Baru 25 Persen Korporasi Mengisi BO, SMB IV Khawatir Jadi Tindak Pencucian Uang

Sosialisasi Layanan Adminitrasi Hukum Umum di Wilayah Tentang penerapan BO. (Istimewa/rmolsumsel.id)
Sosialisasi Layanan Adminitrasi Hukum Umum di Wilayah Tentang penerapan BO. (Istimewa/rmolsumsel.id)

Penerapan Beneficial Ownership (BO) di Indonesia termasuk di Sumsel hingga kini belum optimal. Padahal, hal ini tujuannya untuk transparansi dan menghindari praktek pencucian uang.


Demikian terungkap dalam sosialisasi Layanan Adminitrasi Hukum Umum di Wilayah Tentang penerapan BO oleh notaris periode II tahun anggaran 2021 yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Selatan (Sumsel) melalui Bidang Pelayanan Hukum, di Hotel Alts, Palembang, Selasa kemarin (22/9).

Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementrian Hukum dan HAM Sumsel, Indro Purwoko mengatakan Beneficial Ownership atau  kepemilikan manfaat adalah istilah dalam dunia hukum komersial yang merujuk kepada siapa pihak yang menikmati manfaat atas kepemilikan aset tertentu tanpa tercatat sebagai pemilik.

Pemilik  Manfaat adalah orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada Korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari Korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham Korporasi dan/atau memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018.

"Saat ini pemerintah menuntut transparansi dari seluruh korporasi di Indonesia dengan mewajibkan pengungkapan dan penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat korporasi (Beneficial Ownership). Transparansi ini didorong dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme," katanya.

Dalam pengungkapan BO ini, notaris sangatlah berperan besar. Karena, mereka sebagai pihak yang berperan dalam membuat akta, juga memiliki tugas untuk menerapkan prinsi mengenali pengguna jasa dalam pendirian korporasi. Karena itu, PPATK mewajibkan notaris untuk melakukan pendaftaran aplikasi Anti Money Laundering (goAML) yang menggantikan aplikasi Gathering Reports and Information Processing System (GRIPS).

Dengan aplikasi tersebut maka mempermudah Notaris untuk melaporkan kepada PPATK  tentang  transaksi  keuangan yang mencurigakan yang  berpotensi untuk menyebabkan tindak  pidana  pencucian uang  dan tindak pidana pendanaan terorisme.

"Tahun 2019 lalu pemerintah menargetkan 30 persen dari 17.856 notaris di Indonesia ini melakukan pendaftaran. Namun, baru 3 persen yang mengisi. Karena itu, kami terus melakukan sosialisasi," terangnya. 

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Per Agustus 2021, Korporasi di Indonesia saat ini berjumlah  2.181.536 dan yang telah mengisi Beneficial Ownership  sejumlah  462.401 atau sekitar 21,20 persen. Untuk di Sumsel sendiri, dari total 36.706 korporasi yang telah mengisi BO baru 9.334 korporasi. 

"Persentasenya baru 25,43 persen yang mengisi BO ini," tutupnya. 

Sementara itu, Wakil dari Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia (INI) Sumsel, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama RM Fauwaz Diradja menambahkan BO ini tujuannya untuk tranparansi dan menghindari prakter pencucian uang. Namun, pada kenyataannya penerapan belum berjalan optimal.

"Ini dikhawatirkan menjadi tindak pidana pencucian uang," katanya. 

Menurutnya, dengan tidak terdaftarnya korporasi tersebut dalam BO maka mungkin perusaha tersebut pemiliknya adalah sopir atau keponakannya para pejabat sehingga pemilik hanyalah sebagai boneka saja. Karena itu, perlu peran serta notaris dan semua pihak untuk memberikan informasi yang jelas siapa pemilik dana keuangan dari perusahaan tersebut.

"Dengan adanya BO ini maka akan timbul transparansi dan kejelasan keuangan agar negara Indonesia bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme karena sering pemilik manfaat ini adalah kaki tangan para pejabat sehingga hasilnya kembali ke pejabat," tutupnya.