Ini Alasan Walhi Sumsel Kritisi Rencana OKI Pulp Terkait Penambahan Kapasitas Produksi

Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Hairul Sobri, menunjukkan buku tebal tentang ANDAL dan RKL-RPL PT OKI Pulp. (ist/rmolsumsel.id)
Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Hairul Sobri, menunjukkan buku tebal tentang ANDAL dan RKL-RPL PT OKI Pulp. (ist/rmolsumsel.id)

Tahun ini PT OKI Pulp Asia Pulp and Paper (APP) berencana menambah kapasitas produksi pabrik hingga hampir tiga kali lipat. Hanya saja, rencana perusahaan yang berlokasi di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) itu langsung dikritisi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumsel.


Organisasi yang konsen terhadap isu lingkungan ini menilai, penambahan kapasitas produksi bakal memperburuk kondisi lingkungan di sekitar kawasan operasional. Sebab, penambahan kapasitas produksi juga diiringi perluasan konsesi lahan hingga 2 juta hektar Untuk dijadikan Hutan Tanaman Industri (HTI) tanaman kayu yang menjadi sumber bahan baku pabrik. Padahal, luas areal konsesi yang dikelola perusahaan saat ini sudah mencapai 1,1 juta hektar.

Direktur WALHI Sumsel, Hairul Sobri mengatakan, berdasarkan dokumen Adendum Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL), Rencana Kelola Lingkungan-Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL) yang diajukan perusahaan, PT OKI Pulp berencana menambah kapasitas pabrik yang meliputi penambahan proses produksi pulp (mechanical pulp) 700 ribu ton per tahun.

Peningkatan produksi pulp (kraft pulp) dari 2,8 juta ton per tahun menjadi 7 juta ton per tahun, dan tissue dari 500 ribu ton per tahun menjadi 2 juta ton per tahun. Kemudian penambahan kegiatan produksi ivory paper 1,2 juta ton per tahun dan produksi printing/writing paper 1,2 juta ton per tahun yang berada di Desa Bukit Batu dan Desa Jadi Mulya, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten OKI.

“Dari analisa kami, pabrik membutuhkan bahan baku kayu mencapai 31,57 juta meter kubik per tahun. Sebab, untuk kapasitas produksi saat ini saja kebutuhan kayu pabrik mencapai 13,16 juta meter kubik per tahun,” kata Hairul saat dibincangi di Sekretariat WALHI Sumsel, Minggu (4/7).

Hairul menilai, rencana peningkatan kapasitas produksi tersebut tidak terukur dan tanpa perencanaan yang matang. Karena, dalam dokumen disebutkan rencana pemasok utama sekaligus yang eksisting saat ini sebagai pemasok, ada 12 perusahaan hutan tanaman dengan luas total tanamannya saat ini sekitar 786.277 hektare dari 1.177.727 hektare luas konsesinya.

Estimasi produksi per tahun dari 12 perusahaan ini diperkirakan dapat mencapai 15.7 juta meter kubik per tahun. Sehingga jika rencana peningkatan kapasitas produksi ini direalisasikan, ada selisih kebutuhan kayu yang tidak dapat dipenuhi sekitar 16 juta meter kubik per tahun.

“Kinerja konsesi hutan tanaman Asia Pulp and Paper sendiri tidak meyakinkan untuk mampu menyediakan serat kayu yang dibutuhkan. Apalagi, APP sendiri harus menyuplai dua pabrik lainnya yaitu Lontar Papyrus dan Indah Kiat,” ungkap dia.

Sehingga WALHI melihat rencana peningkatan kapasitas terkesan terburu-buru tersebut berindikasi dengan upaya ekspansi hutan tanaman seluas 2,6 juta hektar. “Perluasan ekspansi ini berpotensi semakin masifnya deforestasi, konflik sumber daya alam dan perampasan lahan demi pemenuhan kebutuhan kayu perusahaan," bebernya.

Selain itu, WALHI juga melihat adanya potensi kebakaran hutan yang kian meningkat di kawasan tersebut. Sebab, dari tujuh konsesi yang memasok kayu ke perusahaan, luasan lahan gambutnya mencapai 61 persen. Kerentanan tersebut terlihat dari kejadian kebakaran hutan di areal konsesi tujuh perusahaan di 2015 dan 2019.

“Hutan dan gambut tidak bisa terbakar tiba-tiba. Namun, jika gambut dikeringkan, risiko terbakarnya lebih tinggi. Apalagi jika areal konsesinya diperluas. Tentunya risiko akan terus meningkat,” terangnya.

Perluasan areal konsesi juga dapat menimbulkan konflik agrarian. Data asesmen oleh koalisi NGO 2019 mencatat ada sekitar 17 konflik aktif dan 82 potensi konflik di Sumsel yang melibatkan lahan lebih dari 45 ribu hektar.

“Rencana perluasan ini juga akan berdampak terhadap kondisi SM Padang Sugihan yang berada di sekitar areal konsesi. Keberlangsungan hidup flora dan fauna endemik setempat bisa terancam,” tuturnya.

Masyarakat di sekitar juga terancam kehilangan penghasilan. Sebab, mereka tidak bisa memanfaatkan tanam tumbuh yang ada di areal konsesi. “Selama ini, banyak masyarakat yang mencari ikan ataupun memanfaatkan tumbuh-tumbuhan hutan di bakal areal konsesi. Ketika ini disetujui, maka mereka akan kehilangan penghasilan. Sebab, mereka tidak bisa lagi masuk areal konsesi tersebut ketika sudah dikuasai perusahaan,” tandas dia.