lintas Raya (SLR) semakin memperburuk situasi.

Menurut informasi yang diterima, area tambang PT STE diduga tidak memiliki Persetujuan Teknis (Pertek) untuk pengelolaan limbah. Hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan serius hingga potensi gangguan kesehatan bagi masyarakat sekitar.

Dalam video yang beredar menunjukkan luasnya area yang terkena dampak swabakar, yang diduga terjadi akibat oksidasi batu bara yang tertimbun lebih dari enam bulan.

Dugaan lain yang mengejutkan adalah adanya indikasi pemalsuan dokumen perencanaan penambangan oleh PT STE, yang merupakan bagian dari Sugico Grup. Pemalsuan ini melanggar UU No.4 Tahun 2020 tentang Minerba, yang menyebutkan ancaman denda hingga Rp100 miliar bagi pelanggar dalam Pasal 159.

Wakil Ketua DPRD PALI, Firdaus Hasbullah menyatakan akan memanggil manajemen PT STE dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten PALI untuk memberikan klarifikasi dan mempertanggungjawabkan insiden ini.

“Kami tidak akan tinggal diam. Jika terbukti bersalah, kami akan menyurati Kementerian ESDM untuk mencabut izin PT STE. Perusahaan ini harus bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan,” tegas Firdaus.

Firdaus juga menegaskan pemanggilan ini menjadi peringatan bagi seluruh perusahaan tambang di wilayah PALI untuk mematuhi regulasi lingkungan dan memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.

Sebagai solusi jangka panjang, Firdaus mempertimbangkan opsi agar tambang dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PALI. Berdasarkan data, PT STE memiliki izin operasi berdasarkan Surat Keputusan No. 137/KPTS/Tamben/2014 yang diterbitkan pada 16 Januari 2014, berlaku hingga 10 September 2026.

Perusahaan ini memiliki luas wilayah IUP sebesar 9.059 hektar, yang mencakup wilayah Kecamatan Gunung Megang, Rambang Dangku, dan Talang Ubi. Meski demikian, data izin tersebut belum diperbarui, sementara Kabupaten Muara Enim telah dimekarkan menjadi Kabupaten PALI.

Ia berpendapat pengelolaan oleh BUMD akan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, seperti penyerapan tenaga kerja lokal dan peningkatan pendapatan daerah.

“Sudah saatnya kita berhenti bergantung pada perusahaan yang hanya mengeruk sumber daya tanpa memberikan kontribusi nyata. Dengan BUMD, kesejahteraan masyarakat bisa lebih terjamin,” ujarnya.

Firdaus juga menyoroti kerusakan infrastruktur jalan akibat aktivitas tambang yang menggunakan jalan umum tanpa perbaikan, serta dugaan penyalahgunaan solar subsidi oleh truk pengangkut batu bara.

Ia menyebut kondisi ini berpotensi memicu inflasi karena pasokan bahan bakar untuk kendaraan angkutan bahan pokok terganggu.

“Kami akan mengawal kasus ini hingga tuntas. Tidak boleh ada pembiaran terhadap perusahaan yang merusak lingkungan dan menyengsarakan masyarakat,” tandasnya.