- PDIP Sumsel Pecat Ferlan Juliansyah Usai Terjaring OTT KPK di OKU
- KPU Sumsel Tunggu Keputusan MK untuk Penetapan Paslon Terpilih Pilkada
- Giri Ramanda Tegaskan PDIP Menang di 9 Daerah Pada Pilkada Sumsel
Baca Juga
Pesta demokrasi serentak ini berlangsung berdekatan dengan terbentuknya Alat Kelengkapan DPRD di seluruh Indonesia, yang berarti, untuk pertama kalinya, Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Kepala Daerah akan digelar secara bersamaan di seluruh negeri, dari Sabang hingga Merauke. Tahun ini, masyarakat akan menghadapi sebuah momentum penting di mana mereka berhak menentukan siapa yang akan mewakili mereka di legislatif dan siapa yang akan memimpin daerah mereka.
Namun, di balik kegembiraan demokrasi ini, ada sebuah kenyataan yang tak bisa diabaikan. Biaya politik yang semakin tinggi dan praktik politik uang yang semakin merajalela. Tak hanya itu, pemilu tahun ini menjadi saksi transformasi budaya politik di Indonesia yang semakin pragmatis, bahkan cenderung transaksional. Dalam konteks ini, demokrasi di Indonesia semakin dipengaruhi oleh praktik money politic (politik uang), yang kini telah menjadi budaya baru yang sulit dihindari.
Praktik politik uang bukanlah hal baru di Indonesia. Namun, belakangan ini, praktik ini semakin meluas dan terang-terangan. Bahkan, stigma "suara rakyat suara Tuhan" telah bergeser menjadi "rakyat memilih yang bayar". Ini adalah realitas yang harus dihadapi oleh seluruh kandidat, baik calon legislatif (Caleg) maupun calon kepala daerah. Harga sebuah kursi di legislatif, misalnya, bisa mencapai angka yang fantastis, tergantung pada jumlah suara yang dibutuhkan. Belum lagi biaya untuk sosialisasi dan saksi di setiap TPS, yang semakin menambah besar modal kampanye.
Lalu, dalam Pilkada yang akan datang, valuasi untuk memperoleh kursi kepala daerah lebih besar lagi. Angkanya bisa menyentuh minimal Rp50 miliar atau bahkan lebih, tergantung pada skala daerahnya. Fenomena ini menggambarkan betapa masyarakat semakin terbiasa dengan transaksi politik yang terang-terangan, di mana amplop dan uang menjadi komoditas yang diperdagangkan demi suara rakyat. Sebagian besar pemilih bahkan tak mengenal dengan baik siapa calon mereka, kecuali melalui amplop yang mereka terima.
Gelombang budaya baru yang tumbuh dalam iklim demokrasi di Indonesia ini seolah menjadi paradoks dari sebuah teori dari J.W. Riggs yang bernama “Prismatik Theory”. Riggs mengungkapkan budaya asli dari masyarakat agraris yang sangat mengedepankan budaya primordial klasik yang tumbuh dari struktur masyarakat tradisional.
Gambaran ini mungkin tepat dikenakan kepada kondisi budaya di Indonesia, digambarkan oleh Riggs moralitas ketimuran yang strukturalis sangat berlaku saat itu, seperti tata krama kesopanan disaat bertemu dengan orang yang dituakan, salah satunya dengan membungkuk dan wajah menghadap ke bawah terkecuali disuruh untuk menjawab. Ada lagi dengan membungkuk separuh badan dalam berjalan sambil tangan kiri dilipat di dada dan tangan kanan direntangkan ke bawah sebagai simbol permisi atau izin untuk melewati orang yang kita hormati.
Rigss juga mencontohkan budaya upeti pada masyarakat prismatik yang memberi sebagian dari hasil panen terbaiknya kepada seorang Raja atau Demang atau Pesirah adalah sebuah kehormatan. Bahkan memberikan anak gadisnya untuk dipersunting oleh Raja atau Demang atau Pesirah akan dilakukan sebagai simbol kehormatan sosial yang berlaku saat itu.
Dari gambaran kecil ini dapat memberikan kita sudut pandang perjalanan kekuasaan dan budaya masyarakat yang menyertainya, namun bila kita lihat saat ini justru mereka yang ingin menjadi seorang pejabat negara yang dahulu selevel dengan Raja atau Demang atau Pesirah mendapati budaya Masyarakat saat ini telah berbeda. Transaksional politik budayanya tidak lagi untuk menyimbolkan sebuah kehormatan namun bertransformasi menjadi budaya prilaku “keji”.
