Birokrasi Indonesia Kelas Dunia?

Dr. Rizki Kartika, S.Psi, M.Si/ist
Dr. Rizki Kartika, S.Psi, M.Si/ist

TIGA bulan terkhir ini banyak kejadian atau fenomena yang muncul di Negara kita Indonesia, seolah rentetan dinamika berbangsa dan bernegara menjadi berwarna disetiap detiknya, terkadang fenomena tersebut bisa menguatkan sendi-sendi negara, namun sebaliknya juga ada fenomena yang berpotensi mengikis sendi-sendi negara. 

Sebut saja dengan fenomena bidang pertahanan beberapa waktu yang lalu di Provinsi Papua, Pasukan Kospasus kita kontak senjata dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua  Barat (TPNPB-OPM) yang memakan korban jiwa dengan gugurnya beberapa personel Kopasus pada bulan April 2023, juru bicara TPNPB-OPM “Sebby-Sambom” telah mengklaim dan membenarkan kejadiannya. 

Kemudian Masyarakat Indonesia juga baru-baru ini diperdengarkan dengan berita akan wacana “perpanjangan jabatan Ketua KPK RI” oleh Mahkamah Konstitusi yang menurut hemat sebagian pakar merupakan praktik mal-adminstrasi bila dipaksakan untuk digulirkan. 

Begitu juga dengan berita heboh tentang tindakan perilaku Korupsi dari salah satu Menteri baru-baru ini yang bernilai cukup fantastis dalam program pembangunan BTS sebagai penunjang signal komunikasi di Indonesia. Sehingga berkembanglah praduga aliran dana tersebut mengalir keberapa pihak yang kemudian menjadi viral dibeberapa media berita nasional dan media sosial. 

Kejadian diatas adalah sekelumit berita yang disajikan kepada publik dan cukup mengusik keinginan tahuan publik akan kebenaran dari fenomena tersebut. Begitu cepatnya kabar berita tersebar karena didukung oleh alat komunikasi modern saat ini yang juga memberi ruang bagi publik untuk berpartisipasi, baik itu sekedar sebagai “penyimak” hingga berpartisipasi “men-share” seluruh berita di platform multimedia online seperti whatsapp, tiktok dan sebagainya. 

Namun sayangnya fenomena tersebut terjadi disaat Birokrasi Indonesia teragendakan untuk bertransformasi menjadi Birokrasi Kelas Dunia, sesuai cita-cita dari mendiang Menteri PAN-RB Tcahyo Kumolo yang mencanangkan pada Tahun 2024 seluruh Birokrasi di Indonesia tanpa terkecuali didalmnya Penerintah Daerah baik itu Pemerintah Provinsi hingga Pemerintah Kabupaten/ Kota. 

Maka bukankah ini sebuah paradox atau bisa disebut jauh panggang dari api? Sepertinya Para Penyelenggara Negara menelaaah ulang akan konsep dari paradigma Birokrasi Kelas Dunia, agar mengerti dan dapat berprilaku layaknya” Birokrat Kelas Dunia”, jika tidak demikian maka  keinginan Indonesia ber-Birokrasi Kelas Dunia itu sekedar “bunga tidur” yang berulang disebabkan terjebak dengan Prilaku Birokrasi yang berlandaskan “Spoils Sistem”.

Maka artikel ini akan membantu Penyelenggara Negara untuk dapat memahami Konsep dari Birokrasi Kelas Dunia dengan mudah, sudah tentu harus membacanya dengan seksama, minimal niatkan untuk bisa merubah prilakunya menjadi “Birokrat Kelas Dunia”. 

Beranjak dari keinginan untuk membuat Birokrat di Indonesia ini menjadi Birokrat Kelas dunia, kami akan menyampaikan Konsep Dasar Birokrasi Kelas Dunia terlebih dahulu. Birokrasi Kelas Dunia menurut para Ahli Administrasi Publik adalah sebuah upaya menciptakan Sistem Birokrasi yang “efektif ”, “efisien” , “transparan”, “akuntabel”, serta “responsif” terhadap kebutuhan masyarakat. Para ahli administrasi publik memandang birokrasi kelas dunia sebagai tujuan yang harus dicapai oleh negara-negara yang ingin membangun tata kelola pemerintahan yang baik. 

