Demokrasi Dikuasai Elit dan Pemodal, Imbasnya Korupsi Merajalela

Pada hakikatnya dalam demokrasi itu, rakyat memilih untuk wakilnya sesuai dengan keinginan. Realitanya suara rakyat diberikan ke elit politik dan diserahkan kepada elit lainya dan para penguasa politik. Kondisis itu membuat demokrasi melahirkan oligar-oligar baru dan membentuk oligarki.


"Kalau dari rakyat untuk rakyat seharusnya tidak ada ambang batas. Adanya ambang batas 20 persen menandakan demokrasi itu bukan untuk rakyat tapi sesuai dengan keinginan partai politik. Itulah yang menimbulkan oligarki. Harusnya banyak calon sehingga rakyat bisa tahu siapa yang dia pilih," ungkap Prof Musni Umar, aktivis pergerakan yang kini menjadi Rektor Universitas Ibnu Chaldun dalam diskusi virtual bareng Bang Ruslan dengan tema Merumuskan Presiden Pilihan Rakyat Di Masa Depan, Kamis (27/08/2020).

Sosiolog ini juga mengatakan, adanya ambang batas membuat kebebasan rakyat dalam berdemokrasi dibatasi dan mereka dipaksa untuk memilih. Kondisi itu diperparah dengan politik uang sehingga banyak menimbulkan pratek korupsi.

"Indonesia makin terpuruk karena rakyat tidak dapat apa-apa dari sistem demokrasi yang sekarang ini. Kalau ambang batas dihapuskan, akan banyak pilihan bagi rakyat untuk mendapatkan yang terbaik. Sekarang ini kita dipaksa untuk memilih dengan politik uang, sehingga membuat demokrasi kita berbiaya mahal," ungkap Musni.

Masalahnya Parpol yang kini telah menjadi Parpol komersial pasti tidak mau kalau presiden treshold dihapuskan. Sehingga cara yang dilakukan adalah harus dipaksa agar ambang batas ini dihapus dengan cara unjuk rasa, perbanyak gelar diskusi, pemberitaan yang masif. Disinilah peran media sangat penting dalam demokrasi.

"Saat ini korupsi merajalela karena siapa yang ingin jadi kepala daerah harus menyogok, suap menyuap. Jadi tidak ada yang tidak mungkin, nol ambang batas. Tingginya ambang batas, menimbulkan dampak karena biaya demokrasi sangat tinggi karena harus membayar Parpol, money politic," jelasnya.