Pada dasarnya, ada dua pandangan negara dalam melihat demokrasi. Pertama, sebagai tujuan yang harus dicapai. Kedua, sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat.
- Kunjungi Muba, Ganjar Dorong UU Ponpes Segera Dilaksanakan
- Syarat Minimal Umur Badan Ad Hoc KPU untuk Pemilu 2024 Dipatok Lebih Muda
- Tolak RUU Sidiknas, Massa Aptisi Geruduk Kantor Kemendikbud
Baca Juga
Duta Besar RI untuk Turki Lalu Muhamad Iqbal mengatakan hal itu, di mana menurut dia, ada cara yang mudah dan sangat milenial untuk mengecek apakah suatu negara demokratis atau tidak.
"Ada cara yang snagat milenial untuk melihat atau mencek apakah negara itu masih demokratis atau tidak. Paling gampang adalah di sosial media," kata Iqbal dalam kuliah umum daring bertajuk "Peran Indonesia dan Turki dalam Memajukan Demokrasi di Dunia Islam" yang diselenggarakan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Selasa (20/10/2020).
Iqbal menjelaskan, jika para pemimpin negara masih peduli untuk menampilkan diri di sosial media, menunjukkan citra positif, maka mereka masih membutuhkan dukungan rakyat.
"Berarti pemimpin politiknya masih percaya pada pentingnya suara popular. Dia masih percaya bahwa dukungan rakyat terhadap dirinya itu penting," tuturnya.
"Selama dia masih percaya itu, itu adalah kapital yang sangat kuat untuk membuat negara tersebut sebagai negara yang demokratis," imbuhnya.
Di negara yang tidak demokratis, kata Iqbal, para pemimpin tidak akan peduli pada dukungan rakyat atau popularitasnya.
"Kalau kita lihat di Turki dan Indonesia, Instagram-nya (Presiden Turki Recep Tayyip) Erdogan dan Pak (Presiden) Joko Widodo itu sehari bisa dua kali update," kata Iqbal.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Iqbal mengatakan, para pemimpin tersebut masih memiliki kepedulian yang tinggi pada dukungan rakyat.
- Hubungi Prabowo, Erdogan Kirim Selamat, Doa, Serta Ucapan Idulfitri 2024
- Bamsoet Dukung Prabowo-Gibran Pisahkan Ditjen Pajak dari Kemenkeu
- Vladimir Putin Ucapkan Selamat atas Kemenangan Prabowo