Aktivis Desak DPRD dan Pj Bupati Muara Enim Panggil RMK Energy (RMKE) Soal Izin Tata Ruang

Pelabuhan RMK Energy yang berada di Kecamatan Muara Belida Kabupaten Muara Enim. (dok/rmolsumsel.id)
Pelabuhan RMK Energy yang berada di Kecamatan Muara Belida Kabupaten Muara Enim. (dok/rmolsumsel.id)

Sejumlah penggiat anti korupsi di Sumsel mendesak DPRD dan Pj Bupati Muara Enim memanggil manajemen RMK Energy (RMKE) terkait izin tata ruang yang  dimiliki perusahaan. 


Pasalnya, ada dugaan prosedur yang tidak terpenuhi dalam proses penerbitan izin tata ruang maupun lingkungan lainnya hingga perusahaan bisa beroperasi. Dugaan itu diperkuat atas sanksi administratif yang dijatuhkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)kepada RMK Energy beberapa waktu lalu. 

Dalam sanksi tersebut disebutkan, poin pertama Diktum KEDUA disebutkan, ketidaksesuaian tata ruang di sebagian lokasi PT RMK Energy, Tbk. yang berada di dalam kawasan sempadan sungai dan kawasan pertanian pangan dan hortikultura sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2016 s/d 2036. 

Sementara di poin kedua, Tim KLHK menemukan jika perusahaan tidak memiliki Izin Pemanfaatan Ruang atau Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) sampai dengan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Deputi K-MAKI Sumsel, Feri Kurniawan menduga, ada oknum-oknum di dalam pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten Muara Enim maupun Pemprov Sumsel yang melakukan kongkalikong dengan perusahaan untuk memuluskan penerbitan izin tata ruang tersebut. 

"Jelas dalam sanksi KLHK, perusahaan tidak memiliki izin tata ruang yang lengkap. Namun, selama belasan tahun bisa beroperasi. Artinya ada dugaan oknum di dalam pemerintahan yang bermain," kata Feri saat dibincangi. 

Dia mengatakan, instansi yang bertanggung jawab berkaitan dengan izin tersebut mulai dari Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) hingga Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) di tingkat kabupaten maupun provinsi. Feri mendorong, agar aparat penegak hukum (APH) untuk menelusuri mengenai dugaan adanya kongkalikong tersebut. 

"APH harus tegas untuk mengusut dugaan ini. Jangan sampai permainan perizinan seperti ini dibiarkan. Sebab, hal ini berdampak terhadap kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat banyak," tambah Feri. 

Tindakan tegas KLHK yang memberikan sanksi administratif terhadap RMK Energy sudah tepat. Meskipun belakangan, sikap tegas KLHK itu mengendor karena perusahaan sudah dibiarkan untuk beroperasi lagi walaupun izin tata ruangnya diduga belum keluar. 

"Sanksi administratif ini seharusnya lebih diperkuat lagi dengan pencabutan izin operasional. Karena jelas, lokasi perusahaan beroperasi saat ini menyalahi tata ruang yang ada dan merusak lingkungan," ucapnya. 

Masih kata Feri, pihaknya mendesak DPRD dan Pj Bupati Muara Enim untuk segera memanggil perusahaan agar memberikan klarifikasi mengenai izin tersebut. Selain itu juga mendesak perusahaan memperbaiki lingkungan yang mengalami kerusakan akibat operasionalnya selama ini. 

"Kalau tidak ada pemanggilan, artinya DPRD maupun Pj Bupati juga ikut terlibat dalam hal ini," ucapnya. 

Kasus ini, menurut Feri, harusnya menjadi perhatian semua pihak apalagi sanksi tata ruang masih melekat. "Termasuk menjadi perhatian pula aparat kepolisian yang seharusnya mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup, jangan terkesan membela penjahat lingkungan," tegasnya.

Terpisah, Ketua DPD Gerakan Rakyat Peduli Keadilan (GRPK) RI Muara Enim, Harmani mengatakan, izin tata ruang menjadi sesuatu yang penting dalam menjaga kelestarian lingkungan. "Ada zona yang dikhususkan untuk pemukiman, pangan dan ada juga industri. Semuanya ada bagiannya. Kalau ini dialihfungsikan, tentu akan berdampak terhadap kehidupan masyarakat," bebernya. 

Dia mencontohkan, wilayah operasi RMK Energy yang disebut KLHK berada di dalam kawasan sempadan sungai dan kawasan pertanian pangan dan hortikultura. Melihat temuan itu, Harmani berpendapat, jika hal itu telah mengancam keberlangsungan hajat hidup orang banyak lantaran membangun lokasi industri yang rentan dengan pencemaran di kawasan pangan. 

"Sebelum penetapan zona, tentu sudah ada perhitungannya. Termasuk kebutuhan pangan masyarakat Muara Enim dan Sumsel kedepannya. Jika dialihfungsikan menjadi kawasan industri, maka pemenuhan pangan masyarakat kedepannya bisa terancam," bebernya. 

Selain itu, Harmani menuturkan, pembangunan industri di kawasan sempadan sungai juga mengancam masyarakat yang tinggal di sepanjang pesisir sungai. Ancaman pencemaran melalui kemungkinan kebocoran limbah perusahaan yang mengalir ke sungai akan berdampak terhadap kesehatan warga sekitar. 

"Kita tahu sendiri, Sungai Musi ini menjadi sumber kehidupan masyarakat Muara Enim, Palembang dan wilayah lainnya di bagian hilir. Sebagian besar masih ada yang berprofesi sebagai nelayan tangkap dan sangat bergantung dengan kondisi Sungai Musi. Jika ini tercemar, bagaimana nasib masyarakat ini," bebernya. 