Perilaku birokrat dituntut untuk bersikap “efektif ”, “efisien” , “transparan”, “akuntabel”, serta “responsif” menjadi kunci penting yang bisa melahirkan beberapa karakterisik dari Birokari Kelas Dunia yang Pejabatnya adalah para Pejabat dan Penyelenggara Negara saat ini, untuk diketahui sederhananya ada 4 Karakteristik dari Birokrasi Kelas Dunia sebagai berikut: 

Pertama, birokrasi tersebut memiliki struktur organisasi yang jelas dan terstruktur dengan baik. Hal ini melibatkan pembagian tugas yang jelas, hierarki yang terdefinisi, dan prosedur yang terstandarisasi. Dengan demikian, setiap tugas dan tanggung jawab dapat ditangani dengan efisien dan terhindar dari kebingungan atau tumpang tindih. 

Diskursus ini berdasarkan kompilasi dari pemikiran para ahli Birokrasi yang diakui dunia dengan karya literasinya, diantara nama para tokoh tersebut diantaranya Max Weber dengan teori hierarki-nya, kemudian Frederick W. Taylor dengan Pendekatan Manajemen Ilmiah yang menekankan bahwa proses kerja harus diteliti secara rinci dan didefinisikan dalam bentuk prosedur yang terstandarisasi sebagai upaya untuk peningkatan efisiensi. 

Kemudian ditambah dengan pemikiran dari Henri Fayol yang telah berkotribusi dengan prinsip-prinsip dasar manajemen termasuk didalamnya konsep pembagian tugas, hierarki yang jelas dan penentuan standarisasi prosedur diperkuat dengan konsep "POSDCORB" (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgeting) dari Luther Gulick yang berfokus pada struktur organisasi yang terstruktur secara baik dangan pembagian tugas yang jelas dalam administrasi publik yang dijalankan oleh Birokrasi Pemerintahan;

Kedua, birokrasi kelas dunia berfokus pada penerapan prinsip meritokrasi dalam pengambilan keputusan. Artinya, keputusan-keputusan diambil berdasarkan kualifikasi, kemampuan, dan kompetensi individu yang terlibat, bukan karena faktor politik atau nepotisme. 

Prinsip meritokrasi membuka kesempatan bagi individu terbaik untuk berkontribusi dalam pemerintahan dan mendorong inovasi serta kinerja yang optimal, seperti Michael Young mencatat bahwa di Negara Inggris, penantian panjang akan kesempatan untuk bisa meningkatkan kapasitas diri dan mendapatkan peluang profesional yang sama bagi semua orang itu baru muncul pada tahun 1960-an. 

Menurut Young, inilah tonggak awal penerapan merit, sebagai upaya untuk menghargai talent sesuai dengan kapasitasnya berdasarkan prinsip equality (keadilan), bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama, yang nantinya akan diputuskan berdasarkan keunggulan yang dimilikinya;

Ketiga, birokrasi kelas dunia juga melibatkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi yang canggih dalam proses administratifnya. Penggunaan sistem yang terintegrasi dan efisien, seperti e-government dan big data analytics, membantu meningkatkan kualitas layanan publik, mengurangi birokrasi yang tidak perlu, dan meningkatkan responsivitas terhadap kebutuhan masyarakat; dan

Keempat, birokrasi kelas dunia juga menempatkan pelayanan publik sebagai prioritas utama. Administrasi publik yang berkualitas harus mampu memberikan pelayanan yang cepat, tepat, dan adil kepada masyarakat. Perhatian terhadap kepuasan pelanggan, pengurangan birokrasi yang berlebihan, dan peningkatan kualitas pelayanan merupakan bagian integral dari konsep birokrasi kelas dunia. 

