Sorotan terhadap aktivitas tambang PT Musi Prima Coal (PT MPC) dan kontraktornya PT Lematang Coal Lestari (PT LCL), yang memiliki wilayah operasi IUP di kawasan Kabupaten Muara Enim, terus didengungkan aktivis lingkungan Kawali Sumsel.
- Sidak Jalan Hauling Dizamantra Powerindo, DPRD Muara Enim Minta Perhatikan Aspek Lingkungan
- Industri Pertambangan Indonesia Harus Tunjukkan Komitmen terhadap Keberlanjutan Lingkungan
- Mahkamah Agung Menangkan Romili, Berhasil Rebut Kembali Lahan dari PTBA
Baca Juga
Terbaru adalah mengenai aksi korporasi yang disinyalir telah merugikan negara sampai ratusan miliar, bahkan lebih. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Kawali Sumsel, Chandra Anugerah kepada Kantor Berita RMOLSumsel, Sabtu (3/9).
Secara terperinci dijelaskan oleh Chandra, bahwa dalam beberapa waktu terakhir pihaknya bersama tim telah mendapati setidaknya dua tindakan yang dilakukan oleh sindikat korporasi ini dalam merugikan negara.
Pertama adalah penggelembungan jumlah lapisan tanah penutup batubara, Overburden (OB). Jumlah OB yang tinggi ini, mempengaruhi biaya produksi perusahaan serta bagi hasil penjualan batubara pada negara.
"Dalam lingkup pertambangan dikenal dengan istilah stripping ratio (SR). Perbandingan antara tanah dan batubara. Misalnya harus menggali dua meter tanah dulu sebelum menemukan lapisan batubara," jelas Chandra.

Dijelaskan Chandra, terdapat perbedaan signifikan antara dokumen FS, dokumen RKAB, sampai laporan realisasi perusahaan yang pada kenyataannya diketahui oleh pihak terkait, yakni Dirjen Minerba Kementerian ESDM.
Kawali Sumsel menduga ada kongkalikong dalam proses ini, terlebih perubahan (revisi) dilakukan setelah perusahaan telah memulai operasi produksi selama sekitar tujuh tahun.
"Kami mencurigai adanya permainan, ketika revisi dilakukan pada 2018, sementara operasi dimulai sekitar 2010-2011. Lalu, seperti apa persetujuan awal, kemudian bagaimana bisa revisi disetjui, tapi kemudian masih terdapat perbedaan realisasi," kata Chandra.
Penggelembungan jumlah OB yang diduga berlangsung bertahun ini, menurut Chandra sudah mencapai angka lebih dari Rp700 Miliar, apabila dikalkulasikan dengan biaya pengupasan yang dilaporkan oleh perusahaan tersebut.
Kedua, menurut Kawali Sumsel yang harus diusut oleh aparat penegak hukum adalah upaya penimbunan pit tambang dengan Fly Ash Bottom Ash (FABA), yang merupakan limbah batubara dari PLTU PT GHEMMI di areal tambang PT MPC.
Penimbunan ini disinyalir dilakukan untuk menutupi kekurangan jumlah OB yang digelembungkan dalam dokumen yang telah disebutkan sebelumnya. Akibat penimbunan FABA yang sudah diberikan sanksi oleh Kementerian LHK pada sekitar 2018 itu, kongkalikong antara PT GHEMMI dan PT MPC diduga meraup setidaknya sampai Rp 100 Miliar.
"Kita tahu FABA sudah dikeluarkan sebagai materil berbahaya oleh pemerintah pada 2020, namun itu tidak berlaku surut. Apa yang terjadi (Penimbunan FABA) dilakukan oleh sindikasi mereka ini di tahun sebelumnya sehingga wajib bertanggung jawab," tegas Chandra.
Untuk itu, Kawali Sumsel menurut Chandra akan menggelar aksi massa pada Senin (5/9) di Gedung Kejati Sumsel untuk meminta pihak terkait mengusut dugaan megakorupsi yang sangat merugikan masyarakat Muara Enim dan Sumsel ini.
- Tokoh Masyarakat Dukung Langkah Tegas DPRD Muara Enim Terkait Penutupan PT RMK
- 1.546 Peserta Lulus Seleksi Administrasi Pra Sanggah PPPK Tahap II
- Dua Pejabat ESDM Dicopot di Tengah Isu LPG 3 Kg dan Kasus Dugaan Korupsi Migas