Sehingga, Harmani mendesak aparat pemerintahan maupun penegak hukum memberikan tindakan tegas atas pelanggaran lingkungan yang dilakukan RMK Energy. Tidak hanya sebatas sanksi penghentian sementara saja. Tapi memindahkan lokasi pelabuhan RMK Energy ke wilayah lain.

"Ibarat warga biasa yang mendirikan bangunan tidak sesuai IMB. Pemerintah pasti memberikan sanksi dengan merubuhkan bangunannya. Kenapa dengan perusahaan tidak seperti itu? Giliran dengan masyarakat kecil bisa tegas," pungkasnya. 

DPRD Sumsel Pertanyakan Izin Tata Ruang RMKE

Beroperasinya kembali RMKE menimbulkan reaksi dari Anggota DPRD Sumsel yang sejak awal memberikan perhatian terhadap kasus pelanggaran lingkungan perusahaan tersebut. 

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Sumsel Hasbi Asadiki mempertanyakan keputusan KLHK tersebut. Pasalnya, di dalam beberapa sanksi yang dijatuhkan ke RMKE, perusahaan diminta mengajukan dan memiliki Izin Pemanfaatan Ruang atau Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) kepada instansi terkait paling lama 90 (sembilan puluh) hari. 

Sanksi lainnya juga diminta untuk meminta persetujuan lingkungan berupa mengajukan dan memiliki perubahan persetujuan lingkungan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari. Melihat itu, Askweni berpendapat jika pengajuan izin tersebut tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu singkat. 

Sebab, harus melalui berbagai proses penilaian dan sebagainya. Sehingga, dia mempertanyakan proses pengeluaran izin tersebut ke Dinas Lingkungan Hidup dan  Pertanahan (DLHP) Provinsi Sumsel. 

"Kalau memang seperti itu (beroperasi lagi,red), kita tanyakan dengan DLHP Sumsel. Bagaimana sikap mereka," ujarnya. 

Habib mengatakan, hingga kini pihaknya belum menerima salinan putusan KLHK terkait beroperasinya kembali pelabuhan RMKE. "Kan tiap putusan keluar pasti datanya ada di pusat, tidak mungkin tidak ada datanya, kami belum terima itu," terangnya. 

Senada, Anggota Komisi IV DPRD Sumsel, Askweni mengatakan, pihaknya belum mendapatkan informasi dari DLHP Sumsel mengenai beroperasinya kembali pelabuhan RMKE pasca penyegelan yang dilakukan Ditjen Gakkum KLHK. Bisanya, sambung Askweni, KLHK akan memberikan salinan putusan kepada DLHP Sumsel sebagai bentuk koordinasi. 

"Pasti mereka ada koordinasi, kami kalau menyangkut hal teknis bukan wewenang kami lagi," ucapnya. 

Namun yang jelas, lanjutnya, DPRD Sumsel telah menyuarakan aspirasi masyarakat terkait pelanggaran lingkungan yang dilakukan perusahaan. "Yang jelas dalam kasus kerusakan lingkungan, kami mendukung penegakan hukum kepada seluruh perusahaan yang melanggar," tandasnya.

Sebelumnya, Penjabat Bupati Muara Enim, Ahmad Rizali mendukung penuh proses hukum yang dilakukan Polda Sumatera Selatan atas pencemaran lingkungan sampai pelanggaran tata ruang PT RMK Energi (RMKE).

Sebab, pelanggaran serta pencemaran ini sudah mendapatkan sanksi dari KLHK. Tinggal bagaimana sanksi pidana, bisa ditegakkan agar menjadi efek jera bagi perusahaan. Khususnya di kawasan wilayah Kabupaten Muara Enim.

“RMK ini kita serahkanlah ke penegak hukum ya, kalau RMK (kasusnya) ini sudah masuk ke penyelidikan oleh Dirkrimsus dan dilaksanakan oleh Polda Sumsel. Kita tunggulah bagaimana proses lanjutannya, ini berarti ada hal yang salah,”kata Ahmad Rizali, Selasa (21/11).

Rizali pun menyatakan, pendirian stockpile batu bara RMK diduga telah ikut dilanggar. Sebab, kawasan stockpile itu berada di kawasan bantaran sungai sungai. Sehingga aktivitas bongkar muat batu bara tersebut akan langsung mencemari sungai.

“Yang jelas itu ada KHL (Kawasan Hutan Lindung) yang dilanggar, karena (pelabuhan) berada di bantaran sungai. Bantaran sungai itu kan punya balai, sehingga tidak boleh diupayakan sebab limbahnya langsung ke sungai,” ucapnya. 

Terpisah, Kapolda Sumsel, Irjen Pol Albertus Rachmad Wibowo mengatakan, kasus RMK Energy merupakan jenis tindak pidana lingkungan. Sehingga harus ada laporan polisi untuk menindaklanjutinya. 

"Kalau anda punya data, anda datang ke SPKT, nanti kita layani 24 jam," kata Rachmad saat ditanya Kantor Berita RMOL Sumsel di kegiatan Diskusi terkait OMB & Ops Nataru, Kamis (30/11). 

Warga Selat Punai melalui Yayasan Bantuan Hukum Sumsel Berkeadilan yang sebelumnya melaporkan RMK Energy telah mencabut laporan polisinya. "Mereka (RMK Energy) sudah ada pencabutan laporan dari masyarakat," ucapnya.