Sebagai catatan menurut penulis minimal Penyelenggara Negara mulai dari Presiden hingga Bupati diharuskan membaca literatur tentang teori Public Choice, New Public Choice dan New Public Services, literatur tersebut sangat berlimpah dan tidak sulit untuk dicari bila masih ada keinginan untuk menjadi Birokrat Kelas Dunia yang baik, bukan Birokrasi yang memberikan batasan pilihan kebutuhan dasar masyarakat dengan “kebijakan” aplikasi My Pertamina untuk pertalite, atau aplikasi Peduli Lindungi untuk minyak goreng seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu. 

Secara keseluruhan dari keempat karakteristik ini bisa dijadikan dasar untuk merubah Birokrasi Pemerintah menjadi Birokrasi Kelas Dunia, sudah barang tentu masih harus dijabarkan secara utuh dengan tambahan referensi dari para ahli dibidang tata kelola Pemerintahan yang akan dibahas pada seri lanjutan dari artikel ini. Maka substansi dari artikel seri pertama ini merupakan prolog yang bertujuan sebagai alat yang dapat membangun “sensitivitas” para Birokrat dalam mengambil sebuah kebijakan/ keputusan dengan pola pikir Birokrat Kelas Dunia. 

Seperti contohnya menyikapi fenomena serangan di Papua yang memakan korban jiwa dengan gugurnya beberapa Prajurit Kopasus TNI AD, bila saja Birokrat Indonesia ini berkelas dunia, maka berdasarkan hirarki, ini adalah kewenangan Kepala Negara untuk menjaga Negaranya berdaulat penuh dengan cara “memerangi” pengancam keamanan teritorial secara tuntas dengan pendekatan “Militer”, keputasan ini sesuai dengan konstitusi negara yang menjadi sistem merit bagi TNI. 

Namun apa yang terjadi, Kepala Negara sampai saat ini belum mengeluarkan Peraturan Presiden untuk mengerahkan seluruh kekuatan TNI ke Papua, maka wajar saja bila ada ahli yang pada akhirnya mempertanyakan “dimana kedaulatan Negara Indonesia?” di Provinsi Papua.

Begitupun dengan perpanjangan jabatan Ketua KPK RI oleh Mahkamah Konstitusi, apa kirnya alasan yang tepat dari ketidakmasuk akalan untuk mereview peraturan masa jabatan Ketua KPK RI? Bukankah sudah ada merit sistemn yang mengatur hal tersebut? dan apakah masa jabatan dari Ketua KPK selama ini yang bermasalah?, bukankah tidak ada masalah.  

Mekanisme merit sistem di KPK RI selama ini sudah berjalan dengan baik, namun sangat disayangkan hanya karena alasan memperdebatkan constitutional importance dan efisiensi,  yang digunakan oleh Mahkamah Kostitusi yang menganggap perlu masa jabatan pimpinan KPK diberlakukan 5 tahun dengan dalih keseragaman Lembaga Negara. 

Maka wajar kan, apabila publik bertanya-tanya kenapa harus diseragamkan? Bukankah KPK RI itu dibentuk untuk menumpas Extra Ordinary Crime dan kenapa tidak dibiarkan berbeda saja untuk kepentingan kinerja lembaga adhoc yang terukur keefektifan kinerjanya untuk menghilangkan Perilaku Koruptif para Birokrat dengan waktu yang sesingkat-singkatnya untuk menjadikan Indek Persepsi Korupsi Negara ini minimal bisa sama dengan Negara Singapura, namun kebalikannya, Indek Persepsi Korupsi Indonesia justru “semakin anjlok” jauh dari prestasi Negara jiran Malaysia. 

Maka sebab itu uniknya lembaga KPK RI ini sebagai pembeda dengan Lembaga lainnya tidak perlu dirubah. Terlebih harapan kita terhadap KPK RI itu dengan “Sedikit” masa baktinya namun “tinggi” produktifitasnya dalam membasmi Perilaku Korupsi di Negara Indonesia. Bila saja indeks korupsi kita bisa sama dengan Negara Singapura, maka saran saya jangan ragu untuk pekikan kata “Merdeka !!!”.

Penulis adalah seorang Praktisi Adminstrasi Publik