ASN WIBAWA PEMERINTAH [Bagian Ketiga]

Dr. Rizki Kartika, S.Psi, M.Si. (ist/rmolsumsel.id)
Dr. Rizki Kartika, S.Psi, M.Si. (ist/rmolsumsel.id)

Dalam dunia rekrutmen ada 3 pendekatan dan masing-masing pendekatan akan menghasilkan 3 kriteria kualitas aparaturnya. Pertama, rekrutmen berdasarkan sistem merit, jenis rekrutmen ini ditandai dengan adanya kajian ilmiah yaitu menghitung beban kerja organisasi kemudian menentukan nama jabatan apa yang akan dibutuhkan, serta memastikan sistem karir bagi ASN tersebut.

Kedua, rekrutmen berdasarkan penerapan sistem merit yang setengah-setengah, jenis ini ditandai adanya sistem merit yang mengakomodir permintaan khusus/ “political demand”, mudahnya kita sebut saja ada praktek KKN. Dari pendekatan ini aparat yang akan dihasilkan dipastikan bukan yang terbaik namun tidak juga yang terburuk, efek jangka panjangnya manusia aparatur jenis ini miskin inovasi apalagi gagasan ilmiah, mirip seperti kerbau yang dicolok hidungnya.  

Ketiga, rekrutmen berdasarkan Spoils System, sistem rekrutmen ini adalah yang paling buruk, karena manusia aparatur yang akan terpilih adalah manusia yang hanya memiliki pertalian keluarga(nepotisme) dengan pemangku kekuasaan, (baca Sancino Alessandro:2011).

Analisa saya dari 3 fenomena sistem rekrutmen Aparatur ini yang terbaik adalah yang berdasarkan sistem merit dan sepertinya seluruh Kepala Daerah dan bahkan Kepala Intansi hingga Menteri akan menyetujui pendapat ini.

Disisi lainnya bukankah Pemerintah menginginkan adanya perubahan paradigma yang diharapkan muncul dari setiap pribadi Aparatur Sipil Negara yaitu proses tranformasi dari Aparat Human Resource menjadi Aparat Human Capital yang sesuai dengan agenda Road Map Reformasi Birokrasi dari Menpan-RB.

Kalau tidak salah sejauh yang saya baca bahwa Human Capital ini kelak akan bernaung dalam Dynamic Governmance, Pemerintahan yang dinamis adalah Pemerintahan yang sesuai dengan keinginan masyarakatnya, targetnya kondisi ini direncanakan terjadi pada Tahun 2025. 

Sedikit saya akan memberikan gambaran sebagai proyeksi kondisi masyarakat Tahun 2025 adalah masyarakat yang tidak lagi “gagap teknologi”, mahir menggunakan alat komunikasi termutakhir (dunia dalam genggaman) bahkan sistem pembayaranpun nyaris seluruhnya fintech/ cashless yang saat ini sudah terjadi seperti OVO, GoPay dan sebagainya.

Semua itu dilakukan oleh seluruh masyarakat tanpa memandang usia mereka, bahkan kelak anak umur 5 tahun pun akan bertransaksi dengan sentuhan teknologi, kenapa demikian, karena prakteknya cukup hanya dengan melakukan scan barcode.

Maka kapasitas akan Human Capital dari Aparatur Sipil Negara harus direncanakan untuk menyambut era tersebut, sebanding lurus dengan bentuk layanan yang serba High Tech yang harus disajikan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), Kementerian/ Lembaga Negara (LN).

Bila OPD, Kementerian dan LN tidak dapat menyajikan layanan tersebut maka sudah dapat dipastikan bahwa isi dari Aparatur Sipil Negaranya yang berada didalamnya dihasilkan dari rekrutmen sistem merit setengah hati/ mediokrat dan atau Spoils System. Saya berasumsi Dynamic Governmance hanya akan tercapai bila Pemerintah bertranformasi menjadi Sound Governance.(baca: Rendra Setyadiharja at all (94:2017).

Ulasan diatas itu baru salah satu ulasan, masih ada ulasan penting lainnya dari program alokasi formasi ASN 2021 ini, yaitu bahwa alokasi formasi yang dilakukan oleh Pemerintah sejogjanya tidak hanya untuk mengisi kekosongan jabatan semata, namun lebih dari itu, hal terpenting adalah kejelasan sistem karir ASN yang terekrut dalam proses ini.

Pemerintah harus sudah memiliki Talent Pool & Man Power Planning, saya berani jamin tidak semua Pemerintahan memiliki ini. Talent Pool & Man Power Planning kelak akan menjauhkan ASN dari Praktek SMOS (Susah Melihat Orang Sukses/ Senang Melihat Orang Susah) sebab Talent Pool & Man Power Planning dijamin oleh sistem merit kepegawaian sebagai “sistem karir baku” ASN yang teregulasi dengan Road Map Reformasi Birokrasi.

Itupun bisa terjadi  dengan syarat bila Pimpinan diseluruh Lembaga Pemerintahan baik Pusat maupun Daerah setuju dengan saya untuk membuatnya. Bila tidak, saya akan jamin ditahun 2025 nanti “membenahi suatu yang rusak lebih sulit dan memakan waktu yang cukup panjang”, karena belum tentu bisa diselesaikan pembenahannya oleh kita dalam waktu 30 tahun kedepan, maka yang kita dapat hanya efek negatifnya, yaitu wibawa pemerintah yang tidak akan dihargai oleh masyarakatnya.