Mengapa bisa berkriteria keji, sebab diawali dengan motif “pemerasan” bukan motif “kehormatan”. Ini beda substansi antara budaya kehormatan dan budaya transaksional, budaya transaksional itu menghilangkan budaya kehormatan atau keikhlasan dalam praktiknya.
Sedangkan budaya kehormatan selalu disertai dengan rasa pengabdian sebagai kehormatan dalam struktur Masyarakat asli Indonesia disaat yang lampau. Dahulu bila kita mendengar nama seorang Pemimpin, maka visual yang hadir dalam benak kita adalah personal yang berwibawa, berkarisma dan bijaksana. Namun berbeda dengan sekarang. Saat kita dengan seorang pemimpin, maka visual yang hadir kebalikannya yaitu berupa track record pemimpin tersebut yang melakukan “money politic” dan atau Perilaku Koruptif, Kolutif dan Nepotisme,
Saya kira kita tidak perlu sebut nama pejabatnya, karena fenomena tersebut bisa ditonton baik itu pegelaran panggung depan dan panggung belakang dalam dunia politik.
Bila negeri ini membiarkan proses demokrasi dengan budaya transasksional dalam proses pemilihan Kepala Daerah dan pemilihan legislative maka dignity atau wibawa di dalam struktur masyarakat Indonesia secara umum telah hilang sebab fenomena “yang kuat yang menang” mengisi seluruh kursi parlemen dan kursi Kepala Daerah.
Tidak akan lagi terpilih pemimpin karismatik seperti Bung Karno, Pak Harto dan Gus Dur di Indonesia, karena semua akan berubah menjadi Money Oriented bukan Public Welfare Oriented.
Bila dilihat dari perspektif kelembagaan ini sangat membahayakan negara, sebab yang akan dipertontonkan adalah para pejabat yang mediokrat karena para meritocrat akan selalu terkalahkan.
Prof. Susilo Zauhar pernah mengungkapkan pada jauh hari yang lalu disaat beliau pidato untuk mempertahankan gelar Guru Besarnya dengan menggambarkan fenomena perubahan birokrasi di Indonesia yang akan menjadi Birokrasi Cleptocrat.
Birokrasi Cleptocrat adalah Birokrasi Perampok yang saat ini sangat mudah untuk diidentifikasi, Kita bisa melihat turunnya Indeks Persepsi Korupsi Negara Indonesia, seolah jalan panjang menuju pemerintahan yang bersih adalah sekedar khayalan yang tidak bertepi, karena tidak mungkin pemerintah itu akan berwibawa di saat birokratnya adalah perampok.
Dinamika demokrasi ini sejogjanya segera dibenahi, harapan pembenahan hanya akan bisa dilakukan di saat hukum menjadi panglima penegakan keadilan bagi para pejabat yang perampok. Maka kepemimpinan yang kuat yang menjadi harapan tatanan pemerintahan di Indonesia dapat berangsur menjadi pemerintahan yang diisi oleh Birokrat yang meritokrat dengan wibawa kehormatan sejati yang bukan berasal dari transaksi atau Money Politic.
Sehingga mewujudkan Indonesia Emas tidak lagi sebagai isapan jempol belaka atau sekedar lip service yang dimainkan oleh pemerintah saat ini. Dari seluruh penjelasan diatas maka akan tersisa sebuah diskursus yang memposisikan kita, apakah kita akan berdiri pada mereka yang memainkan Politik Uang dengan menjual wibawa suara pilihan kita, atau kita akan berdiri untuk memberikan wibawa suara kita kepada kandidat yang Meritokrat, sehingga muncul seorang pemimpin yang karismatik dan memang layak untuk jabatan tersebut.
Kita titipkan kepadanya untuk membawa kesajahteraan yang dijanjikan bagi masyarakatnya. Maka inilah sesungguhnya hakikat dari administrasi publik yaitu kesejahteraan bagi Masyarakat.
Penulis adalah pemerhati politik dan kebijakan publik.
- Jelang PSU, Tim Gakkumdu Tangkap Dua Pelaku Politik Uang di Serang
- PDIP Sumsel Pecat Ferlan Juliansyah Usai Terjaring OTT KPK di OKU
- KPU Sumsel Tunggu Keputusan MK untuk Penetapan Paslon Terpilih Pilkada